Episode 12

1172 Words
Hari ini adalah perayaan ulang tahun Tante Sarah yang ke-45 tahun. Wanita cantik itu memang tidak bisa beraktivitas seperti semula setelah kecelakaan yang membuatnya menderita kelumpuhan. Namun meski begitu, semangatnya menjalani hari-hari layaknya manusia sehat pada umumnya patut diacungi jempol. Om Rian adalah suami kedua Tante Sarah dan dari pernikahannya dengan Om Rian, mereka dikaruniani seorang putera berumur delapan tahun. Gembira berjalan bersisian di samping Sultan, begitu mereka tiba di sebuah bernuansa putih berlantai dua. Mereka disambut oleh security rumah tersebut dan segera berjalan memasuki rumah tersebut begitu mereka tiba di sana. Sama sekali tidak ada raut keramahan di wajah Sultan, yang membuat nyali Gembira semakin menciut. Gadis itu sudah merasa enggan untuk datang ke sana, dan saat ini harus mendapati wajah kaku Sultan yang membuatnya semakin tak berdaya. “Mas.” Paramita yang juga hadir di pesta ulang tahun Tante Sarah melambai begitu melihat kehadiran sang kekasih. Dengan senyum cerah Paramita menghampiri Sultan yang juga tersenyum sama cerahnya. “Hei, Sayang.” Tanpa sungkan Sultan mendaratkan kecupan ringan di pipi sang kekasih. “Aku pikir kamu tidak jadi datang,” ucapnya memandang Paramita dengan penuh pemujaan. Gembira termangu di tempatnya. Gadis itu dilanda kebigungan mengartikan perasaannya sendiri ia merasa hatinya seperti tercubit melihat kemesraan yang ditampilkan Sultan dan Paramita. “Hai, Ira.” Paramita menyapa dan memeluk gadis yang tak lain ada istri dari kekasihnya. “Hai, Kak.” Gembira balas menyapa. “Kamu cantik sekali hari ini,” puji Paramita. “Gaunnya bagus.” “Ini ….” “Tante Sarah di mana, Yang? Aku mau ketemu.” Dengan sengaja Sultan memotong kalimat Gembira. Tak ingin istrinya bercerita macam-macam pada Paramita dan membuat hubungannya dengan Paramita kembali memburuk. “Ayo, aku antar. Tante dan yang lainnya ada di kebun belakang.” Paramita sudah menggandeng lengan Sultan. “Ayo, Ira,” ajaknya pada Gembira yang diangguki okeh gadis itu. Dengan perasaan pilu, Gembira mengekori Sultan dan Paramita ke bagian belakang rumah besar itu. Tidak seharusnya memang ia merasakan cemburu melihat kemesraan Sultan dan Paramita, karena faktanya, dirinya yang sudah merebut raga Sultan dari perempuan itu. Gembira berkali-kali menghela napas sembari berdoa agar Tuhan tidak mempertemukannya langsung dengan pria yang telah menodainya. Namun rupanya doanya kembali tak diwujudkan oleh Yang Kuasa, karena pria itu nyatanya ada di seberang kolam, tengan berbincang hangat dengan anggota keluarga Sultan lainnya. “Kamu harus kuat, Gembira. Tunjukkan padanya kalau kamu bukan gadis lemah lagi, yang akan ketakukan hanya dengan tatapannya.” Gembira menguatkan hati. Sementara itu Sultan dan Paramita sudah membaur dengan keluarga Sultan lainnya. Tertawa dan saling bertukar cerita dengan penuh keakraban. Gembira memilih untuk duduk di salah satu kursi kosong, duduk bersama seorang wanita paruh baya yang sama sekali ia tak kenal. Gembira berusaha bersikap tenang dan menikmati kue-kue yang tersaji di meja. Taman belakang kediaman Tante Sarah ini memang cukup luas sehingga cukup banyak tamu yang diundang. Lalu ketika Sultan kembali menghampirinya dan mengatakan Tante Sarah ingin bertemu dengannya, Gembira tak bisa menolak. Dengan kaki yang seolah digelayuti batu, Gembira melangkah berat menuju Tante Sarah yang duduk di kursi roda, dikelilingi sanak famili. Tiba di hadapan Tante Sarah, Gembira segera menghambur ke pelukan wanita itu dan tak kuasa menahan tangisnya. Sebisa mungkin, gadis itu tidak melihat ke arah belakang karena di sanalah pria biadab itu berada. “Selamat ulang tahun, Tante,” ucap Gembira dengan air mata berlinang. Gembira memang benar-benar menyayangi Sarah yang sudah ia anggap layaknya tante kandungnya sendiri. Tante Sarah hanya mengangguk, karena memang kini sudah tidak bisa berbicara lagi. “Ya sudah, kamu kembali ke tempat tadi. Sebentar lagi acara tiup lilin akan dimulai, dan saya tidak ingin kamu ada di satu frame foto keluarga Al Ghifari,” bisik Sultan pada Gembira yang tak kuasa untuk menolak. Sebenarnya bukan tanpa alasan Sultan melakukan itu. Lelaki bersorot mata tajam itu memang sengaja meminta Gembira untuk menjauh untuk mengecoh pria biadab yang ia curigai sekarang juga berada di tempat ini. Sejak tadi, meski tubuhnya selalu menempel pada Paramita, sepasang mata Sultan selalu mengawasi gerak-gerik Gembira dan seseorang yang ia curigai sebagai pelaku p*******a Gembira. Namun saat ini Sultan tak menemukan kejanggalan baik dari gestur Gembira maupun seseorang yang ia curigai itu yang tak lain adalah Om Rian—suami Tante Sarah. Gembira menatap dari kejauhan kemeriahan pesta perayaan hari lahir Tante Sarah. Ia benar-benar merasa terasing di sana, karena seluruh keluarga Al Ghifari mendiamkannya. Meski ketika tak sengaja berpapasan, mereka memberikan senyuman, namun Gembira sangat tahu jika senyuman itu palsu. Karena tidak seorang pun dari mereka yang berniat menanyakan kabar dan kehamilannya meski hanya untuk bas abasi semata. Begitu selesai sesi tiup lilin dan pemotongan kue, acara dilanjutkan dengan makan bersama. Berbagai menu nusantara dihidangkan oleh beberapa koki yang bertugas melayani para tamu undangan. Gembira tidak turut mengambil makanan. Gadis itu sejak tadi hanya mengamati riuh tawa para tamu dan mencoba menikmati camilannya. “Ira, makan dulu, yuk.” Paramita tiba-tiba menghampiri, dan menyentuh bahu Gembira dengan lembut. “Yang lain sudah pada ambil makanan, ayo Kak Mita temani. Atau mau Kak Mita ambilka?” tawar Paramita yang dirasakan Gembira sikap Paramita terlalu baik untuk ukuran wanita yang pernah direbut kekasihnya. Gembira mendongak dan tersenyum, “Makasih, Kak. Tapi Ira masih kenyang, dari tadi ngemil terus,” tolak Gembira. Karena alasan sejujurnya ia enggak ke stand makanan, karena di sana terdapat sosok pria itu. Paramita melihat ke meja dan menemukan wadah puding, cake dan juga salad, yang berarti Gembira memang tidak berbohong. “Ya sudah kalau begitu, nanti kalau ingin makan sesuatu, chat Kakak saja ya.” Gembira menganggukkan kepala, “baik, Kak. Makasih sudah perhatian sama Ira,” katanya begitu tulus. Paramita tertegun mendengar kalimat terakhir Gembira dan akhirnya memutuskan untuk duduk kusi kosong samping gadis itu. “Lho kok bilangnya begitu? Memangnya Kak Sultan tidak perhatian lagi ke Ira?” tanya Paramita penasaran. Ia memang masih sangat mencintai Sultan dan tentu saja sempat membenci Gembira. Namun lambat laun kebenciannya memudar, karena ia pernah mendengar dan melihat sendiri bagaimana Sultan memperlakukan adik tirinya itu. Dan lebih parahnya lagi, Sultan kini justru menempatkan Gembira di kamar paviliun. Padahal sebelumnya, Gembira menikmati kamar tamu yang tentunya lebih nyaman. “Kak Mita sudah tidak marah lagi ke Ira?” Gembira memilih untuk tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan kekasih dari kakak tirinya itu. Paramita menggeleng. “Tidak ada gunanya Kakak marah ke Ira, karena Kak Mita yakin kalau Ira punya alasan kuat melakukan semua ini.” Gembira tersenyum haru. Sekuat tenaga, ia coba mengatur emosinya agar tidak menangis saat ini juga karena akan menarik perhatian para tamu lain dan besar kemungkinan ia akan dimarahi Sultan. “Terima kasih banyak, Kak. Boleh Ira peluk Kak Mita?” pinta Gembira yang merasakan ketulusan dari sikap Paramita padanya. “Boleh, dong.” Paramita lebih dulu mendekap tubuh mungil Gembira dan membelai lembut punggung ringkih tersebut. Adegan pelukan antara Paramita dan Gembira tentu tak luput dari penglihatan Sultan. Lelaki tersenyum kecil melihat keakraban antara istri siri dan kekasihnya itu. Membuatnya semakin mengagumi sosok Paramita yang masih mampu bersikap baik pada Gembira meski sudah disakiti oleh gadis itu. Bersambung      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD