Episode 4

1456 Words
Gembira merasakan badannya gemetar. Keringat dingin bermunculan dari sekujur tubuhnya yang kurus. Sengatan-sengatan kecil juga mulai menyerang kepalanya, disertai remasan di perutnya yang membuncit. Lantas, merasa tak sanggup untuk berdiri, Gembira memutuskan untuk terduduk di dinginnya lantai. Ia baru saja menyelesaikan seluruh tugasnya, dan baru teringat jika perutnya belum terisi apapun sejak pagi. “Maafin Mama ya, Dek.” Gembira berujar pada calon bayinya sembari membelainya lembut. “Mama sudah jahat sama kamu.” Saat ini, Gembira masih berada di gudang yang letaknya tak jauh dari paviliun di mana kamarnya berada. Oleh Sultan, gudang tersebut dijadikan sebagai tempat penyimpanan barang-barang tak terpakai dan juga menyimpan peralatan kebun seperti sekop dan lain-lain. Gembira pasrah ketika mendapati ponselnya tak berada di saku celananya, saat ia hendak menghubungi Mbok Ning untuk membantunya keluar dari gudang. Tubuhnya benar-benar sudah tak memiliki tenaga dan ia butuh seseorang untuk membantunya. “Mbok.” Gembira berusaha untuk berteriak, namun hanya suara lirih yang keluar dari bibir tipisnya. “Mbok, tolong.” Lagi, Gembira berusaha untuk mengeluarkan suaranya, dan lagi-lagi suara yang keluar hanya seperti bisikan. Detik dan menit berlalu, Gembira merasakan kepala dan perutnya semakin sakit luar biasa. Pandangan matanya perlahan semakin mengabur dan semakin lama hanya bayangan putih yang terlihat. Lantas selanjutnya kegelapanlah yang mendekap gadis malang itu. … Gembira merasakan kesejukan yang berbeda menerpa kulit tubuhnya. Gadis itu juga merasakan kenyamanan yang luar biasa ketika merasakan punggungnya menyentuh permukaan kasur yang begitu empuk. Masih dengan terpejam, Gembira meraba sprei yang terasa begitu lembut di telapak tangannya. Ia juga merasakan keharuman yang berbeda …. Ini seperti? Gembira seketika membuka mata begitu menyadari parfum yang bercampur dengan wawangian baju lainnya. Dan benar saja, begitu membuka mata, Gembira memang tengah berada di kamar pribadi Sultan. Gembira pun baru menyadari jika kini tangan kanannya sudah terpasangi cairan infus. “Besok ulah apalagi yang akan kamu lakukan, untuk membuat semua orang repot? Setelah hari tidak makan dari pagi?” tanya Sultan sama sekali tidak terdengar ramah. Manik Gembira kini tertuju pada sosok lelaki yang duduk di kursi tepat di samping jendela dengan pandangan menusuk padanya. Seingatnya, memang ia merasa kesakitan di gudang setelah menyelesaikan tugasnya. Lalu ia tak mengingat apa-apa lagi. Namun, ia tak menyangka jika Sultanlah yang akhirnya menolongnya. “Kenapa diam? Kamu tidak mendadak bisu kan, gara-gara pingsan tadi?” Gembira mencoba menulikan telinga. Dan berusaha untuk duduk. Gadis itu akhirnya berhasil duduk dan merasakan tubuhnya sudah terasa lebih baik. Mengabaikan Sultan yang masih menyorotnya tajam, Gembira mengulurkan tangan kirinya untuk mengambil segelas s**u yang berada di nakas. Sultan mendengkus melihat keterdiaman Gembira dan justru terlihat santai meminum s**u yang disediakan Mbok Ning beberapa menit lalu beserta semangkuk bubur. “Cepat habiskan makanan dan minumanmu, setelah itu kamu harus meninggalkan kamar ini!” Perintah Sultan yang juga bermakna pengusiran. Seusai mengatakan itu, Sultan berdiri, meninggalkan Gembira yang kini tak kuasa menahan desakan lelehan asin dari kedua sudut mata indahnya. … Beranjak dari kamar, Sultan menuju balkon rumahnya. Mengeratkan genggamannya pada pagar besi, lelaki itu memandangi halaman rumahnya yang cukup luas, dengan seorang security yang ia pekerjakan untuk menjaga rumah peninggalan ayahnya tersebut. Sultan meninggalkan Gembira di kamarnya, agar ia tidak semakin marah pada gadis itu. Karena memang sejak dua bulan terakhir ini, setiap ia melihat adik tirinya itu, maka hanya kemarahan yang ia rasakan. “Sialan kamu, Gembira!” Sultan memaki dan memukul pagar besi yang sejatinya justru membuat tangannya sakit. Lelaki itu benar-benar dibuat marah oleh kelakuan Gembira hari ini. Siang tadi ia sedang berada di restoran bersama Paramita ketika Mbok Ning menghubunginya dan mengabarkan jika Gembira ditemukan pingsan di dalam gudang. Sultan sudah ingin mengabaikan, jika tidak mengingat Gembira saat ini adalah istrinya dan juga harus menjaga martabatnya sebagai seorang suami di hadapan sang dokter yang ia hubungi untuk memeriksa keadaan Gembira. “Saya bersumpah, jika sampai saya tidak bisa menikahi Paramita. Maka saya akan pastikan, hidupmu tidak akan pernah tenang, Gembira.” Lantas, Sultan kembali teringat percakapannya dengan Mbok Ning pagi tadi mengenai siapa sebenarnya sosok pria yang telah menghamili Gembira. Sultan pernah menanyakan pada adik tirinya itu, sehari sebelum pernikahan mereka. Namun, Sultan hanya mendapat jawaban berupa tangisan dan kebisuan Gembira. Dan hingga sebulan lalu Sultan kembali menanyakannya, lagi-lagi ia hanya mendapat jawaban yang sama seperti sebelumnya. Selama ini, Sultan juga tak tinggal diam. Ia sudah berusaha menanyakan pada teman-teman sekolah Gembira, siapa sosok pemuda yang sedang dekat Gembira. Namun, teman-teman sekolah gadis itu serempak menjawab, jika Gembira tidak berpacaran dengan siapapun di sekolah. Hingga pernikahan sirinya dengan Gembira kini menapaki bulan kedua, Sultan lupa akan siapa sosok yang telah menanam benihnya di rahim sang adik tiri, karena lelaki itu terlalu fokus untuk membalas dendam pada gadis berkulit putih itu. “Siapa sebenarnya laki-laki berengsek itu!? Jika suatu hari saya tahu siapa kamu, akan saya pastikan kamu mendekam di penjara. Karena keberengsekkan kamu yang tidak bersedia tanggung jawab pada Gembira, membawa kesengsaraan di hidup saya!” … Gembira mencabut paksa selang infus yang seharusnya masih terpasang di tangannya. Ia tidak menghabiskan bubur ataupun s**u sesuai perintah Sultan tadi karena hatinya terlanjur sakit. Ia benar-benar tak menyangka, kakak tiri yang selama ini begitu baik dan perhatian padanya, berubah begitu kejam. Setiap kata-kata yang terucap dari mulut lelaki itu seperti belati yang menyayat-nyayat hatinya. Gembira turun dari ranjang. Dengan sedikit tertatih gadis itu berniat meninggalkan kamar Sultan. Baru saja dua langkah kakinya meninggalkan kamar lelaki itu, sosok Sultan berdiri di hadapannya dengan tatapannya yang semakin tajam pada Gembira. “Siapa yang menyuruhmu melepas infus?!” bentak Sultan. “Ira sudah sehat, Kak.” Gembira berusaha menormalkan suaranya. Tadi ia sudah menangis dan ia tidak ingin menangis lagi di hadapan lelaki yang saat ini hanya mengenakan celana jeans tanpa baju. Karena menangis di hadapan lelaki tak berperasaan, hanya membuatnya semakin terlihat lemah. “Siapa yang bisa menjamin sejam kemudian kamu tidak akan pingsan, dan akan merepotkan saya lagi?” “Tidak akan, Kak, Ira janji.” Sultan maju selangkah. Sembari berkacak pinggang dan hal itu semakin mencetak otot-otot di tubuhnya yang membuat Gembira sedikit takjub bisa melihat tubuh kekar pria secara langsung. Selama ini, Gembira hanya melihat tubuh-tubuh pria berotot di dunia maya. Gembira yang seorang gadis normal tentulah sangat suka melihat para aktor tampan dan terlebih memiliki tubuh mengagumkan. “Lihat apa kamu?” tanya Sultan dengan mata memicing. “I—itu, Kak.” Gembira tergagap dan mengutuk matanya yang kurang ajar karena mengagumi tubuh lelaki yang selama dua bulan ini telah membuat hidupnya bagai di neraka. “Itu apa?!” Sultan kembali membentak. “Ah, saya tahu, kamu pasti sudah sering melihat tubuh laki-laki seperti saya ini bukan?” “Tidak, Kak. Bukan seperti itu,” bantah Gembira sembari mengerakkan kedua telapak tangannya. Geram karena Gembira sok lugu, Sultan mencengkeram rahang gadis itu. “Kamu tidak usah pura-pura seperti perawan lugu. Karena nyatanya kamu sekarang telah hamil entah dengan siapa.” “Sakit, Kak. Tolong lepas,” rintih Gembira memohon. Sultan tak menggubris permintaan Gembira. Lelaki itu mendekatkan wajahnya pada wajah Gembira. Menyorot tajam pada manik gadis yang saat ini pipi bagian bawahnya memerah. “Ingat baik-baik ya, Gembira. Hidupmu tidak akan pernah bahagia, jika kamu belum bersedia mengatakan siapa ayah dari bayi yang sekarang kamu kandung. Ingat baik-baik ucapan saya ini!” Dengan kasar Sultan menghempaskan wajah Gembira hingga membuat tubuh gadis itu tersungkur di lantai. “Aaakh!” pekik Gembira ketika kepalanya membentur lantai. Merasa tak terima dengan tindakan sang kakak sekaligus suaminya itu, Gembira dengan segera berdiri. Dengan sedikit kekuatan yang dimilikinya, Gembira berusaha melawan Sultan dan mengayunkan tangan kanannya berniat memberikan tamparan pada wajah lelaki itu. “Lancang kamu, Gembira!” geram Sultan yang dengan mudah menangkap lengan Gembira. “Kalau Ira lancang, apa sebutan yang tepat untuk Kakak yang tega menyakiti Ira seperti barusan?” “Kamu berani melawan saya? Kamu pikir kamu siapa? Kamu hanya benalu di rumah ini!” Gembira tak sanggup lagi menahan air matanya. Hatinya benar-benar dihancurkan oleh lelaki sang selama sepuluh tahun terakhir ini ia panggil Kakak. Andai ia memiliki kekuatan untuk mengatakan fakta sebenarnya, mungkin kakak tirinya itu tidak akan sekejam ini padanya. Namun sayangnya, Gembira sama sekali tak tega untuk mengatakan kebenaran itu, karena ia tidak ingin semakin banyak pihak yang terluka akan kejujurannya. “Ira janji, Kak, jika bayi ini telah lahir, Ira akan meninggalkan rumah ini untuk selamanya. Kak Sultan tidak perlu khawatir, benalu ini akan pergi beberapa bulan lagi. Tetapi Kak Sultan perlu ingat satu hal, terkadang, kebohongan memiliki alasan tersendiri yang tidak selamanya alasan itu buruk,” ucap Gembira dengan tatapan begitu dingin. Gadis itu juga menarik paksa tangannya dari genggaman Sultan. “Apa maksud kamu?” Gembira tidak menjawab pertanyaan Sultan, karena gadis itu dengan tertatih telah menuruni tangga untuk menuju kamarnya. Kamar yang menjadi saksi kesakitan hatinya selama dua bulan ini. Bersambung        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD