Chapter 2: Meet The Others

2359 Words
Sudah menjadi kebiasaan setiap hari jika Steve menyantap makan malam bersama adiknya—Kimberly Queen Ackles. Adik semata wayang yang dia sayangi. Mereka menikmati makan malam di salah satu restoran mewah. Kebiasaan lainnya, mereka akan menyewa satu restoran hanya untuk acara makan malam karena tidak ingin terganggu oleh orang lain. Gadis kecil yang dulunya sering menangis kini telah beranjak dewasa menjadi sosok perempuan tangguh dan sering menggerutu seperti ibunya. Wajah cantik dan kulit kecokelatan Kimberly menurun dari sang ibu sementara mata birunya dari sang ayah. Ada sedikit [1]freckles pada bagian hidung yang menjadi keunikannya tersendiri. “Steve, kapan kau akan pulang ke rumah? Mommy merindukanmu,” tanya Kimberly setelah melahap puding cokelat miliknya. “Kapan-kapan. Aku nyaman tinggal sendiri.” Kimberly menghentikan kegiatan makannya kemudian menatap Steve lebih serius. Mungkin sudah terlalu sering dia mempertanyakan sehingga jawaban kakaknya berubah menjadi lebih menyebalkan. “Kau sudah pergi dari rumah selama lima tahun, Steve! Ayolah, apa kau tidak merindukan Mommy? Jika kau tidak ingin bertemu dengan Daddy, setidaknya jangan menolak bertemu Mom! Kasihan Mom, setiap hari membicarakan putranya yang hilang.” Selama lima tahun Steve tidak lagi tinggal di mansion orangtuanya. Dia memilih tinggal di mansion hasil pemberian kakeknya—Arthur Ackles. Bukan tanpa alasan Steve pergi dari rumah, melainkan karena ada permasalahan internal antara dirinya dan sang ayah yang menyebabkan dia memilih pergi. Hal ini menjadikan Steve sebagai satu-satunya keturunan Ackles yang menetap di mansion sendiri sebelum menikah. Biasanya keturunan Ackles selalu menetap di mansion orangtua dan setelah menikah barulah boleh pindah. “Sampaikan salamku pada Mommy. Aku akan menghubunginya besok,” ucap Steve akhirnya setelah diam beberapa menit. Kimberly menarik senyum lalu meraih tangan kakaknya yang berada di atas meja. Dia menggenggam tangan yang sering menemaninya kemana saja. Sejak pertengkaran yang terjadi dengan sang ayah, kakaknya jadi lebih menutup diri. “Aku berterima kasih karena kau akan melakukannya, Steve. Aku menyayangimu,” ucap Kimberly. Steve membalas, “Aku juga menyayangimu, Kim.” Menit berikutnya Kimberly menarik tangannya dan merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Dia menyodorkan sebuah undangan kemudian berkata, “Kau harus datang saat pesta pertunangan Adrien. Ingat, dia sangat dekat denganmu. Jangan sampai kau tidak hadir seperti pertunangan Matthew tempo hari.” Steve mengambil undangannya dan melihat dua nama yang terukir di sana: Prince Adrien Jayson & Paris Benson. Gelak tawa menjadi hal yang pertama kali lolos sebelum membuka isinya. Selama beberapa bulan Adrien sudah tidak lagi berkumpul bersamanya dan Nicholas. Dia, Nicholas dan Adrien memang sudah dikenal sebagai Trio NSA—pengganti Trio Jo karena hobi berganti kekasih. Tidak disangka ternyata dia mendapat undangan yang tidak terduga. “Adrien akan menikah? Serius? Manusia seperti dia akan menikah?” tanya Steve tidak percaya. Kimberly mengangguk lalu menjawab, “Aunty Natasha menjodohkannya dengan anaknya menteri di sana. Dari yang aku dengar pasangan Adrien menguasai berbagai ilmu beladiri dengan tingkat tertingginya. Katanya juga galak.” Steve kembali tertawa keras. Setidaknya Adrien punya satu perempuan yang dapat menjinakkannya meskipun dengan cara yang kasar. Iya—kalau berani macam-macam bisa saja perempuan bernama Paris itu mematahkan lehernya. “Ya, baguslah. Setidaknya Adrien akan berubah pelan-pelan. Kalau tidak, hidupnya tinggal nama,” kekeh Steve. “Lalu bagaimana denganmu dan Nicholas? Kapan kalian akan berubah?” tanya Kimberly sembari menaik-turunkan alisnya seolah mendesak sang kakak memberi jawaban. “Mungkin kalau aku sudah bosan berlayar kemana-mana.” ♥ ♥ ♥  “Mengapa manusia bernama Steve Lyan Ackles selalu saja tidak peka terhadapmu?! Sudah berapa puluh kali aku mendengar kau mengeluh karena manusia itu tidak peka! Sungguh menyebalkan senior itu!” gerutu Rara dengan nada yang meninggi. “Entahlah, aku mulai hopeless. Tidak ada kesempatan untukku,” kata Abigail seraya menidurkan kepalanya di atas meja makan yang kosong. Setelah acara makan malamnya bersama Rara, dia menceritakan kejadian hari ini pada sahabatnya. Dirinya dan Rara tinggal di sebuah rumah sewa setelah lulus kuliah. Abigail memilih menetap di London dan tidak pulang ke rumah orangtuanya yang berada di New York. Sementara Rara sendiri memilih menetap di London karena orangtua angkatnya di Jakarta tidak pernah peduli akan keberadaannya. “Lihat ya, kalau aku bertemu dengan playboy itu akan aku hajar dia!” Detik berikutnya Rara menjentikkan jarinya. Dia menepuk pundak Abigail supaya sahabatnya mengangkat kepala dan duduk tegak.  “Aku ingat sesuatu! Aku ingat!” seru Rara tiba-tiba.  Abigail yang sudah duduk tegak karena tepukan Rara barusan, menatap ingin tahu. Dengan nada yang malas, dia bertanya, “Ingat apa?” “Kau ingat lelaki yang berkencan denganku saat ini? Namanya Tyler Louis Clayton. Dia sepupunya Jason Ackles! Astaga… mengapa aku melupakan hal semacam ini?!” Dengan santainya Abigail menanggapi, “Lalu?” “Ya lalu kita bisa minta tolong kepada Tyler untuk mendekatkanmu pada Steve! Kenapa kau bertanya?!” “Ra, aku sudah dekat dengan Steve tapi kami tidak pernah berbincang. Sudahlah, aku ingin menyerah saja.” Abigail bangkit dari tempat duduknya namun Rara buru-buru menariknya sehingga Abigail terduduk seperti semula. Jika menyangkut sahabatnya, Rara rela melakukan apa pun termasuk menjadi pencetus ide-ide tidak terduga seperti yang akan dia katakan sekarang. “Bagaimana kalau kau dekati bosmu demi mendapatkan perhatian Steve?”  “Kau gila, Ra! Tidak mungkin aku melakukan itu karena bosku sudah sangat baik padaku. Tidak ada bos yang bersedia membayarkan gajiku selama tiga bulan di hari pertama aku bergabung dalam perusahaan. Idemu terlalu gila. Aku tidak akan mengikuti satu pun idemu!” Rara mengangkat bahu seolah menyerah. “Ya sudah, aku tidak akan mengusulkan apa pun. Kalau kau memang ingin menyerah, aku akan mengenalkanmu dengan salah satu temannya Tyler.” Abigail bangkit dari duduknya kemudian melewati Rara. Tubuhnya sudah memaksa untuk beristirahat dan mengabaikan semua ucapan Rara. Urusan usulan yang Rara katakan bisa menunggu sampai besok karena sekarang matanya sudah tidak kuat menahan kantuk. “Hey! Aku sedang bicara denganmu Abigail! Mengapa kau pergi begitu saja?!” ♥ ♥ ♥ Abigail datang sangat pagi karena menyiapkan semua kebutuhan untuk rapat. Hari ini, keempat CEO dari beberapa perusahaan ternama akan datang. Termasuk Steve tentunya. Seharusnya rapat diadakan di perusahaan Ackles Enterprise, tapi Maxwell ingin mengadakan di perusahaannya.  Sudah menjadi kewajiban Abigail sebagai sekretaris memastikan semua yang diperlukan telah siap dan tidak ada yang terlupakan. Dia tidak lupa memastikan keempatnya datang sesuai jadwal yang telah ditentukan karena sudah menghubungi melalui telepon kantor. Sekarang Abigail sedang sibuk mencoba proyektornya. Dia tidak ingin tiba-tiba saat dibutuhkan benda itu tidak berfungsi dengan baik. “Abigail, bagaimana tampilanku? Sudah pas?” Pertanyaan itu terdengar bersama tubuh yang sudah berdiri di belakangnya. Sontak Abigail bangkit dari duduknya kemudian berdiri menghadap Maxwell sebagai si pemilik suara.  Abigail melihat saksama kemudian memberi komentar setelahnya. “Uhm... anda kurang memakai dasi, Mr. Wilmer.” “Kau sudah menghafalnya. Bisakah kau memakaikan aku dasinya?” Maxwell menyodorkan dasi bergaris abu-abu bercampur biru tua kepada Abigail.  Secara perlahan, Abigail mengambil dasi yang belum terbentuk lalu mendekatkan diri pada Maxwell. “Baiklah, Mr. Wilmer.” Abigail mulai membuat ikatan dasinya pelan-pelan. Dia dapat merasakan deru napas Maxwell dalam posisi sedekat sekarang. Sesekali dia melihat Maxwell yang menampilkan senyum saat melihatnya. Sebenarnya dia tidak ingin menambah gosip dalam perusahaan yang mengatakan dirinya menjalin hubungan dengan Maxwell, tapi kalau bosnya meminta tolong, dia tidak mungkin menolak bukan?  “Ehem! Sepertinya aku mengganggu kemesraan kalian.”  Bertepatan dengan dehaman yang terdengar, Abigail telah selesai memakaikan dasi yang terbentuk sempurna dan kerah kemeja yang sudah dia rapikan dengan apik. Baik dirinya maupun Maxwell menoleh ke arah pemilik suara tersebut.  “Kau cemburu, Steve?” kekeh Maxwell seraya berjalan mendekati rekannya. Steve sudah duduk dan menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi. Dia mengambil gelas berkaki berisi air putih kemudian meneguknya. Setelah membasahkan tenggorokan yang kering, barulah dia kembali bersuara. “Mencemburuimu bukan hobiku. Di mana yang lain?” tanya Steve datar. “Mungkin sedang—” “Kami sudah datang, Steve. Tidak perlu khawatir,” potong seorang lelaki. Di belakangnya ada dua rekan bisnis lainnya. Maxwell berjabatan tangan dengan ketiga rekan bisnis yang baru saja datang. Mereka saling melempar senyum, sementara Steve sibuk membenarkan tata letak dasinya yang dia rasa kurang rapi.  Setelah selesai berjabatan tangan, Maxwell berjalan menghampiri Abigail lebih dulu sebelum duduk di tempatnya. “Abigail terima kasih atas bantuanmu memakaikanku dasi,” bisik Maxwell pelan. “Tidak masalah, Mr. Wilmer.” Sebagai seorang sekretaris, kehadiran Abigail sangat dibutuhkan saat rapat berlangsung. Dia bertugas mencatat semua hasil rapat. Ya, sekaligus cuci mata juga, mengingat kelima CEO termasuk Maxwell memiliki wajah yang enak untuk dia pandangi tanpa merasa bosan. “Abigail, tolong bagikan hasil laporan yang sudah kau buatkan.” Maxwell menoleh ke belakang, mengangguk sedikit memberi isyarat kepada Abigail untuk bangun dari tempat duduknya. Detik berikutnya Maxwell melanjutkan, “Kalian sudah mengenal Abigail sekretarisku bukan?” Semuanya mengangguk dan tersenyum bersamaan, terkecuali Steve dan salah seorang lelaki yang memiliki warna mata abu-abu yang memilih diam tanpa menunjukkan senyumnya.  Selama berdiri, Abigail dapat melihat dengan jelas wajah kelima CEO yang benar-benar memesona dan memanjakan mata. Semua perempuan di luar sana pasti menjerit jika melihat mereka berkumpul bersama seperti sekarang. Abigail melihat di seberang pada sisi sebelah kanan, ada Steve yang tampak begitu keren. Rahang tegas dengan sorot mata tajam serta dingin milik Steve membuatnya berdebar-debar. Tatapan Steve seolah memiliki hipnotis tersendiri. Sementara itu di sebelah Steve ada sosok yang tidak kalah tampan, Greg Jo Eckhart. Putra tertua Piere Eckhart yang memiliki perusahaan Eckhart International. Wajah tampan dengan lekukan lesung pipi pada setiap sisi serta bulu-bulu halus yang tumbuh pada sekitar dagunya menambah kesan manly. Jangan lupakan tinggi tubuh lelaki itu yang melebihi siapa pun di dalam ruangan rapat. Mata cokelat penuh kehangatan itu seolah memberikan kenyamanan jika menatapnya. Lalu di seberang kedua lelaki tampan itu, berada di paling pojok ada Ryvero Walton. Sebagai perwakilan Walton Inc. Putra dari Daisy Quinn Ackles dan Victor Walton menjabat sebagai CEO perusahaan yang cukup dikenal masyarakat luas. Sebagai salah satu pemegang saham di Ackles Enterprise, dia cukup kompeten karena kakaknya—Ezra dan para sepupunya menolak untuk menjadi CEO. Wajah kalem dan tampan, serta mata biru menggoda yang menyuguhkan banyak keindahan itu nampak menggetarkan hati. Suaranya sangat merdu saat menyanyikan sebuah lagu karena dulu Ryvero terkenal sebagai vokalis band kampusnya.  Lalu di sebelah Ryvero ada seorang lelaki tampan lainnya yaitu, Troy Edison Clark. CEO tampan perusahaan Clark Corp. Selain Steve, sosok Troy membuat Abigail mengakui bahwa lelaki itu sangat amat tampan. Sikapnya memang dingin, tidak banyak bicara, namun tidak seketus Steve. Troy memiliki rahang tegas, alis tebal rapi, serta mata berwarna abu-abu yang menarik perhatian. Tubuh atletis dan penuh otot terasa begitu menggoda untuk dipeluk. Pokoknya hari ini Abigail bersyukur mendapat suguhan kelima lelaki tampan yang dapat membuatnya senang sekaligus merasa perlu berhati-hati. Seperti alergi, setiap dia bertemu lelaki tampan maka kecerobohannya akan muncul dengan sendirinya. Maka dari itu, dia mencoba untuk membatasi dirinya agar tidak terlalu gugup supaya kecerobohan itu tidak muncul. Abigail berjalan pelan-pelan setelah puas memandangi kelima CEO penuh pesona. Dia memberikan sebuah laporan yang telah dia rampungkan menjadi kumpulan berkas yang tertata rapi. Sesaat akan berjalan melewati Troy, kakinya justru menginjak kaki lainnya sehingga Abigail tidak dapat menahan bobot tubuhnya. Secara refleks, Troy memegang lengan Abigail sehingga tidak sampai jatuh menyentuh lantai.  “Terima kasih, Mr. Clark. Maaf.” Abigail segera menarik dirinya kemudian membungkukkan badannya sebagai rasa terima kasih sekaligus maaf pada Troy. Troy menjawab singkat. “Ya.” Tidak lama kemudian Abigail kembali melangkah menuju Steve sebagai akhir dari pemberian berkas dalam genggamannya. Sialnya saat dia akan melewati Steve, dirinya tidak menyadari ada kaki Steve yang mengganggu jalan. Sehingga Abigail tidak dapat menyeimbangkan tubuhnya. Kali ini jatuh tidak dapat dia hindari.  Ada ringisan ‘ouch!’ yang keluar dari mulut Abigail setelah lututnya menghantam lantai. Steve yang melihatnya tertawa jahat. “Gunakan matamu saat berjalan, bukan lutut,” ucapnya meledek. Abigail menoleh pada Steve. Ingin rasanya dia mengutuk Steve namun, dia mencintainya. Dengan sakit yang mendera, dia segera bangkit dari jatuhnya sebelum Maxwell membantunya.  “Kau baik-baik saja, Abigail?” tanya Maxwell khawatir. Matanya beralih ke bawah, melihat lutut Abigail yang terlihat baik-baik saja. Beruntung lantai ruang rapat dilapisi oleh karpet sehingga tidak terlalu sakit saat terjatuh. “Saya baik-baik saja, Mr. Wilmer. Terima kasih sudah bertanya.” “Sekretarismu benar-benar ceroboh. Kalau dia bekerja di perusahaanku, maka aku sudah memecatnya,” celetuk Steve. Abigail mungkin samar-samar saat mendengarnya, namun dia menangkap ada kata pecat yang terucap. Dia merasa semakin ke sini sikap Steve jauh dari ekspektasinya. Padahal kakimu yang mengganggu jalanku, Mr. Angkuh! Menyebalkan sekali! Beberapa menit kemudian, rapat dimulai. Semua berjalan dengan baik dan lancar. Tidak ada kendala maupun perdebatan meskipun ada sedikit perbedaan pendapat. Setelah selesai, para pemegang saham masih berada di sana. Mereka berbincang sebentar sementara Abigail membereskan semua berkas miliknya. Abigail mematikan proyektor dan tanpa sengaja sikunya menyenggol gelas berkaki berisi air putih. Menyadari hal itu, dia buru-buru menoleh ke samping kirinya, mendapati air itu mengenai bagian celana Greg yang tengah berdiri di sampingnya. Ya Tuhan, Abigai! Mengapa kau ceroboh?! Abigail mengutuk kecerobohannya. “Oh, My God! I'm so sorry, Mr. Eckhart. Aku tidak sengaja—i'm so sorry.” Greg mengambil sapu tangan dari dalam saku celananya. Dia menarik senyum sabar. “Tidak masalah, Abigail. Santai saja, kau tidak sengaja.” Di seberang sana Steve melihat kejadian itu bersama Maxwell. Dia menertawakan kecerobohan Abigail yang tiada habisnya. “Kau sanggup memiliki sekretaris seperti itu. Kalau aku, tidak akan sanggup menampung manusia sepertinya,” ucap Steve tiba-tiba. Dalam hatinya dia keheranan sendiri mengapa Maxwell memilih sekretaris ceroboh seperti Abigail. Maxwell terkekeh pelan. “Sekali saja coba rasakan dia menjadi sekretarismu, pasti lucu. Dia cukup menggemaskan bukan? Justru kecerobohannya memberikan warna sendiri.” “Kau gila. Kecerobohannya menyebabkan semua berantakan. Beruntung semua kekasihku tidak sepertinya.” Maxwell menepuk pundak Steve lalu berbisik, “Siapa tahu kau akan jatuh cinta padanya.” “Jatuh cinta dalam mimpimu! Tidak akan. Dia bukan tipeku.” Steve menolak kalimat Maxwell. “Hati-hati saat kau bicara, Mr. Ackles. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Ingat itu.” Maxwell mengingatkan. Steve berdecak angkuh. “Memang. Tapi menjadikannya kekasihku, sangat mustahil. Jangan pernah mengatakan hal yang tidak akan pernah terjadi, Max.”  Maxwell tidak akan berkata apa pun lagi. Dia hanya menarik senyum tipis sambil berkata dalam hati. Tidak ada yang bisa menebak kapan kita jatuh cinta. Kita lihat saja nanti. ♥ ♥ ♥ [1] bintik-bintik cokelat pada kulit
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD