Episode 3

1927 Words
Sultan sama sekali tidak merasa bersalah telah membuat Gembira menangis sepagi ini. Menurutnya tidak ada yang salah dengan sebutan p*****r Cilik yang ia ucapkan untuk Gembira. Karena memang itu adalah sebutan yang paling tepat untuk gadis yang sudah ia rawat dari kecil, namun justru menusuknya dalam dengan fitnahan keji dan hamil entah dengan siapa. Sultan masih mengingat dengan jelas, tepatnya dua bulan lalu ketika Gembira memintanya untuk dijemput di sebuah hotel. Sultan yang tak pernah mengira Gembira akan menjebaknya, tentu saja memenuhi permintaan sang adik tiri, karena khawatir terjadi sesuatu dengan gadis yang kini menjadi istrinya itu. Tiba di hotel, Sultan segera menuju kamar yang diinfokan Gembira. Suasana hotel sore itu cukup sepi, mungkin karena bukan akhir pekan yang di mana saat akhir pekan lebih banyak tamu dari luar kota yang menginap. Sultan mengetuk kamar hotel tersebut dan detik berikutnya Gembira membukanya dengan senyuman menyambut kedatangannya. Lalu kejadiannya begitu cepat, Gembira seperti sengaja menumpahkan minuman berwarna pada kemeja miliknya sehingga membuatnya harus melepas pakaiannya dan membersihkannya di kamar mandi. Sekembalinya dari kamar mandi dengan bertelanjang d**a, Sultan mendapati ruangan kamar sudah dipenuhi oleh kekasihnya—Paramita, saudara Paramita dan para karyawan hotel. Saat itu Sultan yakin, Gembira hanya berpura-pura menangis, seolah dirinya telah memangsa gadis itu untuk memenuhi hasrat biologisnya. Semua percaya, termasuk Paramita, karena Gembira juga menunjukkan bukti tespek bergaris dua. Sultan mendengus ketika mengingat momen itu. Ia masih benar-benar tak menyangka Gembira memfitnahnya sedemikian keji. Kemudian demi membalas dendam dan menjaga aib keluarga besarnya, Sultan bersedia menikahi Gembira. Namun lelaki itu memastikan, setiap harinya ia akan membuat Gembira merasa menyesal telah menjebaknya. “Kamu sendiri yang menciptakan pernikahan neraka ini, Gembira!” gumam Sultan yang masih bertahan memandangi pintu kamar Gembira yang tertutup rapat dengan dingin. “Karena ulahmu, saya hampir kehilangan Paramita. Jadi jangan pernah salahkan saya untuk semua tangismu, karena kamu memang berhak mendapatkannya.” … Gembira merintih di sela tangisnya. Gadis itu masih benar-benar tak menyangka Sultan menyebutnya p*****r Cilik. Haruskah ia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi saat ini juga agar Sultan bisa menerima keadaannya? Sesungguhnya Gembira juga tidak ingin terjebak dengan pernikahan yang juga tak diinginkannya ini. Bukan seperti ini pernikahan yang diimpikan Gembira. Sejak kecil, Gembira selalu memimpikan, kelak ia akan menikah dengan orang yang ia cinta dan yang mencintainya secara tulus. Lalu dari pernikahan itu akan lahir anak-anak cantik dan tampan yang bahagia karena memiliki ayah dan ibu yang saling mencintai. Namun sayangnya takdir kembali menyeret Gembira pada kubangan kepedihan. Ia justru dinodai oleh pria biadab berkelakuan hewan dan kini tengah hamil dari benih pria itu. Gembira tak bisa berbuat apa-apa. Usianya yang masih terlalu muda, membuatnya terlalu takut untuk menceritakan kejadian naas yang menimpanya beberapa bulan lalu itu. Karena bukan tidak mungkin justru ia sendiri yang disalahkan oleh orang-orang dengan tuduhan tak bisa menjaga diri. Gembira merasa takut dengan cercaan banyak pihak dan lebih takut lagi jika harus dinikahkan dengan pria biadab itu. Bukan hanya takut, bahkan Gembira begitu jijik hanya dengan mengingat wajah pria itu. Untuk beberapa lama, Gembira masih meringkuk di atas kasurnya. Tangisnya sudah reda, namun kini meninggalkan jejak kering di pipinya dan mata sembab yang memerah. Gembira meraup oksigen sebisa yang ia mampu sebelum mengembuskannya secara perlahan. Gadis itu bangkit, duduk bersandar pada dinginnya tembok kamar yang selama beberapa bulan ini menjadi saksi ia meratapi hidup. “Nduk, ini Mbok, Nduk.” Suara Mbok Ning terdengar di balik pintu. “Masuk saja, Mbok,” ucap Gembira dengan suara begitu lirih. Detik berikutnya pintu perlahan terbuka dan muncul Mbok Ning dengan paras khawatir yang melangkah pelan mendekati Gembira. Wanita paruh baya itu duduk di samping kasur. “Makan dulu ya, Nduk. Sudah siang, kasihan yang di dalam perut,” kata Mbok Ning berusaha membujuk. “Nanti ya, Mbok. Ira belum lapar.” Ya, memang Gembira tidak merasakan lapar sama sekali. Saat ini gadis itu hanya ingin berdiam diri di kamar. Itu saja. “Tapi ini perintah Mas Sultan, Nduk. Mbok hanya tidak ingin, Nak Ira dimarahi lagi sama Mas Sultan. Makan dulu ya, Nduk.” “Dia belum berangkat, Mbok?” tanya Gembira heran. Biasanya pagi-pagi sekali Sultan sudah pergi ke tempat usahanya berupa bengkel modifikasi mobil. “Belum, Nduk. Mas Sultan tadi bilang mau berangkat siang,” jawab Mbok Ning. “Sekarang Nak Ira makan dulu ya, sebelum Mas Sultan ke sini, nanti Nak Ira dimarahi lagi.” Gembira menegakkan tubuh lalu meraih kertas yang sejak tadi digenggam oleh Mbok Ning. “Ira beberes dulu saja, nanti kalau sudah lapar baru makan.” “Tapi, Nduk.” “Tidak apa-apa, Mbok. Ira kuat kok,” ucap Gembira meyakinkan asisten rumah tangga Sultan yang telah begitu baik padanya. … Gembira berdiri di pintu kamar, memandangi barisan tugas yang tertulis di selembar kertas dari Sultan. Hari ini, ia mendapat tugas untuk merapikan perpustakaan, membersihkan lemari pajangan dari debu-debu, dan membersihkan seluruh kaca di rumah tersebut. Gembira menghela napas. Meyakinkan dirinya jika ia sanggup mengerjakan itu semua sebelum sore. Dengan langkah gontai, Gembira menuju perpustakaan lebih dulu di lantai dua, yang berdampingan dengan kamar pribadi Sultan. Gembira membuka ruangan yang sangat jarang sekali ia masuki itu. Bau pengap dan debu menyambutnya begitu pintu terbuka. Gembira sedikit terbatuk kemudian dengan langkah cepat menuju jendela dan membukanya. Hawa segar dan sorot mentari yang masuk melalui celah jendela rupanya mampu mengurangi kesan suram ruangan tersebut. Gembira melihat ke sekeliling ruangan. Di sisi kanannya terdapat rak buku setinggi langit-langit yang tentu berisi buku-buku dari berbagai genre dan penulis memenuhi rak tersebut. Lalu tepat di depan jendela terdapat satu set meja kerja dengan bola dunia dan jam pasir sebagai pajangan. Tepat di sisi kiri meja kerja, tepat berhadapan dengan lemari buku, terdapat sofa panjang dan meja berbentuk oval. Gembira membayangkan jika perpustakaan ini rutin dibersihkan, tentu akan sangat nyaman sekali untuk membaca buku-buku favorit. Gembira pun tanpa sadar tersenyum, jika saja ia diperbolehkan mengunjungi perpustakaan itu. “Saya memintamu ke sini, untuk membersihkan ruangan ini. Bukan untuk melamun dan tersenyum bodoh seperti barusan!” Suara sinis Sultan membuyarkan lamunan Gembira. Gembira hanya memandang Sultan yang berdiri di ambang pintu sekilas, tanpa berniat membalas ucapan sinis pria yang berstatus ganda baginya itu. Gembira kemudian bergerak menuju lemari buku. Ia berencana merapikan buku-buku lebih dulu, sebelum membersihkan seluruh ruang perpustakaan tersebut secara menyeluruh. Sultan semakin mengeraskan rahang dengan pengabaian yang diberikan Gembira padanya. Lelaki itu hendak menghampiri istri kecilnya, namun ia urungkan begitu nama kekasihnya menyala di layar ponsel. Gembira melirik pintu yang sudah ditinggalkan oleh Sultan, lalu mengembuskan napas lega. Entah mengapa, hari ini ia sangat tidak ingin bertengkar dengan lelaki itu. Atau bahkan mendengar kata-kata sinis dari suaminya itu. Gembira masih marah—jika memang diizinkan marah—dengan kata-kata Sultan tadi pagi. Gembira kembali fokus dengan pekerjaannya. Gadis itu membersihkan debu dari tiap-tiap buku. Dan buka hanya itu, ia juga mengelompokkan buku-buku yang ia yakini adalah milik Papa Reyhan sesuai jenisnya. Untuk non fiksi di sebelah kiri, dan fiksi di bagian kanan rak. Karena rak buku yang begitu tinggi, dan Gembira tidak mampu menjangkau bagian teratas lemari itu, Gembira lantas turun ke lantai bawah untuk mengambil tangga yang biasanya diletakkan di samping dapur. “Ada apa, Nduk? Mau makan sekarang? Biar Mbok ambilkan sekarang,” tanya Mbok Ning yang melihat majikannya memasuki dapur kembali. “Mau ambil tangga, Mbok.” Mbok Ning yang tengah mengupas buah menghentikan kegiatannya begitu mendengar jawaban Gembira. “Untuk apa, Nduk?” “Ira mau membersihkan lemari buku, Mbok. Nanti saja makannya.” Mbok Ning menghela napas, ia benar-benar khawatir dengan kondisi majikannya yang belum makan sedari pagi. Tapi ia juga tak bisa memaksa. “Tangganya ada di samping, Nduk. Ayo, biar Mbok bantu bawa ke atas.” Gembira mengangguk, tidak menolak niat baik Mbok Ning. Karena memang tangga yang akan ia gunakan cukup berat jika harus dibawanya sendiri ke lantai dua. Gembira dan Mbok Ning sudah bergotongan membawa tangga alumunium tersebut dan hampir tiba di undakan tangga pertama, saat suara Sultan menggema di seluruh penjuru ruangan dan menghentikan langkah kedua wanita itu. “Biar dia bawa sendiri, Mbok!” perintahnya tanpa belas kasihan. “Tapi, Mas, kasihan Mbak Ira. Mbok hanya akan bantu membawakan tangga ini saja. Tidak lebih.” Mbok Ning menatap Gembira prihatin lalu menatap majikan laki-lakinya dengan memohon agar mengizinkan membantu Gembira. “Tidak, Mbok, biar dia bawa sendiri tangga ini ke atas,” kata Sultan tak ingin dibantah. “Mas ….” Mbok Ning hendak bicara namun Gembira menghentikannya. “Tidak apa-apa, Mbok. Ira bisa sendiri.” Gembira berusaha untuk tersenyum meyakinkan Mbok Ning. “Dulu waktu kecil Ira juga sering kok, bantu Mama Ayuni angkat-angkat air untuk mandi.” “Tapi Mbak Ira sekarang lagi hamil …,” sedih Mbok Ning teringat kandungan Gembira. “Tidak apa-apa, Mbok.” Gembira menggeser dengan pelan tangan Mbok Ning dari tangga yang dibawa mereka. Dan tanpa memedulikan Sultan yang sedari tadi menatapnya dingin, Gembira membawa tangga tersebut menuju ruang perpustakaan dengan sedikit kesusahan. “Maaf Mas, kalau Mbok lancang. Tapi menurut Mbok sikap Mas akhir-akhir ini keterlaluan pada Mbak Ira. Mbak Ira memang salah, sudah hamil di luar nikah, lalu menjebak Mas Sultan. Tapi apa Mas Sultan tidak punya rasa kasihan sedikit saja pada Mbak Ira? Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain kita di sini. Mungkin karena alasan itu, Mbak Ira akhirnya menjebak Mas Sultan supaya bisa menikahinya,” ujar Mbok Ning panjang lebar, mengutarakan pendapatnya yang selama ini selalu dipendamnya. “Tapi karena ulah dia, saya dan Paramita batal menikah, Mbok. Dan sampai sekarang, orang tua Paramita masih belum bersedia saya temui. Mbok tahu sendiri, salah satu impian terbesar saya adalah menikahi Paramita.” “Tapi tidak seharusnya karena hal ini, membuat Mas Sultan bersikap semena-mena pada Mbak Ira. Mbok kasihan sama Mbak Ira, Mas ….” Mbok Ning tak kuasa menahan tangisnya, jika mengingat jalan hidup Gembira yang menurutnya lebih pahit dari hidupnya. Mbok Ning, meski hanya seorang asisten rumah tangga nyatanya masih memiliki keluarga utuh di kampung sana. Suami atau anak perempuannya kadang beberapa bulan sekali berkunjung ke kediaman Sultan untuk melepas rindu padanya. Sehingga setiap wanita paruh baya itu teringat nasib Gembira, Mbok Ning tak akan mampu menahan tangisnya. “Mbok kasihan, Mas. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain kita di sini. Kalau memang Mas Sultan tidak bisa menerima pernikahan ini, lebih baik lepaskan Mbak Ira. Mbok siap kalau harus merawat Mbak Ira dan bayinya.” “Tidak, Mbok. Dia pantas mendapatkan ini, karena telah menghancurkan hidup dan impian saya. Seharusnya saat ini Paramita yang tengah menyiapkan makanan untuk saya atau bahkan tengah mengandung darah daging saya. Bukan dia ….” Sultan menunjuk ke arah tangga, bermaksud menunjuk Gembira. “Yang sudah saya dan Tante Sarah rawat sepuluh tahun lamanya, namun setelah dewasa justru melempar kotoran ke keluarga ini!” Murka Sultan tak mampu mengontrol emosinya lagi. Matanya menatap nyalang wanita paru baya di depannya. Bukan karena ia marah pada asisten rumah tangganya itu, namun karena ia yang masih belum bisa dan mungkin tak akan pernah bisa memaafkan Gembira yang telah memberikan aib di keluarganya. “Mbok paham, Mas. Mbok paham kalau Mas Sultan masih kecewa ….” “Selamanya saya dan keluarga besar saya akan seterusnya kecewa, Mbok,” sela Sultan. “Sebentar, Mas. Tapi apakah Mas Sultan sudah pernah mencoba mencari tahu siapa sebenarnya yang sudah m*****i Mbak Ira?” Gembira mendengar semuanya. Rasa kecewa kakak tirinya yang bercampur amarah, juga kepedulian Mbok Ning padanya. Hatinya yang seolah kebas karena seringnya ia mendapat makian dari Sultan, membuat Gembira mampu untuk menahan tangis. Namun siapapun yang melihat wujud Gembira kini, hanya dengan memandang sorot matanya, akan mampu menilai, betapa leburnya sebongkah merah milik gadis itu. Bersambung          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD