DESAKAN BERULANG

1657 Words
Beberapa hari kemudian. Ghibran belum mendapat kabar dari petugas kasir di café. Pria tampan itu menjadi penasaran. Dengan langkah cepat, ia memutuskan menuju ke café itu lagi pada saat jam makan siang. Ghibran melangkahkan kaki memasuki café dengan tak lupa mengucap basmallah. Ghibran berharap kedatangannya di cafe siang itu akan membuahkan hasil yang baik. “Permisi saya yang waktu itu menanyakan ukhti-ukhti yang sempat duduk di sana, apakah dia sudah kembali lagi ke café ini?” Ghibran bertanya. Menelisik tajam pada seorang petugas kasir. Kebetulan, petugas kasir yang sedang berjaga hari itu merupakan petugas kasir yang sama, sewaktu Ghibran menanyakan perihal seorang wanita yang ia bidik dari kejauhan. “Oh ukhti yang kapan hari ya, Pak?” Petugas kasir itu menyahut. Segera paham pada arah pembicaraan Ghibran. “Iya betul, apakah dia sudah kembali lagi ke mari?” “Seingat saya sih, mbak itu belum kembali lagi sejak terakhir kali, Pak.” Ghibran menciutkan diri. Ia berharap bisa segera berkenalan dan mengajak taaruf sosok wanita yang telah berhasil memikat dirinya. Namun, lagi-lagi Allah berkehendak lain. Ghibran harus kembali menguatkan hati usai mendapati jawaban tak sesuai dengan yang ia harapkan. Perasaan yang semula bergejolak nan dipenuhi semangat, tiba-tiba diselimuti awan gelap. Ghibran hanya bisa meneguhkan hati. Menyemangati diri. Lalu, berpasrah pada Sang Illahi. “Baiklah kalau begitu, terima kasih banyak,” Ghibran menyahut. Bibirnya hampir berat saat hendak kembali mengatup. Apa aku harus memupuskan harapanku? Tidak! Tidak boleh, bukan itu yang Allah mau. Allah ingin melihat seberapa serius diriku dalam menjemput sosok jodoh yang sudah Allah kirim kepadaku itu. Alih-alih beranjak dari café, Ghibran memilih untuk berdiam diri terlebih dahulu di sana. Memesan secangkir kopi. Menyesapnya sembari melepas penat di kepala. Melihat tempat duduk yang diduduki oleh sang pujaan hati kosong; tak berpenghuni, Ghibran memutuskan untuk menjejalkan p****t di sana. Menghampiri sebuah sudut ruang dengan pemandangan terang. “Wanita itu pandai sekali mencari view yang bagus sambil menyeruput kopi di café ini,” Ghibran memuji. Lagi-lagi bibirnya menarik sudut ke arah atas. Mengukir senyum tampan di wajah. ****** Pada sore hari pukul 17.00 WIB di kediaman Ahmad Faruqi. Ghibran sedang sibuk di ruang kerja. Tiba-tiba suara seorang wanita paruh baya mengejutkan dirinya. Yakni, suara Karina. Suara sang ibu yang sangat melekat di dalam gendang telinga. “Ghibran?” Karina Anwar menyapa. Menatap tajam manik mata sang putra. Usia Karina kini sudah genap enam puluh tahun. Paruh baya itu kerap mendesak sang putra sulung untuk segera menikah. Karina sudah lama berkeinginan untuk menimang cucu. Ia ingin memamerkan cucunya pada ibu-ibu sosialita dan beberapa kolega. “Ada apa, Mama?” Ghibran menyahut. Memusatkan pandangan pada sang ibu. “Mama ingin kamu segera menikah. Lihatlah anak Tante Siska, dia sudah menikah beberapa bulan lalu dan kini tengah hamil. Lalu, anak Tante Merry kini justru tengah melahirkan anak keduanya,” Karina berujar. Memprovokasi Ghibran. Sebenarnya, Ghibran hafal betul dengan arah pembicaraan sang ibu. Obrolan mereka bukan untuk kali pertama. Membuat Ghibran jengah saat Karina membanding-bandingkan status single yang sudah melekat pada dirinya sejak lama. Usai berpikir sejenak, Ghibran menyahut dengan tak terduga setelahnya, “Lalu, haruskah Ghibran mengadopsi seorang anak? Agar mama juga memiliki cucu yang sama seperti anak dari teman-teman mama?” Bola mata Karina sontak melebar. Melebihi ukuran normal. Tatapan matanya seakan tak percaya pada jawaban yang diberi oleh sang putra. “Omong kosong macam apa itu, Ghibran? Adopsi? Tentu, Mama ingin kamu segera menikah. Agar mama mendapat cucu dari darah daging Mama sendiri.” Karina mencebik kesal. Emosi di dalam diri terlanjur tersulut dalam-dalam. “Sudahlah, pokoknya pekan ini kamu harus datang ke kencan buta yang sudah Mama rencanakan untukmu!” Paruh baya itu memekikkan suara. Memberi perintah untuk kesekian kali. Ghibran merendahkan posisi bahu yang mengembang penuh. Meredakan perasaan kesal akibat tekanan sang ibu. Mulai memberi pengertian pada Karina, jika ia tak ingin dijodoh-jodohkan seperti sebelumnya. “Maaf, Ma, terakhir kali Mama menjodohkan Ghibran dengan wanita-wanita yang maaf, naudzubillah min dzalik Ma, mereka semua membuka aurat. Dan, Ghibran tak ingin Mama mengatur kencan buta untuk Ghibran dengan wanita yang seperti itu lagi. Ghibran mohon Mama dapat mengerti,” Pria tampan itu menyahut lirih. Menatap sang ibu dengan penuh arti. “Kamu ini terlalu naif, Ghibran! Semua laki-laki menyukai wanita dengan paras dan tubuh yang elok mereka. Lagi pula, Mama takkan salah menjodohkanmu dengan seorang wanita. Mereka sudah jelas berasal dari keluarga se-strata. Mengenai bibit, bobot, bebet mereka, kau tak perlu meragukannya.” Perasaan dongkol menyerbak ke dalam d**a. Meski begitu, Ghibran tak ingin bersikap tidak sopan pada sosok wanita yang melahirkan ia ke dunia. Bagaimana pun, Ghibran tak boleh menyerah untuk meyakinkan sang ibu, jika jodoh terbaik untuknya adalah seorang wanita muslimah. “Ma, dalam ajaran Islam, wanita harus bisa menjaga aurat dan kehormatannya. Ketika menikah nanti, Ghibran ingin wanita yang menjadi pasangan Ghibran adalah seorang wanita sholihah, bukan wanita yang seperti itu, Ma,” Ghibran menyanggah. Memberi alasan jelas terhadap penolakan yang ia suguhkan. “Sudahlah, Mama tidak mau tahu, Ghibran! Pokoknya, pekan ini kamu harus datang ke kencan buta yang sudah mama rencanakan,” Karina menyahut. Paruh baya itu tak mau tahu. Mendengar perintah dari sang ibu, membuat Ghibran kembali teringat pada sosok Bilqis. Bagaimana pun caranya, aku harus menemukan wanita itu. Meski baru sekali menatap Bilqis dari kejauhan, entah mengapa dinding di dalam hati mulai bergetar. Menunjukkan getaran yang tak pernah ia rasa sebelumnya. Meski tak pernah memiliki pengalaman berkencan, namun melihat Bilqis, Ghibran merasa mantap untuk meminang sang pujaan. ****** Sementara itu, pada sore hari pukul 17.00 WIB, di kediaman Ruslan Dirgantoro. Senja mulai menelisik di sisi langit. Menampakkan keindahan dengan desir angin yang menerpa sejuk pada banyak pepohonan. Warna jingga di sana menjadi saksi bisu akan obrolan dua orang wanita berbeda usia. “Bilqis?” Desy Dianty menyapa sang putri semata wayang. Berusia tak beda jauh dengan Karina, Desy juga kerap mendesak sang putri untuk segera menikah. Para tetangga kerap bergosip perihal Bilqis yang tak kunjung dipinang oleh seorang pria. Bisik tetangga itu membuat Desy terganggu. Bahkan, ia hampir merasa gagal menjadi seorang ibu. Desy menyimpulkan hal itu karena merasa belum berhasil menikahkan sang putri di umur yang sudah matang. Bagi Desy, kado terindah di usia yang hendak melepas angka lima puluhan, adalah dapat melihat seorang Bilqis berada di pelaminan. “Iya, Ummi? Ada apa memanggil Bilqis? Apakah Ummi sedang ingin Bilqis bantu di dapur?” “Tidak nak, bukan itu.” “Lalu, ada apa Ummi?” Bilqis bertanya ragu. Dilihatnya wajah sang ibu yang sedang memandang dengan tatapan nanar. Hening sesaat. Desy seraya menanggalkan kalimat yang hendak ia ucap. “Ada apa, Ummi?” Bilqis mengulang pertanyaan. Tak bisa membiarkan rasa penasaran bergelayut di dalam hati. “Nak, kamu kapan membawa calon suami ke rumah? Selama ini belum ada pria yang kamu ajak ke mari, untuk dikenalkan kepada Abi dan Ummi,” Desy berucap lirih. Menahan rasa sedih. Saat itu, Desy mengerahkan keberanian diri. Mengingat, kali terakhir ia membahas hal tersebut, Bilqis justru memurungkan wajah. Tak semangat dan ceria seperti biasa. Membuat Desy menjadi sedih berkali-kali lipat dari sebelumnya. Desy tahu betul, mengenai alasan Bilqis belum memperkenalkan seorang pria satu pun. Yakni, karena Bilqis tak ingin salah dalam memilih. Wanita itu ingin Allah mengirim jodoh terbaik di saat yang tepat. Bilqis seraya berpasrah sepenuhnya pada Sang Illahi. Selain itu, kesibukan Bilqis di Butik Khumairroh, membuat ia tak memiliki waktu untuk berkenalan dengan pria-pria di luar sana. Hal tersebut, membuat Desy khawatir. Bagaimana pun, usia sang putri terus bertambah. “Ummi, mengapa Ummi tiba-tiba menanyakan perihal itu lagi kepada Bilqis?” Sesuai tebakan Desy, Bilqis tak ingin sang ibunda membicarakan perihal jodoh yang merupakan perkara ghaib bagi setiap insan di dunia. “Bilqis Syadja Khumairroh, anak Ummi satu-satunya, tahun depan umur Bilqis sudah tiga puluh satu tahun loh nak,” Desy berucap. Menjeda kalimat dengan membelai wajah sang putri. “Lantas, apakah umur menjadi patokan agar Bilqis segera melangsungkan pernikahan, Ummi?” Desy menelan ludah. Selalu jawaban itu yang Bilqis lontarkan. Bagi Bilqis, usia bukanlah sebuah masalah. Entah berapa pun usia setiap manusia memutuskan menikah, yang terpenting adalah kesiapan dan kemantapan diri. Desy gelagapan. Ia hanya bisa terdiam. “Ummi kan tahu sendiri, perihal jodoh itu adalah perkara yang ghaib, Ummi. Hanya Allah SWT yang semata-mata tahu perihal siapa, kapan dan bagaimana jodoh itu akan dipertemukan. Bilqis yakin, Allah sedang mempersiapkan seorang imam yang terbaik untuk dijadikan pasangan Bilqis. Ingat Ummi, di dalam quran surat An Najm sudah dikatakan dan bahwasannya Allah-lah yang menciptakan berpasang pasangan antara pria dan wanita, sehingga Ummi tidak perlu mengkhawatirkan perihal jodoh Bilqis.” Bilqis berucap panjang lebar. Desy tak lagi dapat berkata apa-apa. Desy hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk putri semata wayangnya. “Baiklah, Ummi akan berusaha untuk ikhlas dan lebih bersabar lagi setelah ini Bilqis,” Desy menyahut. Mengakhiri obrolan. “Tentu saja Ummi, Allah selalu bersama hamba-hambanya yang bersabar.” Bilqis melempar senyum. Melafalkan kalimat syukur. Tak lama kemudian adzan maghrib berkumandang, Bilqis segera mengambil wudhu. Menunaikan sholat berjamaah dengan kedua orang tuanya. “Sudah siap, nak?” Ruslan bertanya. Ia telah bersiap diri menjadi seorang imam untuk dua orang wanita yang ia cinta. “Alhamdulillah, sudah Abi, mari kita segerakan untuk menunaikan sholat berjamaah ini,” Bilqis menyahut. Merapikan mukenah yang telah ia balut di tubuh. Allahu akbar.. Ketiganya melaksanakan sholat berjamaah dengan khusyuk. Tak lama kemudian, salam terucap. Mereka bergegas melantunkan doa, termasuk Bilqis yang sedang bersimpuh di atas sajadah. “Ya Allah ya Rabb, engkau maha mengetahui sedangkan aku tidak. Engkau maha pengasih lagi maha penyayang. Aku berpasrah dan berserah diri kepadamu perihal jodohku. Aku yakinkan dan percayakan kepadamu, jika engkau akan mengirimkan jodoh yang paling tepat untukku, di waktu dan kondisi yang tepat pula menurutmu. Aamiin allahuma aamiin.” Tiba-tiba, Bulir air mata mengalir deras dari pelupuk mata Desy. Paruh baya itu menoleh ke arah sang putri, Lalu, ia berucap tak terduga, “Nak, menikahlah. Ummi tak tahan dengan ucapan para tetangga yang mengataimu perawan tua.” Bilqis merengkuhkan badan. Ia tak lagi tahan terus didesak untuk segera menikah.                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD