Chapter 2 : Boomshell

2036 Words
"Kau bisa?" tanya Billy. Serak. Memerhatikan wanita itu, menekan angka, touchscreen pada pintu. Sekilas, Milla melirik, mengangguk pelan. "Maksudku, kau yakin?" "Aku hanya ingin memastikan. Jika Luiz mengangkat telpon, aku tidak akan melanggar privasi-nya," terang Milla. Mengulang tindakan, memasukkan kode dan langsung menekan enter. Try Again! Milla mengerutkan kening. Bergerak mundur. Menatap touchscreen. Password yang ia masukkan salah. "Baik. Akan ku ulang." Billy diam. Melipat tangan di d**a. Bahu tegaknya terlihat kokoh, fokus memerhatikan. Lagi, Password yang Milla masukkan salah. Tidak akurat. "Aku yakin dia mengganti kode nya," tutur Milla. Melirik sekilas ke arah Billy. "Kita pulang!" tegas Billy. "Aku tahu kau bisa membukanya," tatap Milla. Meraih salah satu tangan Billy. Menggenggam erat, saling menatap. Lekat. "Sayang, ayolah!" "Aku tidak pernah melanggar privasi orang lain," jelas Billy. Datar. "Luiz bukan orang lain. Dia putramu, dan Caroline? Kau tahu siapa dia. Alexander pasti menunggu kabar darimu. Kita, hanya ingin memastikan," jelas Milla. Berusaha meyakinkan. Billy mengulum bibir. Mengusap kening. Ragu. Sejenak pria tersebut berpaling. Turut berpikir. Namun, merasakan Milla. Tetap menggenggam tangannya rapat. Merasakan kekhawatiran. "Akan ku coba." "Thank you," ujar Milla. Senang, spontan mengecup punggung tangan Billy. Lalu melepasnya. Billy bergeser, lebih dekat dengan pintu. Menaruh ujung jari di layar touchscreen. Milla menelan ludah. Melirik ke sisi lorong. Sungguh, mereka terlihat seperti sepasang perampok. Cocok. Hingga mendadak, suara pintu penthouse milik Luiz terbuka. "Aku tahu kau bisa melakukan apapun!" puji Milla. Tersenyum lebar. Menaruh kedua tangan dileher Billy, lalu mencium bibir pria itu bangga. Billy mendengus berat. Turut menyesap bibir milik Milla. Merasakan manisnya. Ia selalu mabuk. Wanita itu benar-benar membuatnya jatuh cinta. Sangat. Milla bergeser, mundur melepas diri. Ia menarik napas, mendorong pintu sambil melangkah masuk. "Holy shits. Apa yang terjadi di sini?" erang Milla. Serak. Mengedarkan mata ke tengah ruang. Hancur. Berantakan. Beberapa barang, tidak pada tempatnya, kacau. "Hati-hati!" ujar Billy. Menarik pergelangan tangan Milla. Memegang rapat, sambil mengarahkan senjata, yang sempat ia raih dari belakang punggung. "Kau mengira akan ada perampok sungguhan?" tanya Milla. Membuat Billy mengangkat salah satu jari. Memintanya diam. "Billy. Are you seriously?" "Orang lain bisa saja masuk!" tegas Billy, curiga. Memiliki keyakinan yang cukup masuk akal, setelah melihat keadaan penthouse putranya. Belum lagi, Luiz sama sekali tidak merespon tiap panggilan. Ponsel pria itu mati. "Aku akan periksa kamar!" "Stay here!" "Tidak mau. Aku ingin ikut memastikan!" tukas Milla. Melepas pautan pria tersebut. Melangkah menaiki tangga. Menuju kamar. Billy turut bergerak, namun, tetap bersikap awas di tiap langkah. "Milla," tahan Billy. Sempat memegang bahu wanita itu. Milla memegang handle pintu, bersiap membukanya. "Tenang saja!" cetus Milla. Menepuk tangan Billy. Sedikit mendorongnya mundur. Lantas, memberanikan diri, lekas mendobrak pintu hingga terbuka. Ceklek!! Milla berkedip. Setelahnya membuka mata. Lebar. Menatap ke arah yang cukup tepat. Beberapa detik. Aliran darahnya seakan terasa berhenti mendadak. Sesak. "Sayang tutup matamu!" Milla mundur. Menaruh tangan di wajah Billy. Cepat bergeser, kembali menutup pintu. "Ada apa?" tanya Billy penasaran. "Bagaimana caranya aku menjelaskan padamu, bahwa putraku, sedang meniduri Caroline." Billy terdiam. Menyunggingkan sudut bibir. Melirik sekilas ke arah pintu, menaruh senjatanya kembali. "Dia tidur bersama Caroline. Ya. Caroline. Aku melihatnya jelas." Milla mengeluh kasar. Menghentakkan kaki. Lalu memukul pintu. Sengaja. "Dasar kalian berdua. Anak-anak nakal!" teriaknya lantang. "Kita harus bicara besok!" jelas Milla, lebih keras. Sekali lagi memukul pintu. Billy meraih ponsel. Menekan benda itu, santai. Memasang raut wajah datar. Milla meremas rambut. Khawatir. "Kau mau menghubungi Alexander?" tanyanya. Billy berpaling. Menaruh ponsel di telinga. Tidak memberi jawaban pada Milla. Wanita itu menggigit bibir. Takut. Menyalahkan diri sendiri. Ia tidak seharusnya mengatakan pada suaminya, atas apa yang ia lihat. Detail. Akan tetapi, Milla kadang kesulitan berbohong pada Billy. "Aku menemukan Caroline. Dia baik-baik saja," jelas Billy pada panggilan, yang telah tersambung. "Dia bersama Megan," ulas Billy selanjutnya. Penuh kebohongan. Milla diam, tersenyum tipis. Menatap pria itu yang turut memperhatikannya lekat. Billy mengangguk. Mendengarkan perintah Alexander. Lalu, beberapa saat kemudian, pria tersebut menutup panggilan. "Kita akan bicara besok!" tunjuk Billy ke arah pintu. "Ya." angguk Milla. "Kita pulang!" tegas Billy. "Aku akan menginap. Kau saja yang pulang. Kita bertemu besok, di mansion," tawar Milla. Kembali membuat Billy berpikir. "Hmm.." angguk Billy. Setuju. Lantas, mendekatkan diri. Menyempatkan diri mencium kening Milla, sebelum pergi meninggalkan Penthouse. Milla menelan ludah. Melambaikan tangan, menatap kepergian Billy. Sampai pria tersebut hilang dari pandanganya. "Bye. Sayang." "Lihat saja mereka besok!" gumam Milla. Kembali memukul pintu. Lantas bergerak turun. Memeriksa ruangan yang lebih tepatnya seperti kapal pecah. *** Luiz melenguh. Berat. Bergerak ke samping tempat tidur sambil memegang kepala. Sial. Alarm nya berbunyi, keras. Membuatnya wajib terbangun. Hari ini penting, awal mulanya mulai bekerja. Senin. Sejenak, Luiz menarik napas. Memegang d**a, sambil menekan nya sedikit. Demi apapun. Matanya pedau. Sulit terbuka. "Berisik!" desisnya pelan. Berhasil meraih ponsel. Lekas mematikan alarm. Ia beranjak, menoleh ke sisi kanan. Tepat, kearah Caroline. Gadis itu pulas. Tertidur dengan wajah pucat. Berantakan. Caroline seperti pingsan. Luiz berpaling. Menarik celana dalam yang masih terpasang di kepalanya. Sejurus, ia menelan ludah. Berusaha mengingat. Menunduk, sambil memegang kening. "f**k!" Luiz beranjak, malu, saat sebuah kegilaan terlintas. Dengan cepat, Luiz Menyingkirkan selimut. Berjalan telanjang menuju bathroom. Segera mewaraskan diri. Ingin mengguyur seluruh isi kepalanya dengan air. Lagipula, Luiz harus bekerja. Ia tidak ingin terlambat. *** "Mom," panggil Luiz serak. Setelah bersiap rapi. Dengan setelan casual. Ia menelan ludah. Memerhatikan Milla. Wanita itu menoleh. Menyusun maka masakan nya di atas meja. "Aku pikir kau tidak akan bangun," sindir Milla. Mengeluarkan bacon sapi dari pemanggang. "Aku letih," ulas Luiz. "Ya. Aku tahu. Kau pasti lelah setelah aku melihatmu bercinta dengan gaya women on top," celetuk Milla. Membuat Luiz tersedak. Malu. "Aku mabuk," jelas Luiz selanjutnya. "Tentu saja. Aku lihat dua botol minuman di sana. Tapi, sudah ku buang. Penthouse mu juga sedikit lebih rapi. Ah. Ada dua vas bunga yang terpaksa ku buang. Pecah." "Mom." "Para orang tua semalam mencemaskan anak-anaknya. Sementara kalian di sini. Mabuk. Menggila, dan bercinta." "I'm sorry!" "Kau tidak perlu minta maaf. Daddy mu juga sudah berbohong pada Alexander kalau putrinya, gadis yang kau tiduri semalam berada bersama Megan," leguh Milla. Menarik napas. Panjang. Luiz bungkam. Enggan menjawab. Ia duduk, menuang s**u didalam gelas, dan beberapa bacon di piring. Milla mengulum bibir. Menekan sisi kursi. Masih memerhatikan. "Kau tidak menggunakan pengaman?" tanya Milla. Membuat Luiz berhenti mengunyah. Meraih tissue untuk membuang sisa makanan di mulut. "Aku mabuk," ulang Luiz. Memijat kepala. "Jika kau tidak mabuk. Kau gunakan pengaman?" lagi, tanya Milla. "Apa jawabanku sangat penting untukmu, Mom?" tanya Luiz. Menatap wujud Milla. Lekat. "Dengar. Ada begitu banyak kasus di Amerika. Bahwa pasangan seks yang tidak mengenakan kondom....." "Aku dan Caroline bukan pasangan seks. Aku mencintainya. Jika terjadi sesuatu, aku akan bertanggung jawab, Penuh!" tegas Luiz. Menyela penjelasan Mommy-nya. Milla terdiam. Meremas sisi pakaian. Ia menarik napas, lebih panjang. Menghela pelan. "Kau mencintainya? Kau sengaja melakukannya?" tanya Milla. "Aku lapar..." mendadak. Suara Caroline terdengar. Parau. Luiz dan Milla menoleh, bersamaan. Tepat ke arah sumber suara. "Akhirnya, tuan putri kita bangun," seru Milla. Menatap Caroline. Gadis itu mendelik. Menggigit ujung kuku. Ia terdiam. Kaku. Menahan tubuh. Sungguh, Caroline masih lemas. Tidak begitu kuat menopang tubuh. "Kau lapar, honey? Kemarilah, makan!" titah Milla. Terlihat mengincar dengan banyak pertanyaan. Caroline mengangguk. Mulai mengambil langkah. Namun, gadis itu berbalik arah. Mengambil langkah menuju wastafel. Ueekkk!! Caroline muntah. Mendadak mual. Ia memegang perut. Menghabiskan sisa makanannya semalam. "Caroline?" teriak Luiz, serta Milla bersamaan. Berlari mendekat. "Are you okay?" tanya Milla. Mengusap punggung Caroline. Memukulnya pelan. Memberi jalan mudah bagi gadis itu. "Luiz ambilkan air!" perintah Milla. Secepat kilat, pria itu bergerak. Mengisi gelas kosong dengan minuman. Caroline menunduk. Memegang tiap sudut wastafel. Masih mual. Aroma alkohol darinya menyengat. Milla pusing. "Basuh wajahmu!" pinta Milla. Memegang rambut berantakan Caroline. Gadis itu menurut. Membuang napasnya sejenak setelah perutnya hampir terasa lega. "Ini minumlah!" ulur Milla. Setelah Caroline membersihkan mulut. Caroline meraih gelas. Segera membasahi kerongkongan keringnya, hingga tandas. "Berapa kali kita melakukannya semalam?" tanya Caroline. Terbata. Luiz menelan ludah, melirik sekilas ke arah Milla. Pertanyaan gadis itu rancu. Namun, Luiz paham arahnya. "Kau tidak buang dalam, 'kan?" lagi. Tanpa Caroline, tanpa ragu. Luiz menggaruk pelipis. Ragu menjawab. Masalahnya, ia juga tidak tahu. Sulit mengingat. "Jawab aku berengsek!" teriak Caroline. Geram. Menggenggam kedua tangannya. "Kenapa akhir-akhir ini Caroline begitu pemarah?" pikir Milla. Sadar. Terus memerhatikan. "Aku tidak tahu. Tapi seingat ku, kita melakukannya berkali-kali!" jawab Luiz. Memerhatikan Milla. "Kau seharusnya tidak meniduri tunangan orang lain," protes Caroline. Memukul keningnya. Merasa bersalah pada Edward. Mereka baru saja memiliki hubungan yang jauh lebih serius. "Caroline biar mommy periksa kau!" mendadak. Milla menangkap pergelangan tangan Caroline. Membuat gadis itu sulit mengelak. "Mom. Tidak perlu. Aku tidak sakit," protes Caroline. Menahan diri. Berusaha melepaskan cengkeraman. "Diam saja!" ucap Luiz. "Kau tidak bisa memerintahku!" balas Caroline. Ketus. Menepis tangan Milla, saat wanita itu berhasil menekan pusat lehernya. "Caroline aku tidak untuk menyakitimu," sergah Milla. Kembali memegang pergelangan tangan Caroline. "Okay. Periksa saja!" Caroline memberikan tangannya. Menatap tegas ke arah Milla. Wanita itu sigap. Menariknya cepat. "Kau tidak perlu gugup," ucap Milla. Merasakan nadi di pergelangan tangan gadis itu cepat. Menghitung detak nya hati-hati. Tanpa melepaskan pandangan. "Pembuluh darahmu sepertinya melebar. Kapan terakhir kali datang bulan?" tanya Milla. "Dua hari sebelum kita ke Villa," jawab Caroline. Membuat Milla mengangguk. Sempat memeriksa mata gadis itu. "Sudah. Cukup. Aku sehat!" Caroline menarik diri. Menyisipkan rambut di balik telinga, lalu melirik ke arah Luiz beberapa detik. "Aku akan pulang ke mansion. Kau mau ikut?" tanya Milla pada Caroline. "Ya. Aku ikut. Karena jika aku tetap di sini, maka pria kurang ajar ini bisa kapanpun meniduri wanita yang jelas tunangan orang lain!" sindir Caroline. Asal. "Jangan lupa. Kau yang mengajakku dan menawarkan diri," tegas Luiz. "Aku mabuk. Seharusnya kau menahan ku!" tandas Caroline. Milla memutar bola mata. Meraih ponsel di dalam saku. Membaca sebuah pesan. "Aku juga mabuk, dan aku tidak tahan melihat tunangan pria lain menari telanjang di depanku!" balas Luiz. Pedas. "Baiklah! Nanti saja jika kalian ingin terus melanjutkan omongan kosong ini. Kau harus pulang. Karena kami membohongi daddy mu," ujar Milla, pada Caroline. "Okay!" Caroline menepis rambutnya. Hingga mengenai wajah Milla. Wanita itu mundur. Ingin menjambak. Namun, berhasil ditahan. Mengingat siapa Caroline. "Aku pulang. Bye!" teriak Caroline. Angkuh. Namun, Luiz mendadak memegang lengan gadis itu. Mengambil langkah mendekat. Menaruh bibirnya di pinggir telinga Caroline. "Kau sangat sexy saat mendesah. Katakan itu pada tunangan mu!" bisik Luiz. Tersenyum picik. Caroline diam. Menggenggam kedua tangan. Ia menelan ludah, sedikit bergetar. Dua iris matanya di arahkan. Tepat, pada Luiz. Geram. Marah. "Dasar berengsek!" Plak! *** "Caroline sudah kembali," lapor Lorna, pada Alexander. Menelan dalam ludahnya. "Ya. Dia sudah sarapan?" tanya Alexander. "Elizabeth dan beberapa pelayan mengantar makanan ke kamarnya," jelas Lorna. Menaruh tubuh di kursi. Mengedarkan mata dengan gerak tidak menentu. Billy memerhatikan. Turut mengerutkan mata. Aneh. "Baiklah." "Alex kita harus bicara," ajak Lorna. Menatap serius. "Ada apa? Ini masih pagi. Kau biasanya tidak senang dengan keributan." "Bukan itu masalahnya. Tapi..." "Sir. Maaf aku mengganggu kalian. Tapi ini penting!" sela Scoot. Bersusah payah menelan ludah. Terlihat terengah-engah. Milla mendekat. Menyentuh Lorna. Membuat mereka saling beradu pandang. Khawatir. "Ada apa?" tanya Alexander. "Gawat. Mulai hari ini, Luiz mulai bekerja dengan pesaing," jelas Scoot. Tanpa melepas pandangan. Alexander mengangkat kepala. Membenarkan posisi. Tegap. "Pesaing?" "Yes, Sir. Open Sea Yatch. Posisinya bagus. Ia bekerja sama langsung dengan putri kedua keluarga itu. Shannon Moreira." "Sir." dengus Billy. "Sudah aku katakan. Jangan biarkan Luiz bekerja sama dengan pesaing," ujar Alexander. Berang. Mengepal tangan. "Aku minta maaf," ucap Billy. Serak. "Dan. Ada satu hal lagi, Sir." "Apa?" teriak Alexander pada Scoot. "Sejak Luiz keluar. Kita banyak kehilangan penyewa. Mereka mengeluhkan sistem baru darimu. Mungkin, mereka akan pindah ke Open Sea," jelas Scoot. Sedikit ragu. Melirik ke tiap orang. Alexander bungkam. Menatap kosong. Sadar. Seumur hidup ia merupakan pria yang tidak mengenal kegagalan. Namun, tidak kali ini. Luiz berhasil. Bahkan melampaui batas. Alexander takut. "Alex," tegur Lorna. "Biarkan suamimu berpikir. Ayo, kita shopping," ajak Milla. Tersenyum senang. "Shopping?" tanya Lorna. "Ya. Berikan waktu pada Alexander. Agar dia berpikir, bahwa rencananya sekarang menjadi senjata untuknya. Dia gagal," balas Milla. Ketus. Hingga Alexander mengangkat pandangan. Menajamkan mata. "Milla!" panggil Billy. "Apa yang sedang kau coba sampaikan?" tanya Alexander. Menatap serius. "Caroline hamil!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD