-Author POV-
Istvan menarik lengan Caryn dan membawanya ke balkon kamar Caryn. Ia melepaskan cekalannya, kemudian berjalan mendekati pagar balkon.
"Kenapa kau pergi begitu saja dari ruang makan?" tanya Istvan mendingin.
Caryn menetralisir rasa gugupnya, "Aku..aku--"
"Kau menggunakan caramu kan? Kau membaca pikiran Aniela bukan? Lalu mengapa kau memilih pergi? Kau tahu? Bisa saja sikapmu itu bisa membuat adikku sedih. Untung saja tidak."
"Aku pergi karena aku bingung akan menjawab pertanyaan Aniela yang kan ia tanyakan padaku."
"Kalau mulutmu itu tidak bisa menjawab, aku bisa menjawabnya."
"Dengan berbohong? Begitukah caramu?"
Istvan mengepalkan tangannya kemudian berbalik badan, ia menatap Caryn dengan sorot dingin dan senyumnya yang sinis.
"Itu jalan satu-satunya. Lagipula kau pun juga menggunakan cara yang sama."
Caryn tercekat, yang dikatakan Istvan benar. Hidup yang dijalani Caryn dalam pernikahannya memang hanya ada kebohongan. Ia berbohong, selalu menipu Aniela itu pun karena terpaksa. Semua yang ia lakukan demi membuat Aniela bahagia disisa akhir hidupnya.
Dan Caryn juga mengerti mengapa Istvan berbohong. Tentu alasannya sama seperti Caryn. Istvan melakukannya demi memuaskan hati adiknya, menuruti dan mengabulkan setiap permintaan Aniela seolah-olah dia itu Tuhan.
Jauh dari lubuk hati Caryn, ia sudah mulai lelah menjalani ini semua diatas kebohongan. Pernikahan mereka sesungguhnya buruk, bukan baik seperti yang dilihat Aniela.
"Aku takut bila kita terus menerus berbohong, kita akan semakin membuat Aniela menderita meskipun ia tidak menyadarinya. Apa kau tidak kasihan melihatnya bahagia tetapi itu karena kebohongan dan kepura-puraan belaka?" Caryn menghela nafas.
Istvan tersenyum kecut, "Lalu bagaimana lagi heh? Kau ingin kita membongkar kebenarannya? Lalu membuatnya hancur?
"Ya, lebih baik jujur meskipun itu menyakitkan. Daripada--"
"Kau!" potong Istvan yang tiba-tiba saja kembali mencekal lengan Caryn kuat-kuat.
"Awhhh, lepaskan," rintih Caryn berusaha melepaskan cekalan suaminya.
Istvan menatap Caryn tajam, "Jadi kau ingin membuatnya hancur begitu? Beraninya kau melakukan itu padanya!"
"Kenapa kau tidak mengerti? Pikirkan bagaimana jika kebohongan ini akan terbongkar pada akhirnya? Itu justru lebih buruk. Serapat-rapatnya suatu kebohongan disembunyikan, suatu saat akan terkuak juga. Entah dengan sendirinya atau tidak."
Caryn mencoba meyakinkan Istvan, "Aku lelah! Aku lelah terus berbohong! Aku kasihan padanya. Aku tidak ingin orang yang sangat ku sayangi itu bahagia diatas kebohongan."
"Jangan pikirkan soal itu! Pikirkan bagaimana nasibnya jika ia mengetahui kebenarannya. Takkan ku biarkan kau menghancurkan Aniela," Istvan melepaskan cekalannya dan menjauhi Caryn.
Caryn duduk disofa, ia tak tahan dengan apa yang sudah ia lakukan. Ia memikirkan nasib Aniela, dari awalpun yang ia lakukan juga demi Aniela. Tetapi jika ini semua dilakukan, maka sama saja nasib Aniela buruk bukannya baik di sisa umurnya.
Oh ya Tuhan, maafkan aku yang melakukan dosa ini. Sungguh yang ku lakukan demi Aniela. Jika ini cara yang salah, maka tunjukkan aku jalan yang benar, batin Caryn.
Istvan membuang nafas, "Sebenarnya saat ini aku ingin melempar semua rasa amarahku padamu. Tapi, karena ada Aniela, aku akan melakukannya dilain waktu."
Caryn mengabaikan perkataan Istvan, dia bertanya, "Siapa wanita yang kau cintai? Apakah dia tahu kita menikah? Apakah dia tersakiti?"
Pertanyaan yang barusan dilontarkan Caryn, karena ia sangat membutuhkan jawaban itu. Entah mengapa ia memikirkan perasaan wanita yang dicintai suaminya itu. Caryn seseorang yang tidak mau menyakiti hati orang lain.
Emosi menggebu, siap meledak tapi Istvan kendalikan dengan tersenyum masam. Ia menatap langit yang cerah di pagi hari ini.
"Dia sosok wanita yang luar biasa. Dia mengetahui pernikahan sialan ini, dan sama sekali tidak menyakiti hatinya, justru dia merasa bahagia," balas Istvan dan kembali berwajah dingin.
Caryn tercenung dan mengernyit bingung, "Siapa nama wanita itu? Kenapa kau tidak mau memberitahuku? Dan bagaimana dia bahagia kalau kau menikah denganku?"
Istvan spontan menggertak dan membalikkan badan, "Bisakah kau diam! Atau aku akan menggamparmu!"
Caryn terkejut, ia menahan rasa sakit dihatinya. Suaminya begitu kasar, dalam perkataan dan perbuatan. Baru kali ini ia bertemu pria sekasar itu dalam hidupnya, suaminya pula.
"Jangan berusaha mencari-cari nama wanita itu dalam benakku! Tatapanmu itu aku kenali, kau sedang membaca pikiranku bukan?"
Caryn mengerjap, ia terlalu fokus mencari jawaban di dalam pikiran Istvan. Hasilnya? Nihil. Ia tidak menemukan apapun, hanya ada kebencian. Dan kebencian itu terarah untuk dirinya sendiri --Caryn--.
"Jadi kau mengetahui kemampuanku ini dari Aniela? Dan bagaimana bisa kau tahu cara menyembunyikan suatu pikiran dariku? Darimana kau mendapatkannya?" tanya Caryn.
"Kau ini Aniela ke dua ya? Lebih baik dia yang banyak bertanya dibandingkan dirimu. Rasanya aku mau muntah menjawab pertanyaanmu," ketus Istvan.
Sadis!
Caryn akhirnya memilih untuk diam, dan tidak menatap Istvan. Ia tidak tahan terus menerus mendapatkan tatapan Istvan yang tajam dan menohok. Mendengar suaranya pun hanya ada nada dingin.
Kerinduan selalu menggebu dalam hati Caryn, meski mereka satu atap. Tetapi itulah kenyataannya, Caryn terlanjur terlalu mencintai suaminya. Maka dari itu wajar saja kerinduannya menggebu, karena memang kerinduan itu tidak sempurna terobati.
Rasa rindunya terobati hanya dengan sekali melihatnya, tetapi kalau kondisinya tidaklah mengenakkan bagaimana bisa terobati maksimal? Ingin rasanya Caryn memeluknya, menciumnya dan berlama-lama dengan Istvan.
Tetapi dinding penghalang itu ada, dinding kebencian yang menutupi diri Istvan. Jangankan menghabiskan waktu bersama, berdua walaupun satu detik saja Caryn sudah merasakan sakit yang luar biasa.
Bayangkan! Memiliki suami yang sikap dan perilakunya seperti Istvan Xaferius. Pernikahan mereka tidak berarti dalam satu keindahan yang sempurna.
"Berpura-puralah hamil," ucap Istvan yang berhasil membuat Caryn tercekat.
Caryn berdiri, "Tidak! Jangan masukan soal kehamilan dalam kebohongan ini!"
"Jangan membantah!" tekan Istvan.
"Jika dia meminta bukti bagaimana, Istvan?"
"Mudah saja. Aku bisa menyogok petugas rumah sakit untuk membuat laporan palsu."
"Apa?! Kau pun mengambil keuntungan uangmu untuk berbuat dusta? Aku tidak mau."
"Jangan menentangku, Caryn!"
"Aku tidak mau."
"Lalu mau mu apa? Kau tidak ingin berpura-pura hamil? Apa kau ingin dirimu benar-benar hamil? Bagaimana bisa?"
Aku ingin anak darimu orang yang sangat ku cintai, sangat menginginkannya. Tapi itu mustahil, batin Caryn.
Istvan tersenyum sinis, "Apa kau benar-benar ingin hamil? Kalau kau ingin hamil, bercintalah dengan pria lain dan membuatmu hamil."
Caryn terkejut, ia membelalak matanya. Semudah itukah Istvan mengatakannya? Pria lain katanya? Sungguh tidak berlogika!
"Itu tidak mungkin," balas Caryn menahan air matanya.
"Lalu apa? Kau ingin anak dariku? Benar begitu?"
Iya, Istvan. Kau menebaknya dengan benar, tapi itu juga tidak mungkin. Jawab Caryn dalam hatinya.
Istvan tertawa hambar dan menatap Caryn dari atas sampai bawah dengan rasa muak. "Jangan bermimpi! Membayangkan bersetubuh seinci saja denganmu tidak pernah. Kalau pun itu terjadi, sangat menjijikkan!" kata Istvan mencemooh.
Apa?!!!!! Menjijkkan katanya! Kurang ajar! Ucapannya keterlaluan, adakah hati seorang wanita yang tidak sakit setelah mendengar kata-kata kasar itu?
Air mata terbendung, ingin rasanya Caryn menangis saat itu juga. Hatinya memang mudah terbawa perasaan dan mudah sakit hati. Saat-saat inilah Caryn belajar untuk tidak cengeng, tidak mau terlihat terlalu lemah dimata Istvan. Caryn menahan air mata itu, dan menunduk.
"Caryn! Caryn!" teriak Aniela dari luar pintu kamar Caryn, sembari mengetuk-ngetuk pintu dan mencoba membukanya.
Aniela mengernyit, pintunya terkunci. Dia tadinya mencari kakaknya kemana-mana, tapi tidak menemukannya. Aniela tidak tahu kalau Istvan berada di dalam kamar itu bersama Caryn.
Disamping itu, Istvan yang berada di dalam tepat dibalkon kamar Caryn, menoleh ke arah pintu. Ia mendengar Aniela yang memanggil nama Caryn, serta mengetuk pintu beberapa kali.
Istvan menatap Caryn mengintimidasi, "Jangan menentang perintahku! Ikuti apa kataku barusan. Jika tidak lihat apa yang akan kau dapatkan dariku, kau mengerti?"
Caryn hanya diam.
"Tunggu disini dan pasang wajah seceria mungkin. Jangan pasang wajahmu yang menyedihkan itu, itu bisa membuat Aniela banyak bertanya. Bersikaplah seperti biasanya saat ada dia, berpura-pura."
Caryn tetap diam, menatap Istvan pun tidak. Kemudian Istvn melangkah pergi, berniat membuka pintu kamar itu. Disisi lain, Caryn mengusap bendungan air matanya dan tersenyum menguatkan hati. Setelah itu mengikuti Istvan.
"Kakak!" Aniela setengah berteriak melihat ternyata Istvan yang membuka pintunya. "Kau ada disini ternyata? Pantas saja aku tidak bisa mencarimu dimana-mana. Ternyata kau ada di dalam kamar," ucap Aniela dengan tersenyum lebar.
Istvan tertawa kecil, "Iya kalau kau tidak menemukanku dimana-mana, berarti aku ada disini. Kau harus mencatat itu."
Muncul-lah Caryn berdiri di samping Istvan, ia berekspresi diluar kebenaran. Maksudnya berekspresi senang, tanpa beban, padahal suasana hatinya kelam.
"Caryn!" ucap Aniela.
"Aniela, kau datang kemari?" tanya Caryn.
Aniela melipat kedua tangannya di depan d**a, "Ya hanya tempat ini yang bisa ku temukan kalian kan? Sudah ku duga kalian pasti sedang menghabiskan waktu romantis berdua saja, tidak mau aku ganggu."
Istvan merasa kesal dalam hati, sedangkan Caryn membantah penuh dalam hatinya juga. Aniela tertawa melihat ekspresi pasangan suami isteri itu.
"Ada apa dengan kalian heh? Lihatlah! Wajah kalian jadi datar begitu? Ada yang salah dengan perkataanku? Dugaanku benar kan?" tanya Aniela berbinar penuh harap.
Tiba-tiba Istvan merengkuh pinggang Aniela begitu posesif, huh! Padahal ia menggerutu dalam hati merasa sangat terpaksa dan berat hati.
"Ya, kami memang sedang bermesraan. Benarkan, sayang?" suara Istvan berubah lembut dan menoleh sekilas ke arah Caryn yang juga sedang melihatnya.
Kau pasti sedang membaca pikiranku bukan? Jadi katakan padanya kata-kataku itu benar, batin Istvan mentransfer pikirannya untuk Caryn.
Caryn pun menurutinya, ia menatap Aniela dan mengulas senyum. "Iya," singkatnya.
Aniela tertawa, "Ahhh!!! Sudah ku duga! Kakakku mungkin memang belum mencintaimu, Caryn. Tapi, lihatlah! Akan ada cinta dihatinya akibat kalian selalu menghabiskan waktu bersama dan saling menerima."
Oh ya ampun! Kata-katanya Aniela kembali membangkitkan harapan Caryn. Namun, harapan itu kembali runtuh mengingat bagaimana sikap Istvan padanya.
Sekarang mereka bertiga berada di dalam kamar Caryn. Aniela duduk di sofa yang single, sedangkan Caryn dan Istvan duduk berdua. Berpura-pura mesra di depan Aniela.
"Oh ya! Aku sudah memberi kabar bahagia ini kepada bibi loh! Dia juga senang mengetahuinya," ujar Aniela dengan ceria.
Caryn mengerutkan keningnya, "Memberi kabar apa?"
"Oh ya ampun, Caryn! Aku lupa memberimu selamat!" Aniela berdiri dan berjalan menghampiri Caryn.
Aniela melipat kedua kakinya dikarpet lembut itu, dan ia memegang kedua tangan sahabat sekaligus kakak iparnya itu.
"Sebelumnya aku ingin bertanya, kenapa kau pergi begitu saja saat aku ingin bertanya suatu hal padamu di ruang makan?" tanya Aniela dengan mimik kesal yang dibuat-buat.
"Aku--"
"Kau malu kan? Astaga, Caryn! Untuk apa kau malu heh? Lagipula aku sudah tahu kabar bahagia yang belum kau bagikan padaku," Aniela menyipitkan kedua matanya.
"Kabar apa?"
"Ih, Caryn! Sudah jangan berpura-pura tidak mengerti. Kau hamil kan? Iya kan? Ughhh!!! Selamat ya kakak iparku yang tersayang, emuach!" balas Aniela begitu bahagianya dengan akhiran memberi kecupan kecil dipipi Caryn.
Caryn tercekat, ia justru kasihan melihat betapa bahagianya Aniela saat ini.
"Aku akan segera menjadi seorang bibi, aku sangattt bahagiaa!! Aku akan memiliki keponakan dari kalian!" pekik Aniela berdiri dan menatap Caryn serta Istvan secara bergantian.
Aniela menghela nafas dan membentuk kedua tangannya seperti menimang, "Yah..meskipun aku tidak akan menggendongnya dalam pelukanku? Karena aku akan tiada dalam waktu beberapa minggu lagi."
Hati Caryn teriris, mendengar ucapan Aniela. Ia sungguh tidak mau kehilangannya. Apakah Tuhan memang menakdirkan kematian Aniela dengan waktu yang diprediksi oleh dokter? Bisakah takdir itu dirubah? Ia berharap keajaiban datang dan merubah semua itu menjadi lebih baik.
"Pasti anak kalian nanti menggemaskan ya?" ucap Aniela menerawang. "Dan ku bayangkan betapa lucunya dia."
Aniela melihat Caryn, "Hey! Kira-kira bayimu itu laki-laki atau perempuan, Caryn?"
Berulang-ulang kali Aniela bertanya tapi, Caryn diam dan sedang melamun.
"Caryn!"
"Aniela, aku tidak hamil!" tiba-tiba saja kata-kata itu keluar dari Caryn dan posisi Caryn kini berdiri.
Ucapan demi ucapan Aniela soal anak, telah mendorong rasa sakit yang ada di dalam hati Caryn. Anak? Itulah yang diinginkan Caryn, tapi tidaklah mungkin baginya bisa mengandung anak dari Istvan, pria satu-satunya yang dicintai Caryn.
Aniela menyentuh bahu Caryn, "A..apa maksudmu bilang begitu? Kenapa kau terlihat marah?"
Caryn menghela nafas dan menyentuh mulutnya yang keceplosan tadi. "Aniela, aku..aku sebenarnya tidak hamil. Maksudku tidak secepat ini bukan?" ucap Caryn memberi pengertian.
Istvan yang masih duduk, mengetatkan rahangnya dan mengepalkan satu tangannya yang tidak di perban. Ia marah karena Caryn ternyata menentang maunya.
Raut wajah Aniela berubah sedih, dan ada binar kekecawaan di kedua matanya. "Jadi..jadi kau tidak hamil, tapi Istvan bilang kau.." Aniela tidak meneruskan perkataannya, ia lantas pergi keluar begitu saja dengan berlari kecil.
"Aniela! Tunggu!" panggil Caryn merasa bersalah telah melukai hatinya. Bukan maksudnya begitu, ia sama sekali tidak ingin melukai hati Aniela, tapi dorongan itu datang dan membuatnya berkata seperti itu.
"Kau memang wanita sialan! Sudah ku bilang jangan menentangku! Lihat! Dia pergi dan kau sudah membuatnya sedih! Tunggulah! Aku akan memberimu hukuman!" bentak Istvan seraya mencengkeram dagu Caryn, kemudian pergi meninggalkan isterinya.
Caryn lemas, ia duduk di sofa, menghela nafas dan memegang kepalanya. "Bukan maksudku begitu. Aku semakin tidak tega melihatnya bahagia karena kebohongan semata. Ya Tuhan, bantu aku menjalani ini semua."
******