3. PENYESALAN

1376 Words
Vanya menatap British Bank yang lagi-lagi baru saja terjadi pencurian. Menurut hipotesis sementara, pelakunya adalah The Wolf Clan. Matanya menyipit saat melihat sesuatu berkilat di bawah lemari besi tempat penyimpanan emas batangan. Ia mendekat dan mendapati sebuah kalung emas putih bermatakan love. Tangannya yang lebih dulu memakai sarung, bergerak hendak mengambil kalung itu. “Maaf, Nona. Ini milikku.”  Suara baritone terdengar menyela, membuat Vanya menoleh dan menatap pria itu. Ia menyipitkan matanya mencari-cari kartu identitas pria itu yang tertulis reporter bernama Afrez. “Kenapa kau meninggalkannya?” Vanya skeptis karena tidak yakin. “Bagaimana bisa kalungmu berada di sini?” Afrez tersenyum miring. “Apa kau mencurigaiku sebagai pelaku?” Afrez mendekat, sedangkan Vanya terus melangkah mundur. “Kalau aku yang melakukannya, apa kau akan melaporkan kepada pihak berwajib?” Vanya melirik ke kiri dan ke kanan teman-temannya yang sedang mewawancarai beberapa saksi. Para saksi itu mengatakan bahwa mereka melihat lima orang keluar dengan pakaian hitam dan wajahnya tertutup topeng. Namun, salah satu di antara tersangka itu sempat menggulung lengan bajunya hingga ke siku, menampilkan tato yang bergambar serigala. “Tidak. Aku tidak sebodoh itu untuk melaporkannya ke pihak berwajib.” Vanya berdiri di tempatnya, tidak lagi melangkah mundur karena Afrez berhenti bergerak saat mendengar jawabannya. “Lantas, apa yang akan kaulakukan?” Matanya menyipit menatap Vanya. Ia melepaskan kartu identitas yang dipakainya untuk berjaga-jaga kalau-kalau yang dihadapinya adalah seseorang dari badan inteligen maupun agen rahasia. Sepertinya, wanita di depannya ini adalah wanita yang bekerja sebagai jurnalis bodoh. “Aku hanya ingin mewawancaraimu. Bagaimana?” Dirinya gugup mengingat ini pertama kalinya ia berhadapan langsung dengan si pelaku kejahatan. Vanya yakin akan hal itu. Afrez menyeringai. “Apa imbalan yang akan kudapatkan?” Jantung Vanya terus berdegup kencang karena tatapan Afrez seolah-olah membunuhnya. Ia tidak ingin berada di situasi ini lebih lama. “Apa kau mau membayarnya dengan tubuhmu…,” Afrez menatap identitas yang tergantung di leher Vanya. “Selvanya?” Vanya hendak menampar Afrez, tetapi dengan sigap pria itu menahan lengannya, lalu menariknya ke tubuh Afrez hingga posisi keduanya tak berjarak. Afrez mendekatkan mulutnya ke telinga Vanya dan berbisik, “Kau sangat kasar, cantik. Aku yakin mampu bermain kasar juga denganmu.” *** “Apa dia tahu kau pelakunya?” tanya Fern kepada Afrez yang baru saja masuk ke mobil sport yang dikendarainya. Fern melihat Afrez dan wartawan wanita itu—yang tengah beradu kata tadi—dari kejauhan. Ia tetap di dalam mobil dan menunggu Afrez. Sialnya, kenapa Afrez harus menjatuhkan kalung emas berharga miliknya? Afrez mengangguk membuat Fern berdecak. “Bagaimana bisa kau mengatakannya secara terus terang, hah? Aku akan membunuh wanita itu!” Afrez menggeleng. “Tidak! Aku yang mengambil bagian itu karena dia milikku.” Sekilas, Afrez menyeringai kejam. Pria itu selalu bertindak dengan gegabah, tetapi anehnya tindakan itu beberapa kali malahan menjadi keberuntungan. “Aku tidak akan melepaskannya,” ujarnya tegas dan dalam. “Terserah kau saja. Jangan sampai Avel tahu bahwa kau membongkar identitasmu.” Afrez mengangguk mantap. “Tidak akan.” Tatapannya beralih ke luar jendela. “Aku tidak ingin kepalaku dipenggal sebelum waktunya,” *** “Pria b******n!” maki Vanya yang sedang berada di dalam toilet bank. Vanya melepas kacamata palsu dan lensa kontaknya yang sama dengan warna matanya. Lensa kontak yang mampu mengidentifikasi detail seseorang seperti halnya kacamata milik sahabatnya, Yuki. Hanya saja, Yuki tidak terlalu suka memakai lensa kontak. Ia lebih memilih memakai kacamata. Vanya melihat dengan jelas nama Afrez McGullan dengan tinggi badan 178 cm. Seorang perokok dan alkoholik. Ia adalah anggota The Wolf Clan. Jika saja tidak ada temannya sesama jurnalis, Vanya pasti akan segera menyerang pria itu, lalu menangkapnya. Namun, Vanya tidak boleh bertindak gegabah mengingat ia sedang bekerja dan harus pura-pura bersikap menjijikkan layaknya perempuan yang takut akan ancaman pria. “Sialan!” makinya lagi. Sebuah suara berdengung keras di telinganya yang terpasang bluetooth headset kecil nan halus yang nyari tak terlihat. “Aku mendengarmu memaki beberapa kali, V.” Yuki terkekeh, membuat Vanya berdecak karena lupa mematikan bluetooth headset saat ia sedang menyelidiki lemari besi yang berhasil ia bobol sebelumnya. Vanya menghela napasnya. “Di mana kau?” “Markas. Gosh, aku bosan karena tidak bisa melakukan apa pun! E menyuruhku berjaga-jaga kalau-kalau komandan datang hari ini.” Vanya mengernyit bingung. “Komandan?” “Ya, V. Komandan akan berkunjung untuk memastikan bahwa misi kali ini berjalan lancar.” Vanya mendengus sinis. “Misi? Misi mematikan karena harus berhadapan dengan para serigala itu? Kau tahu, berapa banyak teman kita mati gara-gara organisasi sialan itu, hah?” Seketika emosinya menjadi labil. “Aku akan membunuh siapa pun yang menjadi pemimpinnya!” Yuki berdeham. “Terserah kau saja, V. Ingat, jangan bertindak gegabah di depan mereka. Bersikaplah layaknya kau wanita lemah yang tidak tahu apa-apa.” “Aku akan lebih berhati-hati. Kumatikan!” Vanya segera mematikan bluetooth headset-nya dan menghela napas panjang. Ia mengikat rambutnya tinggi-tinggi dan kembali memakai kacamata tanpa lensa kontak untuk menyamarkan penampilannya, Tak lupa, kartu identitasnya sebagai seorang jurnalis. Ia bergegas keluar dari toilet. Vanya berhenti melangkah saat dirinya melihat Avel dan juga istrinya berada di sana. Ia hendak menghindar karena tidak ingin berjumpa dengan Avel. Namun, Halley lebih dulu memanggilnya. “Hei, kau!” teriaknya, membuat Vanya menghela napas dan menatap Halley yang mendekat ke arahnya. “Apa yang terjadi?” Vanya menatap Halley malas. “Tidakkah di rumahmu ada televisi? Seharusnya, kau bisa melihat televisi tanpa bertanya.” Vanya! Kau benar-benar gila! Melampiaskan kemarahanmu kepada orang yang tak tahu apa-apa! Mata Halley menyipit tajam karena jawaban ketusnya. Lalu, ia terbelalak. “Bukankah kau yang menabrak kami di mal waktu itu?” Ia menatap Vanya dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Ternyata kau hanya seorang wartawan.” Halley memandang Vanya meremehkan. “Sayang, apa yang kaulakukan di sini?” Avel menyela keduanya, membuat jantung Vanya entah kenapa berdegup sangat kencang. “Lihatlah! Ternyata dia seorang wartawan, Sayang. Wanita yang menabrak kita waktu itu.” Avel menatap Vanya datar. “Biarkan saja. Kita pulang. Keperluanku sudah selesai.” Halley mengangguk kemudian merangkul lengan Avel. Ia kembali menatap Vanya meremehkan sambil tersenyum miring. Keduanya terus berjalan melewati orang-orang yang sibuk memotret, mewawancarai, dan melihat-lihat lokasi pencurian. Banyak warga yang datang untuk melihat, namun hanya orang-orang penting yang dibiarkan masuk. Para polisi sudah membatasi lokasi kejadian dengan police line. Mereka masih memeriksa TKP yang terjadi pencurian kemarin malam. “Kau kembalilah ke mobil. Ada berkas yang tertinggal.” Avel berbisik saat keduanya sudah sampai di luar bank. Halley mengangguk dan membiarkan Avel mengambil berkas itu. *** Vanya tidak akan mengambil hati perkataan Halley karena itu benar adanya. Dirinya hanyalah seorang jurnalist bodoh yang melebih-lebihkan berita untuk sebuah kesuksesan. Sepeninggal Halley, Vanya kembali terfokus ke lemari besi yang sepertinya dibobol dengan mesin mengingat lemari itu hancur dan hangus. “Menikmati pekerjaanmu, Vanya?” Suara Avel memecah lamunannya. Vanya menoleh dan menatap Avel datar. Ia harus bisa menyesuaikan diri saat berada di dekat Avel mulai sekarang karena sepertinya mereka akan sering bertemu secara tiba-tiba. “Ya, tentu saja,” jawab Vanya sekenanya. Ia kembali mencatat poin-poin penting yang didapatnya. “Kenapa kau kembali?” tanyanya saat melihat Avel tak juga bergerak dari tempatnya. “Hanya ingin memastikan kau baik-baik saja tanpa anakku!” Vanya menarik napas dalam-dalam. “Bukankah itu yang kauinginkan? Atau kau lebih memilih aku terpuruk karena kehilangan anakku?” Vanya tersenyum miring sambil terus mencatat. “Tidakkah kau kejam, Avel? Memisahkan anak dan ibunya, lalu membuat wanita lain mengakui bahwa dia adalah ibunya.” Avel tertawa keras. “Jangan membuatku tertawa, Vanya. Kau yang ingin membunuhnya, bukan? Aku hanya menjauhkannya dari Ibu yang tidak mau bertanggung jawab.” Ditariknya napas dalam-dalam untuk menetralkan perasaannya yang hancur. Dirinya menunduk dalam dan bergumam nyaris tanpa suara. “Maafkan aku. Dulu, aku memang tidak menginginkannya mengingat orangtuaku yang masih kuat menganut budaya timur. Tapi, setelah melihatnya, melihat betapa mungil dirinya, hatiku berteriak untuk selalu ingin menyusuinya dan melindunginya tanpa peduli jika aku diusir.” Vanya menatap Avel dengan air mata yang mengalir di wajah cantiknya. “Aku minta maaf, Avel. Maaf atas apa yang kulakukan.” Avel terdiam saat melihat wajah cantik itu beruraian air mata. “Penyesalan akan selalu datang terlambat, Vanya,” gumamnya sebelum beranjak meninggalkan Vanya yang semakin sedih akan perkataannya, tanda bahwa dirinya tidak lagi dibutuhkan.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD