Bab 1

1092 Words
Seorang gadis duduk di tengah taman sambil menatap orang yang lewat. Ini pertama kalinya dia tidak pulang tepat waktu sejak berumur sepuluh tahun. Angin pun ikut menyapa dengan bersemilir menerpa rambutnya yang panjang itu. Dia adalah Varizen, gadis cantik berumur tujuh belas tahun. Di dalam hidupnya, kebahagian hanya semu belaka, tak tahu kapan itu diraih. Namun, ia masih berharap kalau Tuhan mengabulkan permintaannya. “Sampai saatnya tiba, aku akan pergi dari tempat itu.” Dimana tempat Varizen, jika ada burung yang terbang, selalu dipandangnya. Kebebasan seorang burung, terbang bebas di angkasa tentu menjadi impiannya sampai saat ini. Gadis itu menatap jam yang ada dipergelangan tangan. Enggan rasanya untuk beranjak pergi, tapi ia tak punya alasan lain untuk tidak pulang. Entah dorongan darimana, gadis itu jalan berlawanan arah. Kakinya melangkah keluar taman, tapi aranya bukan ke rumah, melainkan ke tempat lain. Gadis itu terus berajalan hingga sampai ke perpustakaan. “Jika aku membaca buku di perpustkaan pasti ayah tak akan marah. Varizen yakin kalau Berto tidak akan menghukumnnya karena berada ditempat yang jelas. Sampai di perpustkaan, ia mengambil beberapa buku di rak, di baca satu persatu hingga lupa waktu. Tiba-tiba, ada keributan di luar perpustakaan, Varizen yang semula tenang, kini terlihat pucat pasi. Gadis itu terkejut ketika melihat Jonny berada beberapa meter darinya. “Kenapa nona tak pernah menderngarkan tuan.” Pria itu berjalan mendekat, beberapa orang yang membaca memilih menjauh karena tahu siapa dia. “Apakah ayah mencariku?” tanya Varizen dengan takut. Sepertinya dia marah besar karena pulang terlambat. “Aku sedang bosan, jadi memilih membaca buku diperpustakaan. “Apapun alasannya, nona harus meninggalkan temat ini.” Begitulah Jonny, seorang abdi yang patuh, setia kepada Berto. “Aku akan pulang.” Jonny langsung menggiring Varizen keluar dari perpustakaan, menuju ke mobil hitam yang parkir di tepi jalan. “Masuklah dengan aman, Nona.” Jonny membuka pintu, tampa seorang pria berwajah tampan, seperti seorang pangeran. Tapi dimata Varizen, pria itu begitu menyeramkan. Lihat wajah dinginnya itu, bagaikan es yang tak pernah mencair. Varizen masih diam ditempat, tak berani masuk ke dalam mobil. Hingga akhrinya, pria yang ada di dalam mobil menariknya dengan kasar. “Kau bermain sampai lupa diri,” kata Berto tersenyum paksa. “I-itu,” Jawab Varizen sudah ketakutan. “Aku... perpus.” Berto mencengkeram dagu Varizen dengan erat. “Aku pernah bilang padamu, jangan membuang waktu dan segera kembali ke rumah. “Ma-af,” jawab gadis itu sambil meneteskan air mata. Berto mengelus sayang pipi gaadis itu. “Jika kau patuh, kau tak akan terkurung di loteng,” ancam Berto tanpa belas kasihan sama sekali. Varizen menggelengkan kepalanya dengan pelan, mengingat begitu sensara berada di loteng. Tempat gelap dan juga siksaan dari Berto yang taida henti. “Kau itu milikku... jangan menguji kesabaranku.” Tangan Berto mengepal, mengingat betapa jelalatan mata pria di luar sana. Pasti ada yang menatap Varizen penuh dengan nafsu, dan Berto tidak suka itu. Mengingatnya saja sudah membuat hatinya tercabik, tersayat tanpa terlihat. Cinta yang sudah dipendamnya, memang selalu saja menyakiti dan terus menyakiti. “Kembali ke rumah!” titahnya dengan nada tinggi. Varizen pun kaget, tambah ketakutan saat mendengar teriakan milik Berto. Begitu sampai di rumah, pria itu menyeret gadis tersebut dengan kasar. “Ayah...” panggil gadis itu sambil meringis kesakitan. Berto terus menyeretnya tiada henti, menuju ke lantai atap. Pria itu langsung memasukkannya ke dalam ruang sempit itu. “Renung kesalahanmu!” teriaknya dibalik pintu. Varizen diam meringkuk, memeluk lututnya sendiri. “Apa salahku?” isaknya tertahan. Tak lama kemudian, pintu terbuka kembali. Sosok Berto dengan wajah gelapnya membawa beberapa lembar foto. “Apa ini? Katakan padaku!” Foto itu dilempar tepat di depan Varizen dengan kasar. “Dia temanku. Apa yang ayah lakukan apdanya?” Di dalam foto itu, tampak Varizen dan siswa pria sedang berhadapan satu sama lain. Tapi di depan mata Berto, mereka sedang bermesraan. “Kau harus menjelaskan ini padaku.” Ketika Berto hendak melayangkan ikat pinggangnya ke arah Varizen, Sonara datang dengab tergopoh-gopoh. “Tuan..., Nyonya pingsan.” “Sialan!” Berto melempar ikat pinggang itu dengan asal, menyugar rambut ke belakang lalu merubah ekspresi wajahnya. “Kau urus dia. Aku akan menemui Felisia.” Berto berjalan menjauh, sedangkan Sonara masuk ke dalam ruang sempit itu. “Apakah nona baik-baik saja?” tanya Sonara dengan wajah penuh cemas. “Lakukan pekerjaanmu, jangan memperdulikanku.” Varizen melirik ke arah foto yang ada di lantai. “Saya akan kembali, tapi nona harus bertahan.” Sonara mengunci ruangan itu kembali, lalu balik badan dan terkejut melihat Jonny. “Apa yang kau lakukan disini?” tanya Sonara sambil mengelus dadanya yang kaget. “Aku hanya memastikan keadaan nona.” Jonny menatap pintu itu dengan wajah yang sulit diartikan. Belum beranjak dari tempat itu, suara sesuatu yang pecah menarik perhatian mereka. Segera Jonny bergegas menuju ke sumber suara. Begitu menuruni tangga, Berto sedang menatap Felisia yang baru bangun dari pingsannya. “Aku ingin kau dan aku punya anak.” Felisia mulai bangkit dari sofa meskipun rasa sakit kepala terus menyiksa. Berto diam, menatap gelas yang baru saja pecah. Dua orang pelayan langsung bergegas membersihkannya. “Kembalilah bekerja, karena banyak karyawan yang kau tanggung.” Berto berwajah tenang, damai, tanpa ekspresi sama sekali. “Tunggu aku malam ini.” Felisia pun bangkit, berjalan menuju ke laur rumah. Sedangkan Berto hanya menatapnya begitu saja. Karena si pengganggu sudah tak ada, Berto naik ke tangga dengan wajah merah yang meluap. Sayang sekali karena terburu-buru, ia melupalakan ikat pinggangnya. Langkah kaki pria itu pun menuju ke kamar dengan tergesa-gesa. Begitu mendapatkan sesuatu yang diinginkan, ponsel yang ada disakunya berbunyi. Wajah Betro yang menggelap, tambah gelap. Ada pesan yang dikirim oleh seseorang, mengenai proyek menguntungkan miliknya. “Kita ke perusahaan sekarang!” Berto memakai ikat pinggang itu dengan cepat. “Selalu saja seperti ini, padahal aku sangat ingin melakukan pelampiasan.” Tidak hanya sekali atau dua kali Berto mendaatkan pesan singkat mengejutkan. Beberapa bukan yang lalu saat mengurung Varizen, ia juga mendapatkan sebuah pesan. “Jika proyek ini gagal! Aku akan menghukum mereka semuanya!” Suara Berto menggelegar di udara hingga memantul. Jonny yang mendengar hanya diam menunduk, tak berani berkata apa-apa. Jika dilihat sekarang, sang tuan seperti singa yang tengah berkoar-koar. Untuk membungkam singa, maka dengan melakukan segala perintah yang keluar dari mulutnya. Begitu selesai memakai ikat pinggang, pria itu langsung bergega smenuju ke luar rumah. Dari tempat Variizen dikurung, terdengar suara deru mesin yang menyala. Gadis itu langsung bergegas menuju ke arah ventilasi udara untuk melihat siapa yang pergi. Melihat Berto pergi, ia bernafas lega. “Setidaknya aku bisa selamat untuk saat ini.” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD