Part 02

1355 Words
-Caryn POV- "Ayah..." kata itu mengalir begitu saja dari mulutku. Aku tercengang menatap sosok pria paruhbaya yang sedang berdiri di ambang pintu utama mansion ini.  Pria paruhbaya itu adalah Ayahku, bernama Franco Alemannus. Dia seorang pembisnis sukses dan pemilik perusahaan terkenal di negara Italia ini. Dia juga mantan pemimpin gangster berbahaya di masa lalu. Gangster? Menyeramkan bukan? Tapi menurutku itu keren. Melihat foto-foto Ayahku dulu, atau mendengar cerita saat ia melakukan misinya, itu membuatku takjub. Tapi, gangster itu tindakan kriminalitas dan orang-orang jahat. Menyeramkan jika melihat atau mendengar aksi mereka. Ayahku juga pria romantis, memiliki cinta yang luar biasa untuk Ibuku dan tentu anak-anaknya. Sungguh beruntung Ibuku. Tidak seperti aku, menyedihkan. Seandainya suamiku seperti Ayah. Aku benar-benar terkejut dengan kedatangan Ayah di sini. Tanpa menunggu lama, aku dengan sekuat tenaga mencoba menenggelamkan pemikiranku tentang masalah pernikahanku. Aku meneguk salivaku dan aku mencoba menetralisir rasa kagetku, dengan cara aku tersenyum-senyum kepada Ayahku itu. Ayah berjalan mendekatiku dengan wajahnya yang terkesan marah. Dengan sekuat tenaga aku menepis dan menenggelamkan apapun tentang pernikahanku di dalam benakku ini sedalam mungkin. Mencoba hanya fokus pada satu titik pemikiran, ya! Aku harus mendatangkan hal-hal lain ke dalam otakku selain pernikahanku. Jika aku tidak melakukan itu semua, maka Ayah akan bisa membaca dan mengetahui apa yang ku pikirkan, dan aku sembunyikan selama ini. Ayah tampanku itu memiliki kejeniusan dalam membaca pikiran, dan mendengar apapun kata hati seseorang. Aku sebagai putrinya, anak kandungnya ini pun terwariskan keistimewaannya itu. Untungnya aku tau caranya bagaimana menyembunyikan pikiran sesungguhnya di dalam benak ini, agar orang yang memiliki kemampuan yang sama tidak bisa mengetahuinya.  Seperti yang ku lakukan sekarang, menjauhkan tentang suamiku ataupun pernikahan yang ada di otakku. Memang tidak mudah melakukannya, tapi aku sudah biasa melakukan ini sejak pernikahanku terjadi dua bulan yang lalu. Ku lakukan ini terutama untuk Ayahku. Ayah tidak boleh tau kenyataan sesungguhnya akan pernikahanku, jika ia tau akan gawat urusannya. Aku menyembunyikan kebenaran dibalik pernikahanku pada semua orang. Kecuali, Tuhan, Ibuku dan para pelayan di mansion ini. Tuhan tahu segalanya, kita tidak bisa menyembunyikan apapun. Ibuku, huft! Sebenarnya aku menyembunyikan kebenaran darinya, tapi karena suatu kejadian; akhirnya terpaksa rahasia yang aku dan suamiku simpan, terbongkar. Sedangkan para pelayan tau juga bukan aku ataupun suamiku yang memberitahu mereka, tapi mereka tau sendiri dan tentu melihat juga mendengar setiap pertengkaran antara aku dan suamiku, suami kejamku. Sungguh ironis bukan? Beginilah kehidupan yang kini aku jalani, tragis. Orang-orang di luar sana tidak tau, bagaimana sikap dan perlakuan suamiku. Kejam, itu yang ku nilai dari sosoknya. Namun aku sangat mencintainya. Apa dia tau itu? Tidak. "Ada apa ini?" Pertanyaan terlontar dari Ayah, ia sudah ada di depan aku dan Ibu. Aku berpura-pura bingung. "Ada apa, apanya Ayah?" "Ya, apa maksudmu, Fran?" Sambung Ibu. Ayah menghela nafas dan menatap aku dan Ibu secara bergantian. Anehnya, tatapan Ayah padaku tajam sedangkan ke Ibu tidak. Mungkin aku pantas mendapatkan tatapan tajam dari Ayah, aku sadar jika aku telah melakukan kesalahan dengan menyembunyikan sesuatu kepada Ayah. Ohh tidak! Aku membaca pikiran Ayah dan dia ternyata sudah tau tentang apa yang ku sembunyikan.  Bayangan ketika ia baru datang, lalu membuka pintu. Tanpa aku dan Ibu sadari, ia berdiri terpaku dan mendengarkan pembicaraan kami. Semua itu sedang berputar-putar dibenak Ayah. Ya, aku sedang membaca pikirannya. "Caryn! Hentikan usahamu menenggelamkan pikiranmu sebenarnya, sayang," kata Ayahku sedikit melembut. "Apa maksud Ayah?" Aku berpura-pura tidak mengerti. Ayah mengusap wajahnya kasar lalu mengambil sesuatu di saku jasnya, ternyata sebuah sapu tangan. Ayah selangkah mendekati aku dan tangannya mulai mengusap area atas keningku. Ayah masih memperlakukanku dengan manja, wajar! Aku puteri satu-satunya. Karena di dalam keluarga yang ia bangun, hanya aku anak perempuannya, dua anak laki-lakinya adalah adik kandungku, yang tampan-tampan. "Kau berkeringat di ruangan berAC, itu sungguh aneh. Suhu di mansion ini sejuk tapi kau berkeringat. Pasti ada penyebab kenapa kau berkeringat. Ayah tau penyebabnya apa." "Ber..berkeringat? Apakah iya? Dan apa yang Ayah tau?" Tanyaku gugup. Huft! Berkeringat, aku sebenarnya tau kenapa aku berkeringat secara tiba-tiba. Itu efek karena aku berusaha sekuat tenaga otak, agar aku bisa menenggelamkan suatu pikiran. Oh ya Tuhan! Rasanya aku ingin melepaskan pengendalianku ini, rasanya kepalaku sudah mulai sakit. Terdengar Ayah menghela nafas, "Caryn! Hentikan, nak. Lepaskan kekuatanmu itu, atau otakmu nanti bisa pecah." Oh mendengar ucapannya aku jadi menurut saja. Ku lepaskan kendalianku dan tentang pernikahanku serta ketakutanku kepada Ayah, mengisikan benakku. Aku menundukan kepala. "Aku tau kau sudah tau semuanya Ayah. Maafkan aku." "Sebelum kau mengendalikan pikiranmu, Ayah sudah tau Caryn. Sejak tadi Ayah berdiri di pintu, sungguh Ayah sangat terkejut." "Tapi Fran itu ada alasannya, karna--" "Isteriku tercinta, aku sedang bicara dengan puteri kita. Bisakah kau diam sebentar, sayang?" Potong Ayah dengan menatap Ibu. Ibu memutar bola matanya, "baiklah." Ku lihat Ayah kembali melihatku, dengan cepat aku kembali menunduk. Ia membaca pikiranku, yap! Ia tau ada pikiran tentang pernikahanku, dan ketakutanku padanya. "Jika aku tadi tidak datang, pasti aku tidak akan tau ini. Rahasia besar ini pasti akan sulit ku ketahui, karna kau ternyata tau bagaimana caranya menyembunyikan suatu pikiran agar aku atau orang yang memiliki kejeniusan membaca pikiran, tidak tau pikiran yang kau rahasiakan," kata Ayah panjang lebar. "Sungguh menakjubkan! Dari mana kau tau puteriku? Selain orangtua Ayah, Ayah sendiri dan Ibu tidak ada yang tau. Dari mana kau tau, Caryn?" Tambah Ayah. "Aku--" "Oh aku tau! Pasti dari Ibumu kan, Caryn?" Ayah memotong perkataanku. Hey! Aku tau bukan dari Ibu, tapi dari sumber lainnya. Huft! Ayahku sok tau sekali. "Hey suamiku! Kau menuduhku!" Kata Ibu. Terdengar Ayah tertawa, "tidak sayang. Aku hanya ingin menggodamu, kau begitu terlihat tegang, santai saja Celia." "Bagaimana aku tidak tegang? Aku takut kau akan memporak-porandakan tempat ini. Kau tadi terlihat marah." "Ya, memang. Apakah sekarang aku masih terlihat marah?" "Tidak," jawab singkat Ibu. Uh! Kepalaku rasanya ingin patah karna menunduk terus, batinku. "Kalau begitu lihat Ayah, Caryn! Dongakkan kepalamu," ucap Ayah yang ya aku tau dia membalas kata batinku. Aku mencoba memberanikan diri untuk menatap Ayahku. Masih ada rasa takut sebenarnya. Ku tatap wajah tampan Ayahku yang meski sudah tua umurnya, tapi dia tetap mempesona. "Jangan menatapku seperti itu, Caryn. Kau menatapku begitu horror," ujar Ayah padaku. "Aku takut kau marah," jawabku sekenanya. "Marah? Ya memang aku sedang marah, kau pasti tau kan apa yang ada dipikiranku. Coba katakan." Aku membaca pikirannya. "Ada kemarahan yang terpendam dan saat ini yang kau pikirkan adalah nasibku." "Benar sekali, Caryn. Ayah begitu marah padamu, tapi Ayah tidak bisa mengeluarkan amarah di depanmu." "Kenapa, Ayah?" Karna Ayah tidak bisa memarahimu disaat hatimu sedang terluka. Ayah tidak ingin kemarahan Ayah akan menambah luka dihatimu, Ayah tidak inginkan itu. Aku tersentak dan haru mendengar kata hati Ayah barusan. Ayah tau hatiku sedang terluka. Oh seandainya saja suamiku juga memiliki kemampuan hebat seperti Ayah, pasti dia bisa tau ada luka dihatiku. Ayah mengusap kepalaku dengan lembut. "Serapat-rapatnya kau menyembunyikan rahasia, pasti akan ketahuan juga." Aku menghela nafas. "Maaf, Ayah. Aku takut jika kau tau kebenarannya, maka akan terjadi sesuatu yang buruk. Aku tidak mau jalan perceraian juga terpikirkan olehmu, Ayah. Sama seperti Ibu." "Perceraian? Itu benar, Caryn. Kau harus menyudahi semua ini. Nasibmu--" "Jadi Ayah juga sependapat dengan Ibu. Itu..itu tidak mudah, Ayah. Jangan hanya pikirkan nasibku saja, tapi juga orang lain. Ayah bisa kan baca pikiranku, itulah alasannya! Ada nasib orang lain yang ku pertahankan! Aku tidak mau egois." "Caryn...kenapa kau justru terlihat marah pada kami, nak?" Tanya Ibu menatapku heran. "Bagaimana tidak? Kalian lebih dewasa daripada aku, apakah kalian tidak bisa berpikir lebih dewasa daripada aku? Perceraian tak semudah mengangkat helaian kapas. Aku tidak ingin egois yang hanya memikirkan nasibku saja, sungguh aku masih merasa bahagia meskipun ini menyakitkan." "Caryn..." "Ibu, kau tahu kan alasanku mempertahankan pernikahan ini demi siapa," kataku menatap Ibuku. Aku bergantian menatap Ayah, "kau juga tahu kan? Tanpa aku memberitahumu, itulah alasan utama kenapa aku mempertahankan pernikahan ini." Tanpa menunggu jawaban mereka, aku lantas membalikkan badan dan berlari menuju lift agar lebih cepat ke lantai dua mansion. Ku dengar Ayah dan Ibu meneriaki namaku tapi, aku tidak menggubrisnya. Setelah keluar dari lift aku lagi-lagi berlari menuju kamarku dan membuka pintu, lalu menutupnya dengan keras. Kakiku terhenti saat ingin menuju ke ranjang, karena kedua mataku terarah pada sebuah foto berukuran besar terpajang di dinding. Air mataku tumpah begitu saja dan tetap menatap sebuah foto yang berarti untukku meski tak berarti untuknya. Hatiku merasa sakit mengingat suamiku. Ya Tuhan, ku mohon bantu aku mempertahankan pernikahan ini. Untuk Aniela, dialah alasan utamaku. Batinku. * * * * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD