2. PESAN

1472 Words
“Sampai kapan kau akan seperti ini, huh?” tegur Avel kepada Azel saat melihat sang sahabat kembali ke klub hanya untuk bermabuk-mabukan. Azel adalah sahabatnya saat Avel masih di tingkat senior high school. Keduanya sama-sama memiliki ketampanan dan kejeniusan yang membuat para lelaki iri. Mereka juga selalu menjadi rebutan para perempuan sejak di SHS. Hanya saja, Avel pindah ke Indonesia saat dirinya kelas 11 dan itu membuat keduanya terpisah. Avel memperdalam ilmu bisnis yang memang sudah menjadi turunan keluarganya. Meski pada akhirnya, ia memiliki lebih dari satu pekerjaan, salah satunya menjadi pemimpin dari sebuah organisasi rahasia. Sementara, Azel lebih memilih kuliah di jurusan kedokteran. “Lebih baik kau mengejar wanita itu daripada bermabuk-mabuk tanpa hasil di sini,” sambung Avel saat melihat Azel tak kunjung membuka suaranya. Avel sudah cukup melihat penderitaan sahabatnya selama ini yang selalu menghabiskan waktunya dengan minuman beralkohol dan sering mengunjungi ring petinju untuk bergulat di sana. Tak jarang, Azel pulang dengan wajah babak belur dan napas berbau alkohol bercampur rokok yang membuat papanya murka karena tingkahnya. Ia menatap sahabatnya yang merenungi semua kesalahan yang ia lakukan kepada wanita yang dicintainya. Avel tahu bagaimana dulu Azel terpuruk saat kehilangan wanitanya, Orine, hingga wanita itu kembali dengan maksud yang membuat Avel tak habis pikir. Tidakkah para wanita itu kejam? Posisinya dan Azel rasanya terbalik. Jika kini Azel yang sibuk mencari anaknya bersama wanitanya, maka Avel hidup bersama putranya tanpa wanitanya. Atau mungkin Vanya memang tidak menginginkan mereka berdua? Semua gelas yang ada di meja berhamburan pecah, membuat beberapa orang yang ada di klub melihat ke arah Azel dengan tatapan tajam. Avel berdecak malas. Ia segera meraih tubuh Azel dan membawanya ke mobil. Avel akan mengganti rugi semua hal yang terjadi di klub. Lagi pula, ini bukan yang pertama kalinya Azel bertindak bodoh seperti ini. “Aku menyakitinya.” Azel meremas rambutnya kasar. “Aku menghamilinya tanpa tahu dia menderita diluar sana.” Bening kristal itu turun dari sudut matanya. “Apa yang harus kulakukan?” Avel menghela napas kemudian memasangkan sabuk pengaman kepada temannya. “Bangkitlah dan berusahalah lebih keras jika kau ingin membuktikan pada wanitamu bahwa kau benar-benar mencintainya.” “Aku tidak tahu harus mencarinya ke mana lagi, Vel. Kau tidak akan pernah mengerti.” Azel menggeleng frustrasi. Avel jelas tahu dan mengerti apa yang dialami sahabatnya karena ia lebih dulu ditolak Vanya saat wanita yang dicintainya itu tidak menginginkan anak mereka. Avel hanya bisa menghela napas. Ia melajukan mobilnya mengantar Azel pulang sebelum Aiden murka karena kembali mendapati anak bungsunya mabuk seperti ini. *** “Kau dari mana saja?” Halley melangkah pelan menghampirinya saat melihat Avel masuk ke rumah mereka. “Di mana Laxy?” tanya Avel tanpa berniat menjawab pertanyaan Halley. “Tidur.” Halley membantu Avel melepas kemejanya hingga menampilkan badan kukuhnya yang lumayan berotot. Ia meraba pelan d**a avel dengan nafsu yang menggelegak melihat Avel bertelanjang d**a. Dengan sigap, Avel menangkap lengan Halley. “Tidak malam ini, Halley. Aku lelah.” Ia meninggalkan Halley yang mengepalkan tangannya erat karena penolakannya. Halley tidak akan menyerah. Ia akan terus membuat Avel menginginkannya dan hanya menginginkannya, bukan wanita lain maupun wanita Asia yang sebelumnya telah menggoda suaminya. Halley berjanji akan hal itu. *** Lingkaran di mata cantiknya menandakan bahwa Vanya tidak tidur nyenyak. Walau ia menyamarkannya dengan sedikit bedak di wajahnya, tetap saja lingkaran hitam itu masih terlihat. Ia melangkah gontai masuk ke ruangannya. “Vanya, Pak Jayden meminta laporanmu,” ujar Odice, temannya sesama jurnalis. Ya, Vanya bekerja sebagai jurnalist yang meliput hard news—berita-berita yang menyangkut peristiwa politik, ekonomi, masalah sosial, atau bahkan kriminalitas. Sementara, Odice meliput straight news—berita khusus olahraga, kesenian, hiburan, hobi, dan lain-lain. Vanya mengangguk. Ia mulai menyiapkan laporannya untuk menghadap Jayden, bos besar mereka. Minggu ini, berita dipenuhi dengan organisasi ilegal yang diketahui bernama 'The Wolf Clan' yang sedang mengincar sebuah obat penyembuh segala luka di sebuah laboratorium di Kolumbia. Konon, obat itu bahkan bisa menyembuhkan luka tembak hanya dalam waktu beberapa detik saja. Sudah setahun belakangan ini, The Wolf Clan bergerak. Namun, mereka terlalu licin, tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Vanya yakin ada ratusan atau mungkin bahkan ribuan anggota The Wolf Clan yang tersebar di seluruh dunia, Tentunya, mereka orang-orang terlatih yang tidak pernah tertangkap. Dengan perlahan, Vanya masuk ke ruangan Jayden setelah mengetuk pintu. Ia menatap pria paruh baya itu sambil tersenyum manis. “Berikan laporanmu, Vanya. Kita akan rapat minggu ini.” “Baik, Pak.” Vanya menyerahkan berkas tentang organisasi The Wolf Clan yang pastinya akan membuat Jayden senang karena merupakan berita terbaru dan terhangat yang tengah ramai diperbincangkan. Berita yang Vanya sajikan memang tidak pernah mengecewakan Jayden. Vanya selalu memberikan laporan secara lengkap tanpa kurang satu hal pun. Kemampuan menulisnya sangat luar biasa seolah-olah ia telah terlatih sejak lama. “Saya akan menghubungimu nanti setelah membaca seluruh laporanmu.” Vanya mengangguk. Ia pun permisi keluar ruangan. Namun, saat Vanya hendak membuka pintu, Jayden menahan langkahnya. “Setelah laporan ini selesai, kau boleh mengambil cuti, Vanya. Kau sudah bekerja sangat keras.” Vanya berbalik dan menatap bosnya itu tidak percaya karena jarang-jarang Jayden memberikan cuti kepada karyawan-karyawannya. “Te … terima kasih, Pak.” Jayden hanya mengangguk, lalu Vanya keluar dari ruangan kerja Jayden dengan hati senang. “Aku curiga Pak Jayden melakukan sesuatu padamu,” bisik Lysa, membuat Vanya kaget dan refleks menghindarinya. “Kau membuatku kaget.” Vanya mengelus jantungnya sesaat sebelum menatap Lysa sambil tersenyum miring. “Kau tahu, Pak Jayden memberiku cuti.” Hening.  “Apa?” pekik Vanya. “Hush. Kecilkan suaramu, sialan!” Vanya membekap mulut Lysa dengan erat, membuat wanita itu meronta-ronta nyaris kehabisan napas. “Kau ingin membunuhku, hah?” Lysa berteriak, tetapi tidak sekeras sebelumnya sambil menghela napas pendek-pendek. “Lagi pula, kenapa bisa Pak Jayden memberimu cuti? Aku setahun bekerja di sini saja tidak pernah diberi cuti. Dasar, si tua bangka itu!” Ia mematahkan pensil dengan yang sedari tadi berada di tangannya dengan amarah yang menggelegak. “Siapa yang kaukatakan tua bangka, hah?!” Jantung Vanya maupun Lysa berdegup cepat. Vanya menatap Jayden. Ia tersenyum merasa bersalah. “Kakek Lysa, Pak.” Lysa melotot saat Vanya membawa-bawa nama kakeknya yang sudah menyatu dengan tanah. Vanya meringis memohon maaf hingga. “Ya sudah, kembalilah bekerja. Kalian saya gaji bukan untuk bergosip!” “Baik, Pak.” Sahut keduanya patuh dan mengembuskan napas lega. *** Avel melangkah lebar menuju markas yang terletak di tengah-tengah hutan lebat nan liar. Tidak pernah ada manusia yang berani menginjakkan kakinya di sana mengingat segala jenis binatang buas yang sewaktu-waktu melahap mereka hanya dalam hitungan detik. Markas itu sangat besar mengingat jumlah anggota The Wolf Clan mencapai ratusan di negara ini. Organisasi yang Avel pimpin bukanlah sembarang organisasi. Ia bekerja dengan sangat adil. Ketika polisi memburu, mereka akan berlari. Pun sebaliknya, ketika polisi dalam posisi jadi korban perburuan, mereka akan mengejar. Namun, saat polisi bermain-main, merekalah yang akan menunjukkan cara mainnya. Sederhana, tapi mematikan. Di dalam ruangannya, hanya ada empat orang kepercayaannya—Azzar, Fern, Afrez, dan Keyta. Keempat pria itu menjadi rekan sekaligus sahabat Avel. Di antara seluruh anggota, hanya mereka saja yang Avel percayakan untuk misi-misi penting. Misalnya, pencurian berlian di Northern Bank, sementara wilayah Irlandia Utara dilakukan oleh Afrez. Pencurian The Great Train di Railway Bridge dilakukan oleh Fern. Pencurian berlian Anryas di Belgia dilakukan oleh Keyta. Dan yang terakhir pencurian Ssecure Handling of Medicine di Kolumbia dilakukan oleh Azzar. “Polisi sudah bergerak mencari pelaku pencurian Secure Handling of Medicines.” Fern membuka suara lebih dulu. Avel memilih duduk di sofa tunggal, memperhatikan keempat sahabatnya yang tengah berdiskusi. Azzar tersenyum sinis. “Mereka bodoh jika tidak bisa menemukanku.” Ia memilih duduk di sofa sebelah Avel dan menatap teman-temannya dengan pembawaanya yang selalu tenang seperti biasanya, bahkan dalam keadaan genting sekalipun. “Aku juga kecewa jika mereka benar-benar tidak bisa karena aku sudah susah payah meninggalkan jejak di sana.” “Jejak palsu, bukan?” sahut Keyta sambil terkekeh pelan. “Percayalah. Jejak itu tidak cukup membuatmu tertangkap.” Keyta adalah anggota termuda di antara mereka semua. “Ada yang ingin kukatakan pada kalian.” Ia menatap keempat sahabatnya dengan tajam. “Aku menemukan ini tadi sore di kantorku.” Ia memperlihatkan sebuah kertas yang bertuliskan 'δολοφόνος'. “Dolofónos?” Afrez jelas sangat mengenali tulisan itu. Avel mengangguk. “Yang artinya pembunuh!” Ia memperlihatkan tulisan di bawah sapu tangan itu yang tertera kata RYFE dengan huruf kapital. “Aku yakin seseorang yang saat ini berani bermain bersama kita pastilah ada sangkut pautnya dengan RYFE.” “Apa mereka bekerja untuk polisi?” tanya Fern sambil menatap sapu tangan itu dengan teliti. Avel menggeleng. “Tidak. Jika mereka bekerja dengan polisi, mereka tidak akan mengirimkan pesan-pesan bodoh seperti ini.” Afrez meregangkan otot lehernya. “Sudah lama aku tidak bermain dan sepertinya ini akan menarik.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD