Episode 5

1657 Words
Gembira masih duduk di depan pintu kamarnya, memandangi taman dan kolam renang sembari menggenggam buku kontrol kandungannya. Tepat hari ini, kehamilannya memasuki bulan kelima. Dan hari ini, ia sudah membuat janji dengan salah satu dokter di klinik kandungan, untuk memeriksakan kandungannya. Gembira menghela napas, sejujurnya ia sedikit takut harus bepergian seorang diri. Ia takut bertemu dengan orang-orang yang mungkin akan menghinanya dan juga bertemu dengan pria biadab itu. Sejak pernikahannya dengan Sultan, Gembira memang tidak pernah keluar rumah barang sebentar. Karena selain Sultan melarangnya, Gembira juga enggan untuk bepergian. Beruntung, ia sudah mengikuti ujian sebulan sebelum pernikahannya dengan Sultan dan dinyatakan lulus. “Apa minta antar Mbok Ning saja ya?” Gembira bergumam, menimang keputusannya. Lalu setelah mempertimbangkan banyak hal, gadis itu beranjak untuk mengganti pakaian. Tak lupa Gembira juga memoleskan riasan tipis di wajah ayunya dan meraih tas slempang miliknya untuk menyimpan dompet, ponsel dan buku kontrol kandungannya. Gembira berjalan dengan girang menuju dapur untuk menghampiri Mbok Ning. Namun yang Gembira temukan justru Sultan yang tengah mengaduk entah apa dengan posisi membelakanginya. Karena tak ingin mendengar kata-kata pedas dari suaminya itu, Gembira berbalik untuk mencari Mbok Ning melalui jalan samping dapur. Tetapi terlambat, Sultan rupanya sudah mengetahui keberadaan Gembira. “Mau ke mana kamu?” tanya Sultan masih seperti biasa, tanpa keramahan. “Ira mau cek kandungan,” jawab Gembira tanpa membalikkan badan. Sultan berjalan mendekat dan dengan mudah memutar tubuh Gembira agar menghadapnya. Sultan dengan saksama meneliti penampilan gadis yang saat ini berstatus istrinya itu. Hati kecilnya mengakui, Gembira memang memiliki paras cantik di atas rata-rata. Kulitnya putih bersih, rambut kecokelatan tergerai indah, mata bening yang meneduhkan. Hidungnya yang seperti kuncup bunga, berukuran mungil. Dan sepasang pipi bersemu kemerahan saat marah atau malu-malu. “Kenapa harus berdandan seperti ini?” tanya Sultan tidak suka melihat penampilan Gembira yang tidak seperti biasanya. Selain mengenakan gaun kuning polos yang semakin menguarkan kecantikannya, Gembira juga merias wajahnya. Gembira meraba pipinya. “Ira Cuma pakai bedak tipis dan sunscreen, Kak.” “Pakai lipstik juga kan kamu?” tebak Sultan. Gembira mengangguk. “Sedikit, Kak.” Entah mengapa Sultan tidak menyukai kejujuran Gembira. Dan pikiran buruk, jika Gembira akan bertemu dengan pria berengsek itu tiba-tiba menghiasi kepala Sultan yang lantas membuatnya marah. “Jangan-jangan kamu berdandan seperti ini karena sudah janjian dengan cowok sialan itu!” Sultan memicingkan mata curiga. Gembira yang sejak tadi menunduk, mengangkat wajahnya untuk memandang Sultan. “Tidak, Kak. Ini Ira lagi cari Mbok Ning mau minta antar ke klinik,” beritahu Gembira. “Alasan! Kamu pasti ….” “Kalau Kakak tidak percaya, kalau begitu, Kakak saja yang antar Ira ke klinik.” “Kamu pikir saya sudi?” Gembira mencoba untuk sabar. Mood-nya pagi ini sedang sangat bagus karena sebentar lagi ia bisa melihat sosok bayinya melalui layar USG. Dan ia tidak ingin, karena ucapan kelewat kejam sang suami membuatnya mood-nya hancur. Gembira tersenyum. “Ya sudah kalau Kak Sultan tidak bersedia mengantar Ira ya tidak apa-apa. Itu artinya Kak Sultan harus percaya sama Ira, kalau Ira tidak akan ….” “Tunggu di depan, saya yang akan mengantarmu!” potong Sultan. “Apa, Kak? Kakak mau antar Ira?” tanya Gembira memastikan, karena tak sepenuhnya yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. “Hanya mengantar sampai parkiran. Jangan berekspektasi terlalu tinggi kamu!” Sultan mengingatkan. “Iya, Kak, Ira paham,” jawab Gembira lirih. Sultan memang selalu bisa membuat perasaannya layaknya roller coaster. Sedetik dibuat bahagia, namun detik berikutnya dihempaskan jatuh ke jurang. Sakit. … Mereka tiba di sebuah klinik kandungan, lima belas menit kemudian. Seperti yang sudah Sultan tegaskan tadi sebelum mereka berangkat, Sultan hanya akan mengantarkan hingga tempat parkir yang itu juga berarti, Sultan tidak turut mengantar Gembira ke dalam klinik bertemu dengan dokter. Sultan memerhatikan Gembira yang sudah turun dari mobil dan berjalan menuju klinik. Rahangnya tetap saja mengeras, meski sudah tidak ada Gembira di sisinya. Entah mengapa, jika teringat akan pernikahannya saat ini dengan Gembira, Sultan merasa dadanya ingin meledak. Ia begitu marah, namun tak bisa melampiaskannya secara tuntas, meski ia kerap memaki Gembira dengan sebaris kalimat pedasnya. Sultan mengembuskan napas dan meraup wajahnya menggunakan telapak tangan. Ia dibuat bingung dengan sikap Gembira, yang sangat tidak ingin membuka suara tentang siapa sosok pria biadab itu sebenarnya. Sultan mematikan AC mobil, dan membuka sedikit kaca mobilnya untuk mendapatkan udara yang masih segar pagi hari ini. Ia lantas membuka ruang obrolan dengan Paramita dan mengirimkan pesan untuk sang kekasih. Sultan: Rindu kamu Menunggu hingga beberapa menit, namun tak kunjung mendapat balasan, Sultan akhirnya memilih meletakkan begitu saja ponselnya pada kursi sampingnya yang tadi diduduki Gembira. Sultan lantas memilih untuk mengamati keadaan sekitar klinik yang pagi ini cukup ramai pasien. Ada lima mobil yang terparkir termasuk mobil miliknya, dan sepuluh motor. Dua orang penjaga parkir nampak berjaga di jalan masuk klinik. Sultan cukup tahu mengenai reputasi klinik kandungan Bunda Ceria ini, karena Dokter Andre—pemilik klinik tersebut adalah salah satu klien di bengkel miliknya. Selain dikenal sebagai klinik dengan peralatan terkini, klinik Bunda Ceria juga dikenal dengan keramahan para staf dan dokternya. Dan yang di Jakarta ini adalah cabang kelima dari klinik kandungan milik Dokter Andre itu. Sultan melihat sepasang suami istri baru saja keluar dari klinik. Keduanya terlihat begitu mesra. Sang pria menuntun sang wanita yang sudah hamil besar. Dan wajah keduanya nampak begitu bahagia. Seketika itu pula, pikiran Sultan tertuju pada sang kekasih. Andai ia dan Paramita jadi menikah, mungkin hari ini ia dan Paramita tengah merasakan kebahagiaan seperti pasangan suami istri yang kini sudah memasuki mobil mereka. Dan perlahan mobil bergerak meninggalkan klinik, setelah sang pria membayarkan uang parkir. Kedua lelaki muda penjaga parkir tersebut berjalan melewati mobil Sultan sembari berbincang. Dan berhenti tepat di depan sebuah mobil, tak jauh dari mobil Sultan terparkir. “Cakepan cewek yang tadi yang pakai baju kuning kan, Bro?” tanya si penjaga parkir yang mengenakan topi pada kawannya yang berambut cepak. “Kalau bodinya sih bagusan yang barusan, Bro. Bohai banget. Tapi kalau soal cantik, yang baju kuning tadi memang lebih cantik. Mulus banget kulitnya. Mana sendirian pula, cek kandungannya. Kalau gue yang jadi suaminya, gue kawal walaupun ke toilet.” “Iya, g****k banget suaminya. Punya istri cantiknya udah kayak artis malah dibiarin pergi sendiri.” Sultan mendengar dengan jelas setiap kata yang terucap dari bibir kedua penjaga parkir itu. Dadanya bergemuruh hebat. Entah mengapa Sultan begitu marah, karena kedua lelaki itu sudah memuji Gembira dan mengatainya sebagai suami g****k. Tak ingin kedua penjaga parkir itu melontarkan pujian yang menjurus pada s****l harassment lebih jauh lagi, Sultan keluar dari mobil. Dengan sengaja ia membanting pintu mobil, yang membuat kedua penjaga parkir klinik menghentikan obrolan mereka. Sultan berjalan ke arah kedua penjaga parkir itu dan menghunuskan tatapan tajamnya pada mereka. “Wanita yang kalian puji cantik itu adalah istri saya,” kata Sultan dengan penuh penekanan di setiap katanya. Kedua manik penjaga parkir terbuka sempurna. Terkejut. “Maaf, Pak, jangan marah dulu. Kami cuma memuji saja, Pak. Namanya juga kami laki-laki normal. Wajar kalau kami terpesona lihat cewek cantik,” alibi si penjaga parkir bertopi. “Iya, Pak. Maaf deh, kalau omongan kami buat Bapak tersinggung,” rekannya yang berambut cepak menyahuti. “Cuma, istri Bapak memang beneran cantik kok, Pak. Tapi kami sama sekali tidak berniat jahat, Pak. Kami masih waras, tidak mau cari masalah.” “Tapi kata-kata kalian tadi, memang bisa menimbulkan masalah jika suami wanita yang kalian puji tidak terima!” “Iya, iya, Pak. Kami kan sudah minta maaf.” “Iya, Pak. Lebih baik Bapak buru-buru ke dalam deh sana, temani istri Bapak.” “Iya, Pak, kami permisi ya, Pak. Maaf sekali lagi.” Kedua penjaga parkir tersebut meninggalkan Sultan yang termangu beberapa saat di tempatnya. Sultan seolah tersadar, jika ia baru saja marah karena ada laki-laki asing yang memuji kecantikan Gembira yang saat ini berstatus istrinya. Harusnya ia tidak perlu marah atau tersinggung atau apapun sebutannya karena seseorang memuji Gembira. “Sialan!” Makinya pada diri sendiri. … Gembira mempertahankan senyumnya sejak di dalam klinik hingga kini ia duduk di mobil Sultan. Meski Sultan lebih banyak diam dan terlihat tidak peduli dengan bayinya, namun Gembira cukup senang karena kakak tirinya itu bersedia menyusulnya untuk bertemu dokter. Terlebih saat keluar dari klinik tadi, Sultan memeluknya dengan posesif bahkan membukakan pintu mobil untuknya. Mobil kini sudah bergerak meninggalkan area klinik. Suasana di dalam Jeep Wrangler begitu hening. Sultan tidak menyalakan pemutar musik dan memilih menutup rapat bibirnya. Gembira sendiri tidak berani menyuara karena tidak ingin mengusik sang suami yang tengah fokus menyetir. Kini hanya deru suara mesin yang dioperasikan dengan kecepatan sedang oleh Sultan, yang menemani perjalanan mereka menuju rumah. Begitu satu blok lagi mereka tiba di kediaman Sultan, Gembira melihat penjual tahu gejrot dan meminta pada Sultan untuk menghentikan mobil. “Itu tidak sehat, Ira. Nanti biar Mbok Ning saja yang buatkan.” Itu adalah jawaban Sultan dari rengekan Gembira yang meminta membeli tahu gejrot. Dan Sultan tentu saja tetap menjalankan mobilnya. “Tapi, Kak, kalau buat sendiri rasanya beda. Tolong ya, Kak. Kakak tidak kasihan dengan bayi Ira? Kalau nanti bayi Ira sampai ileran gimana?” “Kamu pikir saya peduli!” sahut Sultan masa bodo. “Kak, tolong ya, Kak.” Gembira tak berhenti merengek dan sekarang bahkan gadis itu sudah menggerak-gerakkan lengan Sultan. “Lepas, Ira! Kamu mau buat kita celaka?!” bentak Sultan akhirnya, yang membuat Gembira seketika menjauhkan tubuhnya dari Sultan. “Kamu memang tidak bisa dibaik-baikin sedikit saja ya. Ngelunjak jadinya! Nyesel saya sudah mengantar kamu ke klinik.” Gembira tak berkata apapun untuk menimpali kalimat Sultan yang lagi-lagi melukai hatinya. Gadis itu terdiam hingga tiba di rumah dan turun dari mobil. Bahkan saat Sultan menyindirnya karena tidak mengucapkan terima kasih, Gembira tetap diam. Salahnya yang terlalu berangan-angan terlampau tinggi, jika kebaikan Sultan tadi pagi akan berlanjut hingga siang dan seterusnya. Seharusnya Gembira sudah paham, jika sikap Sultan akan tetap seperti itu hingga pernikahan mereka benar-benar usai dan ia pergi dari hidup Sultan. Bersambung      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD