-Caryn POV-
Entahlah sudah berapa lama aku menangis, sampai-sampai kepalaku sakit. Aku duduk di lantai dekat dengan ranjang tidurku, ku letakkan kepalaku diatas ranjang; tepat disisi ranjang. Kedua lipatan tanganku menjadi bantalannya.
Hari sudah mau sore tetapi dari tadi siang aku belum kunjung bangun dari posisiku ini. Apa yang ku lakukan sedari tadi? Menangis dan merenung. Hal yang berguna kah? Tentu tidak.
Tapi inilah aku, tidak memperdulikan pendapat orang lain tentang kelakuanku yang masih dibilang masih kecil. Cengeng. Hatiku memanglah mudah sensitif, tapi aku selalu berusaha untuk lebih bersikap dewasa.
Tiba-tiba terdengar suara nada panggilan masuk dari smartphone milikku. Bukan hanya waktu ini saja, sebenarnya ponselku berbunyi sejak tadi siang. Tapi aku membiarkannya, aku sedang tidak ingin diganggu. Melirik ponselku pun juga tidak. Aku menghapus sisa air mataku dan berdiri, ku langkahkan kedua kakiku menuju kamar mandi dengan gontai.
Sampai di dalam kamar mandi, ku tatap wajahku yang terpantul di cermin berukuran sangat besar. Kedua mataku menyedihkan sekali ya, tidak bukan hanya mataku, wajahku kelihatan buruk sekali. Tidak, tapi hidupku lah yang justru menyedihkan dan buruk. Oh ya Tuhan, kuatkan aku.
Aku mendesah pelan lalu melihat ke arah bathup, sepertinya aku perlu berendam dan merileks-kan tubuhku sejenak. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyiapkan air dingin dan memberi sabun cair ke dalam bathup. Kemudian aku mempoloskan tubuhku dan aku merendamkan tubuhku, mencoba menenangkan pikiranku.
Aku memejamkan kedua mataku dan menikmati waktu berendam. Air yang dingin, aku suka itu. Aku tidak terlalu suka air hangat, aku menggunakan air hangat ketika pagi hari saja.
Beberapa menit telah berlalu, aku sudah rapih dan sedikit lebih baik. Aku melangkah menuju pintu balkon, ku buka pintu tersebut menjadi belah dua. Angin sejuk nan dingin langsung menerpa tubuhku. Rok dress santaiku bertebaran dan rambut panjangku yang terurai ini juga bergoyang-goyang.
Ku langkahkan kakiku sampai dibatas pagar balkon kamarku, aku menatap langit menjelang malam ini. Warnanya tidak seindah seperti biasa ku lihat, gelap sedikit pekat.
"Mendung dan anginnya lumayan kencang, apa akan ada badai?" Tanyaku sendirian.
Sepertinya tidak akan ada badai. Cuacanya mungkin memang berubah, pasti akan segera turun hujan.
Ingatanku tiba-tiba terpatri akan suamiku, tunggu! Tidak biasanya dia belum pulang. Aku memutar badan lalu melangkah cepat masuk ke dalam kamar dan melihat jam dinding. Jam menunjukkan pukul 17:15.
Biasanya suamiku pulang tidak sesore ini, apa dia ada meeting penting? Atau pekerjaan lainnya? Apakah dia sibuk? Entahlah! Aku mengambil ponsel yang tergeletak diatas nakas. Ku lihat banyak pesan masuk, 58 pesan masuk. Oh astaga! Banyak sekali? Dari siapa saja? Aku membuka pesan dan ternyata dari Ibu, Ayah, Aniela dan kedua adikku. Lebih banyak pesan dari Ibu.
"Aku akan membacanya nanti. Sekarang aku akan mengirim SMS ke suamiku," kataku hendak mengetik pesan.
Namun, tiba-tiba saja aku mendapatkan panggilan masuk. Ternyata Ibu yang menelponku. Angkat, tidak, angkat, tidak. Aku akan mengangkatnya. Kasihan Ibuku, pasti dia mengkhawatirkan aku.
"Hallo, Ib--"
"Oh ya ampun Caryn! Kau baru mengangkat teleponku?"
Aku menjauhkan ponsel dari telingaku, Ibuku berteriak di seberang sana.
Aku mendesah dan mendekatkan ponsel ke telingaku lagi. "Maaf Ibu. Aku--"
"Dasar anak nakal! Kau tau? Ibu mengkhawatirkanmu. Ibu--"
"Dengarkan aku dulu, Ibu."
"Caryn! Kau memotong perkataan Ibu, nak? Tidak sopan."
Aku memutarkan bola mataku. "Ibu juga sama. Ibu memotong ucapanku sebanyak dua kali barusan."
"Jadi kau menyalahkan Ibu, begitu?"
"Bukan begitu, Ibu. Baiklah, maafkan puterimu ini ya?"
Terdengar helaan nafas pelan dari sana, "tidak apa-apa, sayang. Ibu hanya mencemaskanmu, nak. Kau tidak membalas SMS-ku ataupun Ayah. Kau juga tidak mengangkat telpon dari kami."
Aku duduk di tepi ranjang dan tersenyum meski Ibu tak melihatnya sekarang. "Jangan mencemaskanku, aku tidak apa-apa, Ibu. Aku baik-baik saja," kataku menenangkan Ibu.
"Kau tidak membohongi Ibu?"
Aku menggeleng, "tidak, Ibu."
"Kau bohong, Caryn. Kau pikir aku tidak tahu?"
"Apa yang Ibu tahu?"
"Ibu mendengar isakan tangismu. Ketika Ibu ingin mengetuk pintu kamarmu, tapi Ibu urungkan. Karena Ibu tahu kau tidak akan membukanya."
Aku langsung tercekat dan diam. Oh astaga Caryn! Kau tidak bisa mengendalikan suaramu? Bodoh.
"Caryn, kau menangis kan sayang? Kenapa kau menangis sendirian, nak? Ada Ibu yang bisa menemanimu disaat kau menumpahkan air matamu."
Aku terenyuh mendengarnya dan aku mengulas senyum, "terimakasih Ibu mau menemani aku disaat aku menangis. Tapi, itu tidak perlu Ibu. Aku tidak mau melihat Ibu menangis seperti tadi, dan aku tidak suka Ibu mengeluarkan air mata."
"Justru Ibu benci disaat kau menangis. Ibu benci melihatmu meneteskan air mata hanya untuk pria sepertinya, itu sia-sia sayang."
"Lalu apa yang harus ku lakukan? Ibu tahu kan tentangku? Ibu lebih tahu segalanya tentangku. Kau pasti tahu hanya dengan menangislah aku bisa mengurangi kesedihan yang terpendam dalam hatiku ini."
"Iya, sayang. Tapi rasanya hati Ibu sakit mengetahui semuanya, dan melihatmu menderita. Rasanya Ibu ingin membawamu pulang."
"Ibu, dengarkan aku. Aku puterimu kan? Ibu selalu mengatakan jika aku wanita yang hebat. Aku ingin menunjukkan kepada dunia jika perkataan Ibu benar adanya."
"Caryn, Ibu tidak tega sayang."
Aku mengulum senyum dan menahan air mataku, "biarkan ini berjalan sampai batas yang di takdirkan Tuhan, Ibu."
Terdengar suara tawa kecil disana, "ohh puteriku memang sudah dewasa ya? Bukan anak kecil lagi yang hanya bisa marah-marah ketika mendapatkan sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan."
Aku tertawa pelan, "benarkah, Ibu?"
"Tentu, nak. Sikapmu berubah menjadi lebih dewasa ketika kau menikah."
"Sudah seharusnya, Ibu. Umurku sudah 25 tahun, sudah semestinya aku lebih dewasa lagi. Tapi, Ibu lah yang pasti lebih dewasa pemikirannya dibandingkan aku bukan?"
"Iya, Caryn. Maaf jika keputusan Ibu kepadamu tadi siang menyakiti hatimu dan membuatmu marah. Ibu berkata seperti itu, karena Ibu tidak kuasa melihatmu menderita dan tidak bisa mengontrol emosi. Maaf ya puteriku?"
Aku menggeleng, "Ibu tidak salah. Aku memahaminya Ibu. Setiap Ibu pasti tidak ingin anaknya menderita, sama seperti halnya dirimu. Maaf aku tadi marah-marah kepadamu dan Ayah, lalu pergi begitu saja."
"Tidak masalah, sayang. Kini Ibu dan Ayah sepakat untuk mengikuti kemauanmu, keputusanmu."
"Jadi?"
"Ayah dan Ibu sudah memikirkannya. Kau benar, kita tidak boleh hanya memikirkan nasib kita. Sedangkan ada nasib lain yang sedang dalam fase kritis. Caryn, pertahankan pernikahanmu dan doa serta kami selalu bersamamu, sayang."
Aku tersenyum dan mengangguk, "tentu Ibu. Demi Aniela, akan ku lakukan untuknya."
"Baiklah, Ibu tutup telponnya ya sayang. Ibu hanya ingin tahu kabarmu saja, jaga dirimu baik-baik dan kuatkan hatimu. Ingat! Ada Ayah, Ibu, Adik-adikmu dan orang-orang yang menyayangimu yang selalu mendoakan terbaik untukmu. Jika terjadi apa-apa, beri kabar Ibu oke?"
Aku mengangguk, "baiklah, Ibu. Selamat malam. Aku sangat menyayangimu, Ibu. Emuachhh!"
"Ibu juga sangat menyayangimu. Kau segalanya puteriku. Selamat malam, jangan lupa makan ya? Emuach!"
Tut..tut..tut..
Panggilan terputus sepihak lalu aku mengulas senyum. Setelah mengobrol dengannya, hatiku jadi tenang. Aku menarik nafas dan menghembuskannya pelan, seraya menatap cincin pernikahan berwarna gold yang melingkar indah di jari manisku, kemudian aku tenggelam dalam lamunan.
Biarkan ini berjalan sampai batas yang di takdirkan Tuhan.
Biarkan ini berjalan atas kehendakNya. Percayakan ini padaNya. Pasti ada maksud lain kenapa ini terjadi dalam hidupku.
Suatu saat pasti ada jawaban yang akan terungkap. Awalnya aku tidak mengerti dengan ini semua tapi, perlahan waktu aku mencoba untuk memahaminya.
Inilah hidup, inilah yang harus ku jalani, apapun kejadian yang ku alami dalam hidup ini aku harus tetap menikmatinya, sekalipun aku harus mengalami rasa sakit.
Aku berdiri dan menatap sebuah foto yang menempel di dinding kamar. Sebuah foto berukuran besar dan itu adalah foto pernikahanku. Sebuah foto hitam-putih, dan tak ada warna yang cerah. Sebuah perkataan terngiang di pikiranku dan itu menyayat hati.
Suamiku mengatakan jika untuk apa foto pernikahan kami berwarna, sedangkan memang tidak ada warna dalam pernikahan ini. Dia juga berkata kalau pernikahan ini tidak berarti sama sekali, dan ia tidak menginginkannya. Sakit bukan?
Istvan Xaferius, itu adalah nama suamiku. Panggilannya adalah Istvan. Usianya 27 tahun. Dia seorang pria yang terlahir dengan blasteran, Yunani-Italia. Dia CEO pada sebuah perusahaan besar di bidang otomotif, tepatnya mobil sport di Italia. Dia tampan? Tentu saja bahkan sangat tampan. Bukan hanya aku yang memujanya, banyak wanita. Aku mencintainya dengan tulus, bukan karena ketampanannya.
Rambutnya hitam legam, kedua lensa matanya berwarna abu-abu, tinggi, dan intinya dia benar-benar tampan. Tapi ketampanannya tak berarti untukku, karena tertutupi sikap dan perlakuan kejamnya padaku.
Orang-orang yang melihat foto itu atau disaat proses pemotretan, berpikiran kami bahagia dan saling mencintai. Tapi sebenarnya itu bukan kebenaran. HANYA AKU yang bahagia, karena bisa menikah dengan pria yang dicintai. Dan HANYA AKU yang mencintainya sepenuh jiwaku, tapi dia tidak.
Istvan tidak menginginkan semua ini terjadi. Justru dia merasa benci pada pernikahan ini dan juga...padaku, aku isterinya. Isteri yang tidak dianggap pernah ada dalam hidupnya.
Lihat foto tatapan kami berdua itu! Romantis bukan? Tapi sesungguhnya tidak. Dia hanya berpura-pura di depan kamera dan orang-orang. Aku bisa lihat arti dari tatapannya itu, kebencian.
Aku juga membaca pikirannya saat itu, hanya ada kebencian di dalam benak dan hatinya. Tak henti-hentinya Istvan mengatakan jika ia benci dengan pernikahan ini. Ia mengucapkannya berulang-ulang kali dalam hatinya, bagaikan mantra.
Kenapa dia sangat membenciku? Apa yang telah ku lakukan? Aku tahu dia terpaksa dan tidak inginkan ini, tapi apakah dia tidak bisa memahaminya dan menerimanya? Tidak lama, hanya sebentar saja.
Bukankah dia juga setuju sebelumnya tentang pernikahan ini? Tapi kenapa dia begitu jahat padaku? Salahku apa? Aku selalu menghormatinya, dan memperlakukannya dengan baik. Meski aku selalu mendapatkan sikap jahatnya.
Oh hentikan Caryn! Harusnya sekarang yang aku pikirkan adalah tetap bertahan dalam pernikahan ini. Ya! Akan ku pertahankan rumah tangga yang kabut ini. Apapun yang terjadi aku harus menjalani, dan menerima keadaan. Sesakit apapun itu aku harus bisa melawan rasa sakit itu. Aku harus bisa menguatkan hatiku bahkan diriku ini dari rasa sakit. Rasa sakit yang ku dapat dari Istvan.
Suara petir menggelegar membuatku terlonjak kaget, dan mengalihkan tatapanku dari foto itu. Aku berjalan cepat ke pintu balkon, lalu menutupnya. Ku tutup semua tirai jendela kamarku.
Aku mondar mandir seraya melirik ke jam dinding terus menerus. Aku memikirkan Istvan, suamiku.
Beberapa kali terdengar suara petir. Itu membuatku cemas, aku kembali menuju nakas dan mengambil ponselku. Kemudian aku mengetik sebuah SMS dan mengirimnya untuk Istvan.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
To : Istvan Xaferius
Kau sekarang ada dimana, Istvan? Kenapa kau belum pulang? Cuaca sedang buruk, aku mencemaskanmu. Aku takut kau kenapa-kenapa. Aku berdoa semoga kau pulang dengan selamat.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Selang beberapa lama ponselku berbunyi, menandakan sebuah pesan masuk.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
From : Istvan Xaferius
Siapa ini?
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
To : Istvan Xaferius
Aku? Aku isterimu.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
From : Istvan Xaferius
Aku tidak punya isteri.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Aku terkejut membacanya? Bahkan via massage pun ia tidak mengakui posisiku sebagai isterinya. Tidak hanya di depanku, via SMS pun ia tidak mengakuiku. Apakah dia juga akan melakukan hal yang sama di depan dunia ini?
Sakit memang, tapi inilah kenyataannya. Aku hanyalah seorang isteri yang tidak dianggap oleh suaminya. Dalam hukum memang tertulis ikatan resmi kami. Akan tetapi berbeda dengan Istvan, ia tidak mengakui pernikahan ini ada dalam hidupnya.
Apa yang sudah ku pikirkan ini! Jangan seperti ini Caryn, apapun yang dikatakan Istvan hanya baginya saja kan? Pernikahan ini ada, memang terjadi, nyata, sah dan resmi.
Pernikahan ini memang tidak akan ada lagi, namun bukan sekarang, tetapi nanti bila tiba waktunya kesepakatan itu berakhir. 2 bulan lagi.
Aku pun melangkah keluar kamar, dan masuk ke dalam lift. Lift? Ya di mansion ini memang ada lift, sebenarnya ada tangga tapi aku jarang menggunakan tangga. Karena lift lebih cepat membawaku ke lantai bawah atau ke atas. Mansion ini terdiri dua lantai, dan bila melihat lantai dua dari lantai dasar jaraknya lumayan jauh. Mansion tempat aku tinggal ini terbilang mewah.
Setelah keluar aku beberapa kali memanggil pelayan di mansion ini tapi, tidak ada jawaban. Kemana para pelayan? Sepi, itulah kata yang tepat untuk suasana mansion ini. Huft! Itu sudah biasa disini.
"Nyonya, kau memanggilku?"
Suara seseorang menghentikan langkah kakiku dan aku membalikkan badan.
"Sergio," ucapku seraya tersenyum.
Pria setengah paruhbaya itu, maksudku Sergio dia adalah kepala pelayan disini. Tugasnya melayani dan mengawasi para pelayan lainnya dalam bertugas, dia juga yang mengendalikan mansion ini. Dalam teknisi atau pengawasan. Setiap waktu dia berkeliling ke seluruh penjuru mansion untuk berjaga-jaga atau.. yah banyak sekali tugasnya.
Sergio lebih banyak mendapatkan tugas dari Istvan, dia tidak bisa menentang sedikitpun kepada Tuannya itu atau jika tidak Sergio akan mendapat masalah. Sergio juga orangnya sopan, baik dan menjadi penasehat ketiga setelah Ayah dan Ibuku. Dia tahu tentang pahitnya rumah tanggaku dengan Istvan.
"Kau memanggilku, Nyonya Caryn?" Tanyanya padaku.
Aku tersenyum, "siapapun. Karena tidak mungkin kan aku harus memanggil nama satu persatu pelayan disini, banyak sekali."
"Aku kepala pelayan mu ini yang datang, Nyonya. Apa kau butuh bantuan?"
"Maaf, Sergio. Bukannya aku mengejekmu dengan perkataanku barusan."
Sergio tersenyum merekah, "tidak apa-apa. Memang kenyataannya pelayan adalah profesiku. Aku masih bersyukur dan senang menjadi kepala pelayan disini, meskipun terkadang aku jengah."
Aku mengernyit, "jengah?"
"Ya, aku terkadang jengah berada di mansion ini."
"Kenapa, Sergio? Kau tidak betah bekerja disini?" Aku pun merasa khawatir.
Sergio menggeleng, "bukan itu maksudku, Nyonya. Aku betah bekerja disini, hanya saja aku merasa panas bila melihatmu atau mendengar Tuan Istvan memarahimu tanpa alasan yang masuk akal. Tuan Istvan selalu marah padamu, padahal kau tidak melakukan kesalahan. Aku kasihan padamu, Nyonya Caryn."
Aku menghela nafas, "jadi karena itu kau jengah. Begini Sergio, aku pun juga merasa seperti itu tapi, aku harus apa? Apakah aku harus melawannya? Pikirkan saja, jika aku melawannya aku takut dia lama-lama tidak bisa mempertahankan pernikahan ini. Aku harus bisa menjaga pernikahan ini, jangan sampai ia mengucapkan kata perceraian. Karena aku tahu bagaimana dia, Istvan pria yang pemarah dan sekali ia memutuskan sesuatu maka terjadilah sesuai keputusannya."
BRAKK!!!
Suara debrakan membuatku terkejut, begitu juga Sergio. Aku melihat tatapan Sergio yang terpaku menatap ke belakangku, dan wajahnya pucat pasi. Ada ketegangan yang terlihat jelas di tubuhnya.
Aku pun mengikuti arah tatapannya, dan spontan aku meneguk salivaku dengan susah payah.
Istvan!
Sejak kapan dia berdiri di ambang pintu? Istvan tampak menggeram marah, dan telapak tangannya berada di dinding pintu. Apakah suara debrakan keras itu dibuat oleh Istvan? Aku tahu Istvan selalu memukul benda jika ia merasa marah. Aku sering mendengarnya. Aku yakin suara itu, Istvan yang buat.
Istvan menunduk dan mengepalkan tangannya, "beraninya kalian membicarakanku dari belakang."
Aku diam dan Sergio juga diam. Ku lihat Istvan menurunkan tangannya lalu menutup pintu itu dengan kasar, sehingga menimbulkan suara dentuman begitu keras. Lalu Istvan menatapku begitu tajam, sampai-sampai aku tertohok.
Aku akan memberi hukuman untukmu Caryn, wanita sialan.
Aku terkejut setelah membaca isi pikirannya. Oh astaga! Dia menyebutku wanita sialan dan akan menyiksaku lagi.
Oh ya Tuhan, ku mohon sehari saja aku libur dari penyiksaannya. Batinku.
Aku memundurkan langkahku perlahan-lahan ketika Istvan berjalan mendekatiku, masih melihatku dengan kedua mata abu-abunya yang terbesit kemarahan. Percuma aku berusaha kabur dari kemarahannya, dengan cepat Istvan menarik rambutku lalu menyeretku dengan kasar dari hadapan Sergio.
"Sakit, Istvan! Lepaskan aku! Ku mohon! Sakit!!!" Pekikku seraya meronta.
Rasanya rambutku akan terlepas dari kulit kepalaku. Baru kali ini aku merasakan jambakan, dari seorang pria dan itu suamiku. Suamiku! Orang yang ku cintai! Menyedihkan.
"Kau seenaknya membicarakanku dari belakang. Berani sekali kau, wanita sialan!" Kata Istvan dengan nada dingin bercampur amarah.
"Dengarkan aku dulu, bukan maksudku sep--"
"DIAM!" Potongnya cepat.
Aku memejamkan mataku menahan sakit, dan berusaha melepaskan diri. Namun, usahaku sia-sia. Istvan kuat dan terus menarikku.
Tolong aku.
* * * * * *