Antara Cinta dan Uang

1994 Words
Hidup. Semua orang punya hak untuk hidup. Tapi, tidak semua orang memiliki hak untuk bahagia atas kehidupan yang mereka jalani. Seperti dia, sosok gadis menyedihkan yang kini berjalan lemas di bawah gerimis malam yang ia harapkan mampu menjadi pembasuh luka hatinya.   Ya, andaikan luka bisa dibasuh, mungkin itu akan lebih baik baginya. Bagi sosok Ayu Adiratna, yang menjadikan hujan sebagai teman untuk air matanya.   Kehidupan Ayu benar-benar kelabu, tidak ada warna lain selain putih dan hitam. Kesenduan terus-menerus menemaninya sejak sepuluh tahun berlalu.   Dulu, Ayu bukan gadis yang menyedihkan seperti ini. Dia sangat mudah mengurai senyumnya, membagikan kebahagiaannya untuk orang sekitar. Sempurna, itulah kehidupan Ayu sepuluh tahun silam. Namun, semenjak ayahnya meninggal sepuluh tahun lalu, kehidupan Ayu benar-benar berubah, semuanya menjadi gelap.   Ayu menghela napasnya pelan, sejenak sorot matanya bertumpu pada pintu rumahnya yang sejak dulu tidak pernah berubah. Berbeda dengan penghuninya yang kian hari kian berubah.   Dengan raut penatnya, Ayu membuka pintu rumahnya yang rasanya tidak pernah terkunci. Seperti biasa, suasana rumah itu akan selalu sepi, gelap, dan pengap.   Dua tahun yang lalu, sang ibu—Ratna Safitri—dia memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang pengacara asal Inggris, mirisnya sang ayah tiri tidak menyukai dirinya dan juga Ega—adik laki-lakinya yang sampai detik ini selalu menjadi parasit bagi kehidupannya.   “Ega?” panggil Ayu, dia tahu kalau adiknya itu ada di rumah, walaupun rumah itu terlihat gelap dan belum ada satu pun lampu yang dihidupkan.   Ega memang selalu seperti itu, yang ada dalam kamus hidupnya hanyalah makan, minum, dan tidur. Ah, ya. Satu lagi, pacaran.   Pria berusia 22 tahun itu sama sekali tidak pernah berniat untuk mencari pekerjaan, dia terlalu nyaman hidup dalam naungan peluh Ayu, yang selama ini tidak pernah bisa mengusirnya dari rumah, selain hanya bisa memberi Ega ceramah sepanjang rel kereta api.   Ayu mendengus kesal saat ia mendapati bau tidak sedap menguar di area dapur rumah yang terlihat sangat berantakan. Perempuan itu dengan sabar memunguti setiap sampah yang berserakan di sepanjang meja. Sampai kemudian, Ayu tidak sengaja melihat sesuatu yang ... tentu saja bukan miliknya. Sesuatu itu terlihat seperti barang pribadi milik seorang perempuan, tetapi Ayu yakin itu bukan miliknya.   Pikiran Ayu yang sudah bercabang pun lantas membuatnya dengan cepat bergerak menuju kamar Ega. Tepat di depan pintu kamar adiknya itu, Ayu mendengar suara yang sungguh tidak senonoh untuk ia dengarkan, walau faktanya dia adalah seorang wanita yang telah menginjak usia 24 tahun.   Suara wanita di dalam kamar Ega terdengar sangat jelas dan menjijikkan. Saking jelasnya, Ayu sampai merasa mual dan merinding mendengarnya.   Tak tahan mendengar suara menjijikkan itu, Ayu dengan cepat mendobrak pintu Ega yang mirisnya ternyata tidak dikunci oleh si empunya kamar.   “Sial,” gumam Ayu, pandangannya seketika itu beralih ke sembarang tempat, dia tidak mau menodai matanya karena melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia saksikan secara langsung.   “Mbak Ayu,” pekik Ega, tubuhnya seketika itu bergerak cepat membenarkan letak celananya.   “Kamu!” Ayu sulit berkata-kata, dadanya benar-benar terasa sesak untuk waktu yang cukup lama. Tingkah laku adiknya itu sungguh telah berhasil menerjang habis mentalnya.   “Mbak Ayu, aku bisa jelasin semuanya,” ujar Ega, ada goresan sesal yang terlukis di wajahnya. Ya, sebrengsek-brengseknya Ega pada Ayu, dia juga tidak mau melihat kakaknya itu kecewa padanya.   “Jelasin apa? Kamu mau jelasin kalau kamu udah jadiin rumah kita sebagai tempat perzinaan, begitu? Otak kamu di mana sih, Ga? Kalau dia sampai hamil, kamu mau ‘gimana tanggung jawabin dia, ha?! Kamu kerja aja enggak, kamu mau kasih dia makan apa?” oceh Ayu, yang benar-benar sudah sangat frustrasi dengan tingkah laku adiknya itu.   Ega tak menjawab, kepala pria itu tampak menunduk semakin dalam, raut wajahnya pun berubah gelisah. Dari gelagatnya, Ayu seperti merasakan ada sesuatu yang berusaha Ega sembunyikan darinya. Kening Ayu pun berkerut, memandangi Ega dengan tatapan penuh selidiknya.   “Aku minta maaf,” lirih Ega kemudian.   “Apa?” Ayu awalnya tampak bingung, tetapi tak lama kemudian ia seolah menyadari sesuatu. "Jangan bilang kamu ....”   “Iya, Siska udah hamil anak aku,” terang Ega, sama sekali tidak berani menatap Ayu yang sudah tercenung dalam keterkejutannya.   Ayu benar-benar syok, perempuan itu membeku di tempatnya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi, rasanya tenggorokannya itu baru saja di desak oleh sesuatu yang besar hingga membuat napasnya terasa sesak.   “Ega, bagaimana kamu bisa ....” Mata Ayu sudah berkaca-kaca, entah kenapa hatinya benar-benar terasa perih.   “Maaf,” lirih Ega, hanya kata itu yang dapat Ega lontarkan pada kakaknya.   “Keluar kamu dari rumah ini,” usir Ayu, menahan luapan amarahnya yang ingin sekali melempar kepala adiknya itu dengan sesuatu yang keras, tetapi Ayu tahu bahwa sekalipun dia membunuh Ega, semua itu hanya berujung sia-sia, karena nasi telah menjadi bubur. Dan kini, Ega harus bertanggung jawab pada sosok perempuan yang Ayu akui memang cantik. Ya, cantik, tapi sayang otaknya tak secantik parasnya.   Ayu sangat menyayangkan hal tersebut. Perempuan secantik Siska mau dihamili oleh adiknya yang pengangguran. Apakah cinta benar-benar buta? Ayu pikir begitu. Buktinya saja bukan hanya Ega, tetapi juga ibunya, yang tega meninggalkan anak-anaknya demi seorang pengacara asal Inggris itu.   Ega tampak menatap Ayu sendu. Ini pertama kalinya dia melihat kilatan emosi bersinar di mata kakaknya. Sebelumnya, sekalipun Ayu marah karena tingkahnya, perempuan itu tidak pernah terlihat semurka ini padanya. Dan Ega tahu, bahwa perbuatannya ini memanglah salah.   Tapi, apa yang bisa Ega lakukan? Dia sudah terlanjur masuk ke dalam jurang kegelapan. Bahkan, kini ia terus mendapat desakan dari orang tua Siska untuk segera menikahi wanita itu dengan mahar yang begitu tinggi.   Mirisnya, karena desakan itu, Ega justru mengambil jalan pintas yang penuh duri, hingga membuatnya tega melakukan sesuatu yang jauh lebih br*ngsek dari apa yang sudah dia lakukan saat ini.   “Ega Adimas.” Suara seorang pria terdengar menggema ke penjuru ruang.   Ayu menoleh, ia memandang empat pria bertubuh kekar yang tanpa permisi masuk ke dalam rumahnya. Kening Ayu seketika itu berkerut heran menatap ke empat pria itu. Ayu pun lantas beralih menatap Ega, yang ia pikir adalah alasan dari kedatangan empat pria yang terlihat seperti preman itu.   “Ga, kamu buat kesalahan apa lagi sekarang?” tanya Ayu.   Ega menggigit bibirnya sembari menatap Ayu dengan raut gelisah. “Maafin aku, Mbak Ayu. Aku terpaksa ngelakuin ini demi bisa nikahin Siska. Aku harus tanggung jawab ke Siska. Dan, ini semua juga demi Mbak Ayu. Karena nanti setelah Mbak Ayu nikah sama anak keluarga kaya itu, Mbak Ayu enggak perlu lagi capek kerja, hidup Mbak Ayu juga bakal terjamin,” terang Ega, yang justru membuat Ayu semakin tidak mengerti.   “Maksud kamu apa, Ega?” tanya Ayu, hatinya sudah merasa cemas dengan sesuatu yang ia pikir buruk.   “Aku ....” Ega ingin menjelaskan, tetapi ketika manik matanya beradu pandang dengan sorot sendu Ayu, Ega mengurungkan niatnya. Pria itu tak kuasa melihat kakaknya yang sudah pasti akan sangat kecewa padanya.   Ega lantas menatap ke arah empat pria di belakang Ayu yang masih menunggunya untuk menyelesaikan pembicaraannya dengan kakaknya itu.   “Bawa dia. Tidak ada lagi yang perlu kami obrolkan. Kalian bisa bawa dia sekarang,” ujar Ega sembari mengalihkan pandangannya dari Ayu.   Ayu yang mendengarnya pun tampak membeliak kaget. Kini ia dapat menebak, bahwa mungkin adiknya itu telah menjualnya demi lembaran uang agar bisa menikah dengan Siska.   'Berapa lembar rupiah yang sudah orang itu kasih ke kamu sampai kamu tega menjual kakakmu sendiri, Ega?!'   Batin Ayu benar-benar kalut. Hatinya sungguh teriris ngilu. Untuk kali keduanya dia merasa dibuang oleh seseorang yang ia anggap berharga. Dua tahun lalu, ibunya memilih pergi meninggalkannya demi seorang pria yang dicintai. Lalu sekarang, sang adik juga melakukan hal serupa. Bahkan dengan teganya Ega menukarnya dengan beberapa lembar rupiah demi bisa menikahi wanita yang dia cintai. Miris. Begitulah nasib Ayu saat ini.   “Ega, enggak, Ga. Aku ini kakak kamu. Ega, please, Egaaa ....” Ayu terus memberontak ketika tangan-tangan kekar itu membawanya keluar dari rumahnya secara paksa.   Teriakan Ayu bahkan sempat di dengar oleh tetangganya yang saat itu kebetulan berada di luar rumah. Namun, sepertinya keberuntungan tidak berada di pihak Ayu. Karena sebelum sempat tetangganya itu mengintip, Ayu sudah lebih dulu dibawa masuk ke dalam mobil. Perempuan itu bahkan kini diberi obat bius, hingga membuatnya pingsan tak sadarkan diri. ***   Ayu mengerjapkan matanya sesaat. Ia tampak mengernyit saat rasa pening terasa menerjang kepalanya kuat.   Untuk beberapa detik lamanya Ayu terdiam. Pandangannya beredar menatap sekitar. Kamar itu tampak luas, bahkan Ayu bisa melihat ada kamar mandi di pojok kamar tersebut, dan juga lemari besar yang mampu menampung puluhan pakaian.   Setelah cukup lama terdiam, Ayu kemudian teringat kembali dengan kejadian beberapa jam lalu. Dia ingat dengan jelas bagaimana dirinya dibawa paksa oleh empat orang pria yang tidak ia ketahui identitasnya.   Ayu pun seketika itu bangkit dari atas tempat tidur yang ia singgahi. Dengan cepat Ayu melangkah menuju pintu kamar tersebut. Ayu berniat untuk membukanya agar bisa keluar dari dalam sana. Namun, sayangnya pintu itu dikunci dari luar.   Ayu mencoba menggedornya, tetapi semua itu sia-sia. Siapa yang akan menolongnya? Ayu sudah terperangkap di dalam lubang neraka. Dia tidak akan pernah bisa lepas dari sana.   Tapi, rasa putus asa Ayu seketika lenyap saat ia melihat pintu kamar itu tiba-tiba terbuka lebar. Dari sapuan pandangnya, Ayu melihat seorang pria tampak berdiri di ambang pintu, dia memandang Ayu dengan raut ramahnya. Bahkan Ayu sampai tercenung menatap senyum ramah dari pria itu.   “Hai, a-aku ... ka-kamu masih ingat aku?” tanya pria itu. Dia Riki, anak tertua Pak Darma yang memiliki keterbelakangan mental akibat kecelakaan yang dialaminya beberapa tahun silam.   Ayu yang hanya peduli tentang keinginannya untuk kabur pun ia langsung pergi begitu saja dari hadapan Riki tanpa peduli untuk menanggapi pria itu.   Namun, sayangnya usaha Ayu  kembali berujung sia-sia, karena siapa yang menyangka kalau di luar kamar itu ternyata ada pria lain yang berdiri menatap Ayu tajam. Pria itu adalah Alvin, dia adik kandung Riki, yang merupakan anak kedua atau lebih tepatnya anak bungsu dari keluarga Pak Darma.   “Mau kabur?” tanya pria itu, nada suara benar-benar terdengar berbeda dari kakaknya. Suara berat Alvin terkesan sangat dingin dan menakutkan.   “Pak ... Alvin?” lirih Ayu. Ya, dia mengenali sosok Alvin sebagai atasannya, karena Alvin merupakan manajer cabang butik Edelweis, tempat di mana Ayu bekerja sebagai salah satu karyawan di butik tersebut.   “Oh, kamu kenal saya?” tanya Alvin, menatap Ayu dengan mata memicing penuh penilaian.   “Saya pegawai di butik Edelweis, Pak,” terang Ayu. “Pak, tolong keluarin saya dari sini. Saya mohon, Pak. Tolong bantu saya keluar dari sini,” pinta Ayu kemudian. Wajah perempuan itu tampak begitu memelas, memohon agar Alvin mau membantunya keluar dari sana.   Tapi, itu tidak mungkin. Apa yang Ayu lakukan saat ini seperti seseorang yang sedang meminta tolong pada anak singa. Ayu bukannya ditolong tapi justru akan menjadi bual-bualan mangsa yang empuk.   Alvin bahkan kini tampak menyeringai. Dia lantas melangkah maju mendekati Ayu, membuat Ayu mau tidak mau harus melangkah mundur dan kembali masuk ke dalam kamar tempatnya dikurung tadi.   “Kamu enggak akan pernah bisa keluar dari sini. Karena nanti malam kamu akan menikah dengan Kakak saya,” tukas Alvin, yang kemudian langsung memegang handle pintu kamar tersebut dan menutup pintu kamar itu rapat.   “Pak Alvin,” seru Ayu dari dalam sana. “Pak, tolong jangan seperti ini. Saya mohon lepaskan saya dari sini. Lepaskan saya.” Ayu terus memohon. Walau ia tahu usahanya itu tidak akan pernah membuahkan hasil.   Riki yang mendengar suara melas Ayu pun merasa kasihan, ingin rasanya pria itu membuka pintu kamar tersebut, tapi mengingat dirinya akan menikah dengan Ayu, rasa egois Riki yang sebelumnya tidak pernah ada pun kini tumbuh subur di dalam hatinya.   “Jangan merasa bersalah sama dia. Bukannya Kakak yang mau menikah sama dia? Kalau Kakak bukain pintunya, dia bakalan kabur. Tapi, kalau itu yang Kak Riki mau, silakan aja buka pintunya. Aku enggak akan larang Kakak,” tukas Alvin, yang seolah dapat membaca isi pikiran kakaknya itu.   Setelah berkata seperti itu, Alvin melangkah pergi dari hadapan kakaknya. Ia meninggalkan Riki yang masih menatap pintu kamar itu dengan perasaan bimbang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD