Chapter 1: How Can I Get Your Love?

1541 Words
Delapan tahun kemudian... “Kau b******k, Steve! Aku menyesal telah mengenalmu! Kau selingkuh dariku, lelaki sialan!” u*****n demi u*****n keluar begitu saja bersama tangan yang sudah mendaratkan satu tamparan keras di wajah Steve. Lelaki berumur dua puluh delapan tahun itu menyeringai seolah tidak ada masalah apa pun. “Kau baru tahu aku b******k?” “Cih! Aku pikir kau akan berubah, ternyata tidak! Enyah kau dari muka bumi!” Sekali lagi perempuan yang menunjukkan kemarahannya berusaha mendaratkan tamparan, namun gagal karena Steve lebih dulu menghentikannya. “Lebih baik kau pulang. Aku sudah bosan bersamamu.” Perempuan itu berdecak tidak percaya. Setelah mereka menghabiskan waktu bersama selama sebulan ini, Steve membuangnya begitu saja seperti barang yang tidak terpakai? Tanpa pamit, perempuan itu menarik diri karena harga dirinya sudah tercoreng. Seharusnya dia tahu dirinya hanya menjadi salah satu mainan Steve. Bodohnya rayuan maut lelaki itu mengacaukan pertahanannya. Setelah perempuan itu pergi, Steve duduk kembali di atas kursi ruang kerjanya. Belum ada setengah jam, seorang perempuan memasuki ruangannya. Dia melihat perempuan bertubuh ramping dengan pakaian terbuka yang menampilkan tiap lekukan indah pada tubuhnya, berjalan mendekat. “Baby! Aku merindukanmu!” Bukan suara perempuan sebelumnya melainkan perempuan baru dengan senyum yang mengembang. Tanpa aba-aba, perempuan berambut pendek sebahu itu duduk di atas pangkuan Steve. Steve menyambut kedatangan perempuan bernama Carmen sambil tersenyum miring. Perempuan yang memiliki bentuk tubuh seperti gitar spanyol itu adalah kekasihnya yang lain. Tangannya membelai bagian belakang punggung Carmen yang terbuka hingga membangkitkan gairah yang tertidur di dalam tubuhnya. “I miss the taste of your lips. My burberry taste,” balas Steve dengan kalimat manisnya yang selalu berhasil merusak pertahanan untuk menolak. Carmen tersenyum senang kemudian mendekatkan wajahnya pada Steve. Lambat laun wajah yang sudah mendekat itu menempelkan bibirnya dan meraup bibir yang ada. Keduanya berciuman dengan intens, bertukar saliva dan penuh gelora. Tangan nakal Steve bermain di belakang punggung Carmen hingga turun sampai batas b****g lalu meremasnya. Sementara Carmen semakin mendekatkan diri, mengalungkan tangan pada leher Steve yang terkenal sebagai good kisser. Tidak ada yang dapat menolak pesona Steve. Siapa saja perempuan itu, pasti akan bertekuk lutut dihadapannya. Jangan sebut julukan ‘The Playboy’ yang telah melekat pada Steve jika dia tidak bisa menaklukan hati seorang perempuan. ♥ ♥ ♥ Abigail Rosaline Smith—nama lengkap perempuan berparas cantik dengan mata sendu berwarna biru. Dia sempat bekerja di suatu perusahaan selama beberapa tahun namun akhirnya kena PHK masal karena perusahaan tersebut bangkrut. Satu tahun belakang Abigail mendapat pekerjaan sebagai sekretaris. Bukan sekretaris orang lain, melainkan sekretaris Maxwell Wilmer. Maxwell adalah CEO Audienco Company—perusahaan yang bergerak di bidang industri desain dan seni. Keluarga Wilmer pemilik museum kenamaan di London bernama Unigold Museum yang menyuguhkan beragam mobil tua koleksi mereka yang harganya fantastis. Kekayaan keluarga Wilmer tidak perlu dipertanyakan karena mereka masuk dalam jajaran keluarga terkaya di Inggris bersama keturunan Ackles. Seperti rutinitas setiap seminggu sekali, Abigail selalu menemani bosnya makan siang bersama salah satu rekan bisnis mereka. Bukan sembarang rekan karena yang sedang bersama mereka adalah Steve Lyan Ackles. Perlu diketahui, Maxwell termasuk salah satu pemegang saham di perusahaan Ackles Enterprise—tempat Steve menjabat sebagai CEO di sana. Tidak heran jika mereka sering menghabiskan waktu bersama untuk membahas bisnis atau sekadar berbincang santai. Abigail melahap daging panggang pesanannya secara perlahan. Bukan karena apa-apa, lebih mengarah pada kehati-hatian mengingat dirinya cukup ceroboh. Dia lebih banyak diam supaya tidak terlihat menyebalkan di mata Steve yang duduk berseberangan dengannya dan Maxwell. Persoalan dulu saat Steve menegurnya ketika bersama Rara, dia tidak tahu apakah Steve masih mengingatnya atau tidak. Karena dia tidak pernah mengobrol dengan Steve, hanya Maxwell saja. Kalaupun dia ikut berbincang dengan dua lelaki itu, hanya membahas seputar bisnis atau pertanyaan yang penting. “Oh ya, Abigail, apakah kau punya saran yang bagus untuk menginap di New York? Karena sepengetahuanku orangtuamu menetap di sana. Kebetulan Steve akan pergi ke sana minggu depan,” tanya Maxwell dengan nada lembut seperti biasa. Steve mengerutkan dahinya seolah tidak mengerti mengapa Maxwell menanyakan hal yang sebenarnya tidak pernah dia tanyakan. “Uhm... saya tahu hotel yang bagus di sana, Mr. Wilmer. Saya–” “Tidak perlu kau jawab. Aku tidak pergi ke sana,” potong Steve cepat dengan nada dingin seperti biasa. Kemudian dia menatap Maxwell tidak senang. “Jangan mempertanyakan hal yang bukan menjadi pertanyaanku, Max.” Maxwell terkekeh geli. Padahal dia hanya ingin bercanda, tapi Steve selalu menganggap kalimat ataupun pertanyaannya sebagai hal yang serius. Tidak ada denda kalaupun dia bertanya bukan? “Aku rasa kau akan tetap pergi ke sana, Steve. Keluargaku akan menyelenggarakan pembukaan hotel terbaru mereka di sana.” Maxwell memberitahu sambil melahap daging steak miliknya dengan santai. “Aku bingung kenapa keluarga–” “Baby!!” Suara Steve tertahan oleh pelukan pada lehernya sekaligus kecupan berulang kali di kedua pipinya. Steve menoleh ke belakang untuk melihat siapa pemilik suara tersebut. Sementara Maxwell dan Abigail sudah dapat melihat lebih dulu karena posisi mereka mengarah ke pintu. “Hey, Cassandra. Aku pikir kau tidak akan datang ke sini,” balas Steve seraya melepas pelukan perempuan itu kemudian bangkit dari duduknya. Dia menarik kursi sebelahnya yang kosong untuk perempuan cantik bermata cokelat. “Cassandra? Oh, kekasih barumu...” Maxwell menjeda kalimatnya setelah perempuan itu duduk. “... lagi?” lanjutnya. “Iya. Cassandra kekasih baruku,” jawab Steve sambil menarik senyum saat melihat kekasihnya. Sebenarnya Cassandra kekasih ketiga setelah Carmen. Berhubung Carmen tidak dapat menemaninya setelah pertemuan tadi pagi, maka Steve mengundang Cassandra. Entah sengaja atau tidak, hampir semua perempuan yang bersamanya memiliki nama dengan awalan huruf C. Maxwell hanya bisa tersenyum melihat Cassandra yang ikut menunjukkan senyum. Dia tidak akan bertanya lebih jauh mengenai kekasih baru rekannya. Dia sudah hafal dengan kebiasaan Steve yang senang gonta-ganti kekasih seperti mengganti pakaian dalam. Abigail tersenyum pahit melihatnya. Setiap mereka makan siang bersama, Steve selalu membawa perempuan berbeda. Kalau boleh jujur dadanya sesak. Dia sudah lama memendam rasa namun tidak pernah ada keberanian untuk mendekati atau mengungkapkan. Sudah berkali-kali Steve gonta-ganti kekasih yang tidak bisa dia hitung selama sering bertemu dalam satu tahun. Yang lebih menyakitkan ketika dia harus melihat Steve mencium pipi kekasihnya dengan mesra. Padahal dia selalu bersama Steve, namun rasanya lelaki itu tidak pernah menganggapnya ada. “Abigail?” Mendengar Maxwell memanggil namanya, Abigail segera menoleh ke samping kiri. “Ya, Mr. Wilmer?” “Tidak apa-apa, hanya ingin mengatakan kau cukup berantakan saat makan. Seperti biasa.” Kalimat itu berakhir bersama ibu jari Maxwell yang mendarat untuk menghapus sisa bumbu pada bagian atas bibir Abigail. Tanpa sepatah kata, Abigail tertegun memandangi wajah tampan bosnya yang memang tidak perlu dia ragukan lagi. “Ya ampun, mereka cocok sekali!” gumam Cassandra dengan nada yang cukup keras sehingga Abigail dan Maxwell dapat mendengarnya. Keduanya menoleh setelah Maxwell menarik ibu jarinya dari bibir Abigail. Hanya tertawa kecil–seperti itulah cara Maxwell menanggapi. Sementara Abigail, dia diam seraya menunduk sedikit karena malu. Kalau dikatakan senang mendengar kalimat itu, tentu Abigail senang. Ketampanan Maxwell yang memiliki wajah lebih kalem dengan alis tebal, mata cokelat muda, hidung bagai perosotan, dan kulit kecokelatan serta senyum menawan, tentu dapat memikat perempuan mana saja.  Tubuh tinggi layaknya model selalu terlihat keren mengenakan pakaian apa saja. Yang paling penting sikap hangat dan baik hati yang sudah menjadi ciri khas-nya. Tentu Abigail akan jatuh hati jika saja dia tidak menyukai lelaki playboy seperti Steve. “Maxwell tidak menyukai perempuan sepertinya, Sayang. Tipe Maxwell cukup tinggi makanya hanya berkencan sekali saja,” ucap Steve sambil tersenyum miring dengan nada meledek. Benar, Abigail tidak masuk dalam kriteria perempuan yang Maxwell sukai. Rekannya menyukai tipe perempuan berkulit kecokelatan, mata belo berwarna cokelat, serta tubuh tinggi menjulang seperti aktris ternama Gal Gadot. Sehingga wajar Steve mengatakan hal seperti itu. Abigail bukan tipenya jika dari segi fisik. Sangat jauh. Bahkan seujung jari pun tidak mendekati. batin Steve mengejek. Ucapan Steve dapat Abigail dengar dengan baik. Kalimatnya cukup menyakitkan. Dia tahu Maxwell tidak akan mungkin menyukainya dan dia tidak pernah mengharapkan hal itu. Tapi tidak bisakah Steve bicara lebih pelan atau berbisik tanpa dia harus mendengarnya? Maxwell mengusap puncak kepala Abigail kemudian berkata, “Kata siapa tipeku cukup tinggi? Abigail mendekati tipeku. Cantik, pintar, dan berbakat. Paket lengkap yang aku inginkan.” Urusan fisik mungkin Abigail tidak mendekati sama sekali, tapi untuk kepribadian Abigail cukup mendekati. Maxwell menyukai perempuan dengan sifat keibuan dan tidak neko-neko seperti pergi clubbing atau menjurus pada hal yang menyerempet bahaya. Sedangkan urusan otak yang pintar masuk dalam pertimbangan kedua. Karena fisik hanyalah yang terakhir bagi Maxwell. “Maxwell menyukai gadis itu, Sayang! Kau bohong soal tipe Max!” Setidaknya ada sosok yang selalu berbaik hati dan tidak pernah berhenti menghiburnya. Maxwell bosnya selalu berbuat demikian. Lelaki itu tidak ingin dia merasa tersakiti oleh kalimat yang cukup menyinggungnya. Abigail merasa bersyukur sekaligus berterima kasih. “Maxwell senang menghibur orang lain. Sudahlah, jangan mengurusi Maxwell. Dia bisa mengurus dirinya sendiri,” ucap Steve seraya membelai pipi Cassandra. Detik berikutnya, Steve mencium bibir mungil berlipstick merah itu. Untuk kesekian kali Abigail harus melihat pemandangan yang menyakitkan hatinya. Steve tidak pernah meliriknya meskipun dia ada di dekat lelaki itu. Caranya berucap saja sudah menyakitkan. Rasanya menjangkau lelaki itu sangat sulit. Apakah tidak ada cara lain untukku supaya kau melihatku, Steve? Bagaimana caranya aku mendapatkan cintamu? Mengapa sesulit ini menjangkau dirimu? ♥ ♥ ♥  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD