Episode 13

1483 Words
Pesta ulang tahun Tante Sarah telah usai setengah jam yang lalu. Dan kini Gembira sudah duduk tenang di kabin belakang untuk mengantar Paramita lebih dulu sebelum dirinya dan Sultan pulang ke rumah. Dan di sinilah saat ini ia berada, di depan rumah Paramita yang begitu megah, menyaksikan sepasang kekasih yang telihat seperti enggan berpisah. Gembira berusaha mengalihkan tatapannya dari sepasang kekasih itu yang kini tengah berpelukan mesra. Cubitan kecil di hatinya kembali terasa dan Gembira tak mampu berbuat apapun untuk meredakan sakit dari cubitan tak kasat mata itu. Karena memang tak seharunya, Gembira merasakan cemburu melihat kemesraan Sultan dan Paramita. Saat Sultan sudah kembali masuk ke mobil, Gembira berpura-pura tertidur untuk menghindari percakapan dengan kakak tirinya itu. Namun rupanya, Gembira benar-benar tertidur hingga tanpa sadar ia mendengar suara Mbok Ning yang membangunkannya. “Nduk, bangun, Nduk, sudah sampai rumah.” Gembira merasa bahunya digoyang-goyang pelan dan mendengar suara yang tak asing, akhirnya ia membuka mata. “Mbok,” ucapnya sedikit terkejut. Gembira menegakkan tubuh. “Sudah sampai, Nduk, ayo pindah ke kamar tidurnya.” Gembira melihat ke kabin depan, dan tak mendapati Sultan berada di balik kemudi, pantas saja Mbok Ning yang membangunkannya. “Mas Sultan sudah masuk, Nduk.” Mbok Ning menjawab rasa penasaran Gembira. “Tadi Mas Sultan sendiri yang meminta Mbok untuk membangunkan Nak Ira. Ayo, Nduk, ke kamar.” Gembira mengangguk dan tersenyum, lalu turun perlahan dari mobil. Bersama Mbok Ning, Gembira memasuki rumah yang selalu terlihat rapi seperti biasa. Meski usia Mbok Ning sudah tak muda lagi, wanita itu masih gesit merapikan rumah berlantai dua ini. “Gimana tadi Nduk, pestanya?” tanya Mbok Ning begitu mereka tiba di dapur dan Gembira duduk pada kursi bar untuk meminum jus buatan Mbok Ning. “Ramai, Mbok. Hampir seluruh keluarga Kak Sultan datang,” jawab Gembira berusaha untuk berbicara dengan ceria karena sejujurnya hatinya kini bisa dikatakan tengah berdarah-darah. Bagaimana tidak, gadis itu harus berusaha tenang ketika mendapati pria biadab itu juga berada di sana. Belum lagi ia harus menerima tatapan sinis dari para saudara Sultan. Dan ia juga harus menekan rasa cemburunya melihat kemesaran Sultan dan Paramita di sepanjang acara. “Pasti Nak Ira merasa tidak nyaman di sana,” ucap Mbok Ning yang seolah mampu membaca isi hati gadis itu. “Ira senang kok, Mbok, di sana. Semua keluarga Kak Sultan memperlakukan Ira dengan baik,” dusta Gembira. Sultan yang memang lebih dulu memasuki rumah dan membiarkan Gembira berada di mobil, karena ingin buang air kecil, kembali turun untuk mengunci mobil dan membuat kopi. Namun langkahnya tertahan, begitu mendengar penuturan Gembira. Lelaki itu sangat amat tahu jika apa yang tengah dikatakan Gembira adalah dusta belaka. Sultan melihat dengan jelas, jika hampir seluruh keluarganya mengacuhkan Gembira di pesta tadi. Sebenarnya, sejak sepuluh tahun lalu pun, keluarga besarnya sudah menentang keberadaan Gembira, dan pernah meminta padanya juga Tante Sarah untuk mengembalikan Gembira pada keluarganya. Ditambah dengan kejadian Gembira hamil entah dengan siapa dan menjebaknya membuat keluarga besarnya semakin membenci Gembira. “Mbok, Ira ke kamar dulu ya. Mau istirahat.” Sultan mendengar langkah kaki yang meninggalkan area dapur dan menuju rumah begian belakangnya. “Mbok,” panggil Sultan begitu ia memasuki dapur dan mendapati Mbok Ning tengah duduk termangu di kursi bar. “Mas.” Mbok Ning seketika berdiri demi kesopanan. “Gembira sudah dibangunkan?” tanya Sultan kemudian, berpura-pura seolah tidak tahu jika Gembira baru saja meninggalkan dapur. “Sudah, Mas. Mbak Ira sudah ke kamarnya,” jawab Mbok Ning. Jika di hadapan Sultan, wanita tua itu memang menyebut Gembira dengan sebutan Mbak Ira, sedangkan jika hanya berdua saja dengan Gembira, Mbok Ning lebih sering menyebut gadis itu dengan Nak Ira, ataupun Nduk karena memang Mbok Ning sangat menyayangi Gembira selayaknya anak kandung sendiri. “Kalau begitu, tolong buatkan saya kopi ya, Mbok, antar ke kamar saya.” “Baik, Mas.” Sultan mengangguk dan bersiap kembali ke kamarnya saat mendengar teriakan Gembira. Bersama dengan Mbok Ning, Sultan tergesa menuju kamar Gembira, khawatir terjadi sesuatu dengan gadis itu. “Gembira, ada apa? Buka pintunya!” Sultan menggedor pintu kamar Gembira yang terkunci. “Mbak Ira, ada apa?” Mbok Ning bertanya panik. “Ada ular, Mbok, Ira takut.” Gembira menjawab di tengah tangisnya. “Apa? Ular?” Mbok Ning semakin panik. Sementara Sultan tengah berusaha membuka paksa pintunya. “Mbok, tolong panggil Pak Ilham ya, minta bawakan linggis,” perintah Sultan yang juga terserang panik. “Ira, kamu bisa dengar saya? Kamu harus menjauh dari ular itu dan ambil benda apapun untuk memukul ularnya, jika mendekat.” Di dalam kamar, Gembira yang sudah berderai air mata, berjalan menuju pojok ruangan samping kamar mandi untuk mengambil sapu. Gadis itu berdoa, agar ular berbisa yang memasuki kamarnya itu tidak menyerangnya. “Ira sudah ambil sapu, Kak,” teriak Gembira tanpa mengalihkan tatapannya pada ular yang masih melingkar di ranjangnya. Gembira benar-benar merasa beruntung karena begitu tiba di kamarnya, ia tidak segera berbaring. Seperti yang diajarkan oleh mendiang Mama Ayuni dan Tante Sarah, jika setelah bepergian ketika memasuki kamar maka harus bebersih dan mengganti pakaian lebih dulu, baru setelahnya beristirahat dengan nyaman di ranjang. Dan begitu memasuki kamarnya tadi, yang dilakukan pertama kali oleh Gembira memang membasuh kaki, tangan dan wajahnya lalu mengganti pakaian. Dan saat hendak mengembalikan handuk ke kamar mandi itulah, ia melihat binatang melata itu tengah menegakkan kepala di atas kasurnya. “Kunci cadangannya memang tidak ada, Mas?” tanya Pak Ilham begitu sampai di depan kamar Gembira dengan membawa sebuah cangkul. “Sudah tidak ada waktu cari kunci, Pak. Bantu saya saja dobrak pintu ini,” perintah Sultan yang masih berusaha mendobrak pintu dari kayu jati tersebut tanpa menghiraukan tubuh kokohnya yang kini sudah diselimuti keringat dan membasahi seluruh pakaiannya. Tujuannya hanya satu, ingin menyelamatkan Gembira. “Maaf, Mas, biar saya pukul pakai cangkul dulu handle-nya. Biar lebih gampang bukanya.” Pak Ilham meminta izin. Sultan menurut. Lelaki itu memundurkan langkah untuk memberi akses pada Pak Ilham yang kini mengarahkan cangkul pada gagang pintu. Pada pukulan ketiga akhirnya gagang pintu terlepas dan pintu seketika terbuka. “Ya Allah Gusti, ular kobra.” Mbok Ning berteriak histeris mendapati hewan berbisa itu berada di kasur Gembira. “Pak Ilham, tolong perhatikan ularnya, biar saya bawa Gembira keluar dari kamar dulu.” Sultan lagi-lagi memerintah. “Baik, Mas.” Sultan pun bergerak mendekati Gembira yang begitu ketakutan dengan air mata bercucuran tengah bersandar pada dinding. Tanpa bicara, Sultan meraih gagang sapu yang sedari tadi digenggam Gembira dan meletakkannya di sembarang. Kemudian Sultan membawa Gembira pada gendongan dan membawanya keluar kamar. Ia tidak ingin Gembira menyaksikan dirinya dan Pak Ilham membunuh ular berbisa itu. “Mbok, antar Ira ke kamar.” “Kamar siapa, Mas?” tanya Mbok Ning kebingunan. “Antar ke kamar saya.” “Siap, Mas!” Mbok Ning menyembunyikan senyum, demi mendapati Sultan yang ternyata masih begitu perhatian pada Gembira. Gembira tidak berani duduk di ranjang. Ia lebih memilih duduk di sofa menikmati minuman hangatnya yang sedikit banyak membantu mengurangi ketakutannya. Lima belas menit lalu, ia melihat melalui jendela kamar Sultan jika ularnya sudah berhasil dibunuh oleh Sultan, sedangkan Pak Ilham bertugas membuang bangkai ular tersebut. Gembira benar-benar merasa bersyukur hari ini. Di tengah peliknya kehidupan yang harus ia jalani, Tuhan masih menyelamatkannya dari mara bahaya yang mengancamnya. Entah apa jadinya tadi, jika ia langsung berbaring tanpa bebersih lebih dulu dan mengganti pakaian. Mungkin kini ia sudah menyusul sang mama di surga sana. Ketika mendengar langkah kaki tegas menaiki tangga, Gembira memusatkan tatapannya pada pintu kamar Sultan yang memang ia biarkan terbuka. Dan memang, sosok Sultan lah yang muncul dari tangga, bertelanjang d**a, dengan titik-titik air yang membasahi rambut, wajah, dan tubuh atletis lelaki itu. “Kamu baik-baik saja?” tanya Sultan begitu berdiri di hadapan Gembira. Maniknya seperti biasa, menatap lekat pada Gembira. Gembira memilih menundukkan wajah. Karena tampilan Sultan saat ini akan semakin membuatnya terlihat seperti gadis bodoh. “Ira sudah tidak apa-apa, Kak,” lirih Gembira menjawab. “Lihat mata saya ketika bicara!” Mau tidak mau, perlahan Gembira mengangkat wajahnya untuk menatap wajah lelaki yang berdiri menjulang di hadapannya. “Dengar baik-baik apa yang ingin saya sampaikan,” kata Sultan yang diangguki oleh Gembira. “Mulai mala m ini, kamu kembali tidur di kamar tamu. Mbok Ning sedang merapikannya. Tapi kamu perlu ingat satu hal, apa yang saya lakukan ini, semata-mata karena tidak ingin sesuatu terjadi denganmu. Bukan karena saya sudah menerima pernikahan ini. Jadi, apapun yang sedang kamu pikirkan saat ini, buang jauh-jauh. Paham!” Meski Sultan mengatakannya dengan nada keras dan ekspresi dingin seperti biasa, Gembira tetap merasa senang. Tanpa bisa dicegah, Gembira menampilkan senyuman terbaiknya untuk kebaikan Sultan hari ini. “Terima kasih banyak, Kak.” Sultan hanya mengangguk lalu meninggalkan Gembira begitu saja, karena sialnya ia baru saja menyadari jika istri kecilnya itu ternyata tidak mengenakan bra. Sultan baru saja melihat dua bulatan kecil yang dengan sialnya membuat sesuatu di tengah paha kokohnya mengeras. Sialan kamu, Gembira! Bersambung      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD