6. Pekerjaan Perdana

1331 Words
Untuk pertama kalinya, Alvin memasuki sebuah tempat di mana ia mengalami penglihatan kunang-kunang tatkala lampu disko sedang menyala-nyala dengan warna yang menyakitkan mata. Bukan hanya tentang lampu disko yang bergemerlapan, melainkan Alvin pun dikejutkan juga dengan banyaknya manusia yang berlalu lalang di hadapannya. Baik pria atau pun wanita, semuanya tampak bercampur aduk dan berbaur satu sama lain. Dan ya, kini Alvin pun mengerti dengan ucapan Anton siang tadi. Di sini memanglah banyak pemandangan terbuka, dalam artian, Alvin banyak menemukan para wanita berkeliaran dengan pakaian yang sangat terbuka. "Aduh aduh, tu cewek pada pake baju kurang bahan gak pada malu apa? Padahal kan ini sudah malam. Bukannya pake jaket lah minimal, eh ini malah buka-bukaan macem gitu aja udah kayak di kolam renang," tutur Alvin mendecak. Berkali-kali matanya pun mengerjap di tengah rasa terkejutnya. Seperti kata Madam Julia, malam ini ia akan mulai bekerja sebagai penjaga bar. Orang menyebutnya sebagai bartender, tapi Alvin tetap saja mengakui dirinya sebagai penjaga bar. Tidak ada yang salah memang, hanya saja Alvin masih kurang memahami dunia malam yang sesungguhnya. Maklum, anak ini datang dari desa. Namun baru pertama kali terjun ke dunia kerja, Anton malah sudah merekomendasikan temannya ini untuk bekerja di tempat yang seharusnya belum cocok untuk didatangi Alvin yang notabene masih begitu polos. Alvin terperanjat ketika tahu-tahu sebuah tepukan mendarat telak di bahunya. Seketika, ia pun menoleh dan mendapati seorang cowok jangkung sedang berdiri di belakangnya. Melihat itu, senyum sopan Alvin pun mengembang. "Lo pekerja baru?" lontar cowok itu menaikkan sebelah alis. Menatap Alvin dengan pandangan yang meneliti. Mengangguk, Alvin menjawab, "Iya, Kang. Saya pekerja baru di sini. Nama saya Alvin. Omong-omong, Akang pekerja lama di tempat ini?" Sejenak, cowok itu mendecak seraya mengibaskan tangan. "Nama gue Fery, dan kata Madam Juli, gue perlu ajarin lo menjadi seorang bartender berpengalaman. By the way, jangan panggil gue dengan sebutan kampung kayak gitu! Sebut aja gue Fery. Dan kayaknya, umur kita gak beda jauh juga," ujar cowok itu setengah berteriak. Mengingat suara dentuman musik DJ yang sangatlah menggema di seisi bar ini, maka mau tidak mau mereka pun harus berbicara dengan nada setengah berteriak jika omongannya ingin didengarkan satu sama lain. Alvin mengangguk patuh ketika mendengar setiap ucapan yang cowok di hadapannya lontarkan. Kemudian, ia pun diajak oleh Fery untuk mempelajari segala sesuatu yang seharusnya ia ketahui. Dimulai mengenalkan berbagai jenis nama minuman, cara membedakan dari bentuk botol dan warna cairan di dalamnya, hingga Fery pun memberitahu Alvin bahwa sewaktu-waktu selalu ada saja para wanita berpakaian seksi yang akan mengajaknya berbincang. Fery berkata, "Sebaiknya lo tahan diri untuk gak tergoda sama mereka. Soalnya, sekali aja lo kena bujukannya, maka gue gak jamin kalo lo masih bisa berdiri dengan waras di tempat kerja lo ini. Gue denger lo dateng dari desa kan? Baik-baik deh, kadang kaum wanita malam suka banget tuh sama modelan cowok polos seperti lo ini!" tandas Fery sembari menata botol-botol di hadapannya. Untuk sesaat, Alvin mengernyit tak paham. Meskipun Fery sudah berbicara panjang lebar dalam bahasa indonesia yang baik dan benar, tapi tetap saja, dibanding mengerti dengan semua perkataan yang Fery lontarkan, Alvin justru malah harus berpikir keras sambil garuk-garuk kepala. *** Alvin tidak menyangka, ketika malam semakin larut, para manusia justru kian banyak yang berdatangan. Sesekali, pemuda itu akan menguap ketika rasa kantuk menyerangnya. Tapi kemudian, Fery mengajaknya kembali mempelajari apapun saja yang menyangkut pekerjaannya. Membuat Alvin sedikit lupa pada rasa kantuk yang sempat menghampiri. Sampai ketika Alvin yang sedang menghafalkan jenis minuman dengan membedakan bentuk botol dan warna cairan di dalamnya, tiba-tiba saja seorang perempuan berdress ketat warna merah menyala datang menghampiri meja barista dan berseru lantang. "Gue minta sebotol wine dong!" Sontak, Alvin pun terkesiap kaget kala mendengar suara melengking itu. Menoleh, ia pun langsung menemukan sesuatu yang seketika membuat matanya melotot lebar. "Astaga, Tuhan! Cobaan macam apa ini," desis pemuda itu sambil memalingkan wajahnya ke arah lain. Kemudian, perempuan dengan dress merah menyala itu pun kembali berseru dan menujukan panggilannya tersebut kepada Alvin yang kini sedang sibuk melafalkan doa. "Halo! Mas ganteng berbaju abu-abu." Sementara Alvin masih sibuk berdoa, Fery yang peka terhadap panggilan si wanita pun lantas menolehkan pandangannya ke arah partner barunya tersebut. Namun ketika melihat Alvin tak juga menggubris panggilan si wanita, Fery sendiri lah yang maju mendekat. "Sori, dia anak baru. Belum terbiasa sama panggilan lo yang kayak barusan. By the way, lo minta sebotol wine kan? Bentar, biar gue aja yang ambilin," cetus Fery akrab. Kemudian ia pun meraih sebotol wine yang sudah ia hafal dengan begitu baik dan meletakkannya di hadapan sang perempuan. "Oh, jadi dia karyawan baru? Hem, mukanya oke punya. Tapi sayang, dia kok kayak yang takut gitu pas liat gue di sini. Emangnya, penampilan gue ini semenakutkan itu ya?" lontar si perempuan mengerjap aneh. Tanpa diduga, Fery pun lantas tertawa yang membuat perempuan di hadapannya itu merengut sebal. "Sori, sori. Gue bukan ketawain lo! Tapi perlu lo tau. Karyawan baru itu datang dari desa. Lo tau sendiri lah gimana orang desa masuk ke bar kayak gini. Ngeliat penampilan seksi yang ada di diri lo, udah tentu dia kaget." Mendengar hal itu, si perempuan pun manggut-manggut. Kemudian, ia pun meraih botol di hadapannya dan langsung menenggak isi di dalamnya karena tutup botolnya sudah Fery bukakan juga sebelum si perempuan meminta. "Thanks wine-nya! Gue mau balik ke meja gue lagi di ujung sana. Any way, ajarin karyawan baru itu dong biar bisa layanin gue semestinya. Secara, lo kan tau kalo gue langganan bar ini. Jadi, suatu saat gue mau dia yang layanin gue. Okey?" "With pleasure, Darling! Gue pasti ajarin. But, jangan lupa sama tipnya. Ngajarin cowok desa kayak dia, kayaknya gue butuh kesabaran yang sangat banyak," ujar Fery terkekeh. Sementara si perempuan hanya mendengkus pelan sembari meraih dua lembar uang seratus ribuan dari dalam tas kecilnya. "Anggap aja sebagai DP. Kalo lo sukses ajarin dia, nanti gue tambahin sisanya!" seru si perempuan menaruh dua lembar uang itu di atas meja bar. Kemudian, sambil menenggak lagi cairan keunguan dari dalam botol yang digenggamnya, perempuan itu pun lekas berjalan meninggalkan Fery yang sudah mengantongi dua lembar uang tadi. Lalu, sepeninggalnya si perempuan dengan dress merah menyala tersebut, kini Fery pun mulai berjalan menghampiri Alvin. Sontak, pemuda itu pun terkesiap lagi ketika bahunya ditepuk Fery. "Ngapain?" tanya cowok itu menatap heran. Menggeleng, Alvin pun menyahut, "Bukan apa-apa. Cuma lagi baca doa aja biar dijauhkan dari marabahaya dan fitnah perempuan." Mendengar itu, Fery pun tergelak sendiri. Membuat Alvin menatapnya bingung sampai kini ia menggaruk-garuk lagi kepalanya yang tidak gatal. "Kenapa? Gue salah ngomong ya?" gumam Alvin menatap polos. Sudah dibilang, Alvin ini pemuda desa. Meskipun ia mengaku bahwa nilai mata pelajarannya selalu tinggi dan juga pernah berinteraksi dengan orang kota saat di kobong dulu, tapi tetap saja, ketika ia terjun langsung ke kota besar apalagi dunia malam seperti ini, kepolosannya bahkan masih melekat dalam dirinya. Menyebabkan Fery terus tertawa hingga kemudian ia pun mencoba berdeham guna meredakan tawanya tersebut. "Sori, sori." Fery berucap sembari berdeham sekali lagi. "Gak ada yang salah dari omongan lo! Cuma ya lo pikir aja, sebanyak apapun lo melafalkan doa di tempat kayak gini, gue sih gak menjamin kalo doa lo bakal mujarab. Secara, lo liat sendiri di sekitar lo sekarang! Semua manusia yang di sini bukan jenis manusia yang doyan berdoa. Apalagi kaum wanita berpakaian seksi itu. Dah lah, doa lo gak akan terkabul, Vin. Mending, lo ikut gue aja sini!" tutur Fery mengajak. "Ikut ke mana?" "Udah. Ayo buruan! Lo mau duit kagak?" tanya Fery menaikkan sebelah alisnya. Mendengar kata duit, otomatis Alvin pun mengangguk. Ya, Alvin memang selalu tertuju fokus pada kata uang. Sebab, dengan uang dia bisa membeli omongan orang yang sudah pernah merendahkannya. Terutama Tita, mantannya itu harus ia beri pelajaran. Tapi sebelum itu, Alvin harus banyak uang terlebih dahulu bukan? Dengan begitu, ia bisa berbuat apa saja ketika uang sudah melimpah mengisi kantong celananya. Kemudian tanpa banyak tanya lagi, ia pun segera melenggang mengikuti Fery yang hendak melakukan sesuatu demi membuat pemuda desa itu agar tidak terlihat polos dan bodoh di tempat yang salah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD