Chapter 1 : Drunk

1881 Words
Sepulang pesta. Caroline menyempatkan diri mengunjungi galeri tas. Memeriksa usaha. Hasil kolaborasi bersama brand ternama— Dior, yang tengah mengambil langkah ekstra. Mempercepat produksi, akibat pesanan kian membludak. Jujur, berita pertunangan Caroline bersama Edward Stark, ternyata memberi efek. Caroline meraup jutaan dollar keuntungan. "Ms. Morgan?" sapa seorang wanita. Dengan paras tinggi semampai, rambut panjang, melebihi bahu, hitam, bergelombang. Memiliki senyum khas, penuh citra yang terlihat berkelas. "Ya? Apa kita saling kenal?" tanya Caroline. Menatap dengan sudut mata cekung. Menoleh penasaran. Wanita itu mengulum senyum. Tipis, mengulurkan tangan, ramah. "Shannon Moreira. Aku salah satu pelanggan handbag di sini." "Oh My God. Maaf, aku jarang ke sini, jadi.." Caroline bungkam. Sejenak mengulum bibir. Menatap penuh perhatian ke arah Shannon. Tidak asing. "Tidak masalah. Aku bukan seseorang yang menyukai interaksi. Namun jujur, bag branded milikmu menarik perhatian. Aku suka. Berkelas." "Thank you. Senang berkenalan denganmu," papar Caroline. Mengangkat salah satu tangan, memanggil pelayan untuk mengirim gelas berisi wine. "Bagaimana kalau kita duduk di sana sambil mengobrol?" tawarin Caroline. "Ah. Tidak perlu. Sayangnya, aku harus pergi sekarang. Aku harus mempersiapkan sesuatu. Daddy ingin aku menyambut seseorang pegawai baru di perusahaannya." "Oh. Kalau begitu baiklah. Lain kali mampir lah kemari. Jika kau punya waktu, kita mungkin bisa mengobrol," timpal Caroline, sekadar basa-basi. Shannon mengangguk cepat. Mengusap lengan Caroline, lantas memasang sebuah kacamata. Ia mendelik, mengerahkan pegawai untuk membawa belanjaan. Setelahnya, bergerak keluar untuk meninggalkan galeri. Caroline mengeluh gusar. Mengedarkan mata ke seluruh tempat. Memerhatikan setiap tempat. Lalu meraih ponsel yang berada di dalam minibag berwarna putih. Benda kecil itu berdering. Caroline senyap, mengulum bibir. Fokus mengarahkan mata pada layar. Luiz bastard, Calling.... "Kenapa lagi?" tanya Caroline. Menempelkan ponselnya ke sisi telinga. Lekat. "Kau di galeri?" tanya Luiz. "Bukan urusanmu!" tandas Caroline. Ketus. "Aku lapar. Keluarlah!" "Kalau lapar makan. Bukan meneleponku!" dengus Caroline. Kesal. "Keluar atau aku masuk!" tandas Luiz. Terdengar parau. "Masuk saja. Sekalian, beli salah satu tas yang ada...." "Caroline?" kini. Suara dari seorang pria, terdengar mengusik. Membuat gadis dengan rambut dark blonde itu bergerak memutar. Hendak memastikan sumber suara. "Elton?" tanya Caroline serak. Menelan ludahnya kasar. Ia menahan napas. Sigap menoleh ke tiap area. Sial. Model yang satu ini tengah dihindari. Terakhir kali, Elton berusaha melecehkannya. Namun beruntung, Luiz datang tepat waktu untuk memberikan ancaman. "Kau masih ingat namaku, rupanya," kekeh Elton. Mengulum senyum tipis. "Kenapa kau di sini?" tanya Caroline. Berusaha bersikap santai. "Kau sepertinya lupa, kalau aku menjadi brand ambassador untuk tas pria." "Oh." Angguk Caroline. Singkat. "Soal waktu itu, aku ingin minta maaf. Sebaiknya aku tidak memperlakukan mu seperti itu." "Bagus kalau kau tahu," tandas Caroline. Menepis rambut. Meraih ponsel nya kembali. Memutuskan panggilan Luiz. "Kau terlihat lebih berisi. Cantik," puji Elton. "Berhenti menjadikan tubuhku objek!" ketus Caroline. Menimbang pernyataan Elton. Ia kesal, karena perkataan pria tersebut terasa benar. "Aku ingin minta maaf," jelas Elton. "Hm.." "Dan, sebagai permohonan maaf. Apa kau mau minum denganku? Sungguh, tidak akan terjadi apapun?" tegas Elton. Membuat Caroline berpikir. Sekilas melirik ke ambang pintu keluar. "Kau bisa jamin?" tanya Caroline. Menyipitkan mata. "Ayolah. Aku tidak akan menyentuh tanpa seizin mu," ajak Elton. Memohon. Caroline menggigit salah satu jari. Terlihat mengulum bibir. Tengah memikirkan Luiz. "Ba...." "Jika sudah selesai, cepat keluar!" potong Luiz. Serak. Berdiri tegap, tepar di sisi Caroline. Menatap perubahan ekspresi pada wajah Elton Grover. Menegang. Pukulan Luiz membuatnya takut. Ia takut, pria itu menghancurkan karier nya sebagai model. Ketampanan adalah aset utama Elton. "Aku akan pergi bersama...." "Kau pergi sana dengannya. Aku lupa kalau aku ada janji," lagi. Kalimat Caroline di sela. Namun, kali ini dari Elton. Gadis itu merengut. Heran. Menatap Elton penasaran. "Kenapa mendadak?" tanya Caroline. Melirik Luiz sekilas. "Aku sebenarnya ingin mengajakmu, tapi..." "Kita pergi dari sini!" ajak Luiz. Memegang pergelangan tangan Caroline. Menarik gadis itu kuat. "Luiz lepaskan aku!" "Kau ikut, atau ku lakukan sesuatu di sini agar semua orang tahu kalau kau pernah tidur denganku?" ancam Luiz. Seketika membuat Caroline bungkam. Menoleh dengan tatapan kosong. Tepat, ke arah Luiz. "Kenapa kau mengancam ku?" tanya Caroline. "Satu..." hitung Luiz. Tanpa melepas pandangan. "Berengsek!" Bugh!! Caroline melayangkan tinju. Tepat mengenai Luiz. Pria itu batuk. Segera bergerak mundur. Sesak. Luiz menarik napas. Menahan sakit. Caroline mengangkat alis, lekas berpaling. Berjalan lebih dulu, lekas melewati kedua pria. Elton senyap. Diam dalam kebingungan. Caroline ternyata garang. "f**k!" umpat Luiz, membatin. Turut melangkah mengikuti jejak Caroline. "Lain kali, jika kau masih bertingkah sesukamu, Sungguh, akan ku tendang ular kobra mu hingga bengkak," ancam Caroline. Sadar, bahwa pria itu berada tidak begitu jauh darinya. Terus bergerak, melangkah menuju parkiran. Luiz senyap. Menatap punggung Caroline. Terlihat tersenyum, tipis. Memikirkan reaksi gadis itu. Menggemaskan. *** Luiz Penthouse | 21.47 PM "Dari mana kau tahu aku di galeri?" tanya Caroline. Menatap penuh selidik. Luiz melirik, berhenti mengoles mentega ke daging ayam yang baru saja selesai ia bumbui. Pria itu menarik napas, memutar bola mata lalu menaruh sendok. Luiz bergeser. Bergerak mendekati Caroline. Sengaja menghimpitkan tubuh. Caroline membuka mata. Menatap dua iris tajam milik pria itu dari dekat. Sungguh, meski marah, Caroline merindukan aroma keringat pria tersebut. Gadis itu ingin bercinta. Namun, bersikeras menahan diri. Gengsi. "Berhenti! Jangan menyentuhku," keluh Caroline. Menekan perut Luiz dengan kedua tangan. Akan tetapi, pria tersebut semakin dekat. Membuat Caroline memilih mundur. Bergerak selangkah, sampai punggungnya terhimpit freezer. Luiz mengangkat salah satu tangan. Mengulur maju. Caroline menutup mata, sipit. Masih mampu melihat Luiz dari kelopak matanya yang mengecil. "Lu....." Caroline berkedip. Lekas membuka matanya kembali. Sial. Sial. Benar-benar Sial, Luiz sengaja mendekat hanya untuk mengambil spatula yang berada di belakangnya. Caroline tercengang. Mendadak canggung, salah tingkah. Tindakan Luiz, berhasil melukai harga dirinya. Masalahnya, ia pikir, pria itu akan mencium habis bibirnya, lalu meminta maaf. "Pedas atau tidak?" tanya Luiz. Menggeser tubuhnya menjauh. Fokus pada ayam. Ingin memanggang makanan itu di dalam oven. "Sangat pedas!" ujar Caroline. Melipat kedua tangan di d**a. Lantas, bergerak menjauhi dapur. Pergi menuju ruang tamu. Meninggalkan Luiz. Marah. *** Caroline memegang botol berisi alkohol, yang ia ambil dari lemari bawah televisi. Gadis itu menghela napas. Memeriksa kadar. Cukup tinggi. Caroline yakin, dengan beberapa kali tenggak, minuman tersebut mampu memabukkan. "Dia selalu bilang kalau tidak minum alkohol. Tapi, kenapa ada ini di penthouse nya?" pikir Caroline. Memeriksa botol kedua. Tersisa setengah. Botol berisi cairan tersebutlah, yang membuat Luiz begitu agresif. Setengah sadar. "Mungkin bisa ku nikmati," ujar Caroline. Mengambil dua gelas kosong. Tanpa melepas botol-botol minuman tersebut. Bergerak menuju meja, dan menuang air ke dalam wadahnya. Lalu, mengangkat pandangan saat mendengar derap langkah. Luiz akhirnya muncul, membawa ayam panggang yang terlihat menggugah selera. Caroline berdecak. Mencium aroma yang berhasil memicu perutnya bersuara. Lapar. "Tidak ada alkohol!" tegas Luiz. Meraih botol minuman setelah menaruh makanan di meja. Caroline sigap. Menangkap dengan kedua tangan. "Taruh! Aku ingin meminum nya." "Aku tidak minum!" tandas Luiz. Takut. Mengingat kegilaannya terakhir kali. "Kalau kau tidak minum. Kenapa menyimpan alkohol di penthouse?" "Alkohol itu bukan milikku," sanggah Luiz. "Oh. Jadi ini gratis? Kalau begitu kita nikmati bersama." "Caroline." "Kenapa? Kau takut jika mommy Milla menjewer kuping mu hanya karena kau minum? Lemah!" ejek Caroline. Membuat Luiz terdiam. Memicingkan matanya tajam. "Kau tidak akan bisa menangani jika aku mabuk!" jelas Luiz. "Benarkah? Aku belum pernah lihat. Bagaimana kalau kita mabuk bersama?" ajak Caroline. "Aku tidak..... Caroline..." Luiz menarik napas. Melihat gadis itu mengangkat gelas, dan langsung menenggaknya. "Aku satu. Kau satu," tunjuk Caroline ke arah gelas. Memaksa. Luiz menelan ludah. Berdiam diri tanpa suara. Ia takut, sekaligus gugup. "Okay. Kalau begitu aku minum lagi." Caroline menunduk. Mengambil gelas kedua. Lekas meminumnya tanpa ragu. Lantas, mengisi kembali kristal dihadapannya dengan alkohol. "Aku dua. Kau dua," jelas Caroline. "Jangan konyol. Aku tidak..." "Tiga!" "Oke!" tahan Luiz. Menarik gelas ketiga yang berada di tangan Caroline. Damn! Seharusnya, tidak ia urungkan niat untuk membuat alkohol sialan itu. Sungguh, Luiz ragu. Namun tidak bisa membiarkan Caroline terus meminumnya. "Kau lama," celetuk Caroline mengambil gelas satunya. Menghabiskan cairan. Luiz frustrasi. Selanjutnya ikut menenggak. Terpaksa meminumnya. "Good. Dua gelas lagi agar seimbang," ujar Caroline. Melempar senyum. Mengisi gelas kosong, memaksa Luiz. Caroline memiringkan bibir. Masih menenggak minum, tidak berhenti hingga keduanya mabuk. *** "Caroline Lihat! Pangeran ular mu datang," teriak Luiz, lantang. Menopang lutut, setengah berdiri di atas ranjang. Merentangkan kedua tangan, telanjang. Bersama bra Caroline, yang masih bergantung sempurna pada lehernya. "Pangeran?" Caroline menoleh. Lekas membuka mata. Terbaring dilantai tanpa busana. Mereka baru saja merusak properti, demi menyatukan diri. Bercinta kasar. "Ya. Kau mau lagi merasakan sengatan ular?" tanya Luiz. Mengibas miliknya yang kembali keras. "Besar. Panjang," puji Caroline. Masih mengatur napas. Memeriksa kepalanya yang pening. Menatap milik Luiz. "Dua puluh dua senti. Aku baru saja mengukurnya," bangga Luiz. Mengangkat kedua tangan. Pamer otot. "Ya. Wajar jika aku sangat sesak," keluh Caroline. Menyeka keringat di keningnya. Sedikit bergerak bangun. Lemas. Ia dihajar, empat kali. "Perutku rasanya penuh dengan anak ular," ujar Caroline. Memijat kening. Merasa pening. "Kau sakit? Maaf, ular milikku memang memiliki kekuatan listrik," kekeh Luiz. Konyol. Kembali mengibas miliknya. "Berapa beratnya?" tanya Caroline. "Belum ku timbang. Kau penasaran dengan beratnya? Mungkin setengah kilo," celetuk Luiz. Asal. Terdengar mengoceh. Berani. "Apa laku di jual?" "Dijual? Maaf, Luiz Germany Hodgue tidak akan hidup dengan menjual ular. Meski murahan, aku hanya ingin dia masuk ke sarang yang tepat." "Tapi, kenapa kepalamu menghilang?" tanya Caroline. "Apa? Kepalaku? Hilang? Kau yakin?" Luiz kaget. Mengedarkan matanya ke tiap ruangan. Mencari kepalanya. "Kau harus cari. Cepat!" Caroline berdiri. Ikut panik. Menarik tiap laci. Mencari sesuatu yang ia pikir hilang. "Cari kepalaku. Cari!" teriak Luiz. Bergetar. Takut. Mengangkat selimut. Menyibak tirai, hingga membuka toilet. Memeriksa setiap tempat. "Aku tidak menemukannya," tangis Caroline. Mendadak pecah. Tidak menemukan kepala Luiz. Tindakan mereka semakin diluar batas. Sangat konyol. "Aku tidak mau tahu. Aku harus menemukan kepalaku! Caroline tolong!" "Aku menemukannya. Luiz kepalamu!" teriak Caroline. Mengangkat sebuah celana dalam. Pria itu bergerak. Memutar. Berlari mendekat. "Akhirnya. Aku menemukan kepalaku!" Luiz merebut celana dalam tersebut. Memasang nya di kepala. Lantas, menari girang. Caroline turut serta mengambil tempat. Menggoyangkan pinggul. Senang. "Kemarilah! Biar ku sengat lagi kau dengan kekuatan ku," tarik Luiz. Menjatuhkan Caroline ke atas ranjang. Gadis itu tertawa keras. Sigap membuka diri. Pasrah. Menerima Luiz, untuk kelima kalinya mereka menyatukan diri. *** "Caroline belum pulang. Ini hampir dini hari," celetuk Lorna. Memasang wajah khawatir. Sambil menggenggam ponselnya. "Scoot sedang mencarinya." "Aku tidak percaya Scoot. Aku butuh polisi Alex," teriak Lorna. Takut. Melirik ke arah jarum jam. Demi Tuhan, ia tidak bisa tidur. "Tidak sekali, dia berbuat seperti ini," sanggah Alexander. Mencoba menenangkan. "Apa mungkin dia bersama Edward?" tanya Milla. Melipat tangan di d**a. "Aku sudah menghubungi Rami Allgart. Tapi, Caroline tidak bersama Edward hari ini," jelas Alexander. "Apa jangan-jangan dia bersama Luiz?" celetuk Lorna. "Akan ku periksa jika kau mau," lontar Alexander. "Tidak perlu. Biar aku saja! Billy, ayo ikut denganku!" "Aku juga ikut!" pinta Lorna. "Tidak. Tunggu saja di sini, siapa tahu ada kabar dari Scoot. Akan ku kabari kalian secepatnya," tolak Milla. Menggenggam kedua tangan Lorna. "Kau yakin?" tanya Lorna. Menatap Milla tajam. Hingga wanita itu mengedipkan mata. Sekilas. Mengirim signal. "Baiklah. Aku akan menunggu kabar darimu." Lorna menghela napas. Sedikit memegang d**a. Tenang. Ia mendekati Alexander. Memeluk erat, tubuh gempal pria itu. Erat. "Semua akan baik-baik saja. Jangan khawatir. Caroline sudah dewasa," jelas Milla. Membuat Lorna menelan ludah. Mengangguk paham. Alexander bungkam. Berdiam diri, menatap Billy tegap. Sama seperti Lorna, mengirim signal. Ia butuh kabar. Secepatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD