Ipar adalah Musuh

1194 Words
Satu minggu berlalu. Ayu kini tinggal di rumah Riki yang diberikan oleh mertuanya sebagai hadiah pernikahan mereka beberapa hari lalu. Tapi, Ayu tak hanya tinggal berdua bersama suaminya saja. Karena Alvin—pria berusia 25 tahun itu—memaksa untuk tinggal di rumah itu juga. Alasannya? Alasannya cukup membuat hati Ayu sedikit merasa jengkel. Pria itu berkata, dia tidak bisa membiarkan Riki hanya tinggal berdua bersama Ayu, karena mungkin bisa saja Ayu akan membunuh kakaknya ketika tidak ada orang lain yang mengawasi. Ayu mendengus sebal setiap kali mengingat perkataan tajam dari pria itu. Apalagi bukan hanya sekali dua kali saja Alvin mencibirnya, tapi hampir setiap kali bertemu, pria itu selalu melontarkan perkataan ketusnya pada Ayu. “Lo masak apa ngelamun sih? Pantes aja masakan lo enggak enak, masaknya aja enggak niat banget,” oceh seorang pria, siapa lagi kalau bukan Alvin Saputra. “Masakan Ayu enak kok. Kemarin siang aja adek nyariin makanan buatan Ayu,” sahut pria lain, suami Ayu yang selalu menjadi tameng pelindung perempuan itu. “Dih, siapa yang nyariin makanan buatan dia. Kemarin itu aku kelaperan dan ternyata istri Kakak enggak masak. Istri macam apa sih yang enggak sediain makan siang buat suaminya,” tukas Alvin. Pria itu lantas duduk di kursi makan. Dengan santai ia menunggu sarapannya terhidang di atas meja. Ayu menghela napasnya pelan, tanpa menoleh ia memberanikan diri untuk menjawab perkataan pedas dari iparnya itu. “Maaf, Pak Alvin. Saya ini istrinya Mas Riki, bukan istrinya Pak Alvin. Jadi, kalau Pak Alvin pengen makan siang, makan siang aja di luar, atau Bapak cari istri yang pinter masak biar ada yang masakin Bapak kapan pun Pak Alvin mau.” Ayu berkata tanpa menoleh. Alvin yang mendengarnya merasa terhina, ia sebagai pria lajang merasa tersindir dengan perkataan Ayu barusan. “Kenapa lo jadi sewot? Lo ‘kan istri kakak gue,” balas Alvin, tak mau kalah apalagi mengalah. Ayu memutar balik tubuhnya, perempuan itu kini menatap lurus ke arah Alvin yang terlihat masa bodoh dengan raut kesal yang Ayu tunjukkan padanya. “Saya emang istrinya Mas Riki, tapi bukan berarti saya istri Pak Alvin juga, ‘kan? Kewajiban saya cuma ada pada Mas Riki, bukan sama Bapak. Bapak hanya sekedar ipar saya. Dan dalam agama saya, ipar itu seperti kematian, harus hati-hati,” tandas Ayu, yang sepertinya berhasil membuat Alvin skakmat. “Lo ngehina gue?” tuding Alvin. Ayu mengalihkan pandangannya. Dia sepertinya baru saja sadar kalau dirinya telah melampaui batasan emosinya. “Maaf kalau saya kelewatan,” lirih Ayu, tapi sama sekali tidak menunjukkan raut penyesalannya. Alvin mendengkus kesal, bahkan saking kesalnya ia langsung bangkit dari duduknya dan melenggang pergi tanpa berkata apa-apa lagi. “Ayu enggak pa-pa?” tanya Riki, setelah Alvin pergi dari sana. “Enggak pa-pa, Mas,” jawab Ayu, suaranya terdengar pelan. Dia sangat menghormati suaminya. Walaupun Riki memiliki kekurangan pada intelektualnya, tetapi Ayu tetap menghargai Riki dengan sikap lemah lembutnya. “Maafin aku ya, Mas. Seharusnya tadi aku enggak terlalu kasar sama Pak Alvin, karena ‘gimanapun juga dia tetap adik kandungnya Mas,” lirih Ayu, menundukkan kepalanya karena takut kalau mungkin suaminya itu akan marah padanya. Walau faktanya Riki sama sekali tidak pernah menunjukkan amarahnya pada Ayu setelah satu minggu usia pernikahan mereka. Riki menggelengkan kepalanya. “Enggak, Ayu jangan minta maaf. Ayu enggak salah. Tapi, Ayu jangan benci sama Alvin, ya? Ayu mau ‘kan maafin sikap Alvin yang sering ngomelin Ayu?” tuturnya. Ayu tersenyum mendengarnya. “Iya, Mas. Aku enggak akan benci sama Pak Alvin kok. Mas tenang aja,” ucap Ayu, sekalipun ia tidak dapat menjanjikan penuh hal itu. “Makasih.” * Muka Alvin terlihat masam. Pria itu bahkan dengan sangat terang-terangan menutup pintu butik dengan sangat kasar. Semua pegawai yang melihat raut wajah Alvin seketika itu merasa enggan untuk menyapa. Mereka merasa seperti ada seekor singa yang baru saja masuk ke dalam butik. Aura mencengkam bahkan terasa menguar pekat di dalam sana. “Cowok bisa menstruasi enggak sih?” bisik salah seorang pegawai sembari membelangi sosok Alvin yang terus melangkah menuju ruangannya. “Ya enggak lah. Lagian pertanyaan kamu aneh banget,” komentar pegawai satunya, yang lebih memilih untuk sibuk menyelesaikan pekerjaannya. “Kamu lihat deh ekspresi wajah Pak Alvin. Ekspresi wajahnya tuh mirip banget kayak perempuan yang lagi menstruasi hari pertama. Kamu tahu ‘kan ‘gimana rasanya? Disenggol dikit aja udah pengen banget nyabut jantung orang,” katanya, tanpa tahu kalau orang yang ia gunjingkan itu sejak tadi sudah berdiri di dekatnya. “Pegawai yang biasanya suka gosipin atasannya biasanya enggak lama lagi bakal dapet surat peringatan atau ....” Mendengar suara itu, si pegawai wanita langsung terbeliak kaget, tubuhnya pun merespons cepat, ia menghadap ke arah Alvin untuk segera meminta maaf. “Saya minta maaf, Pak Alvin,” kata si pegawai itu, kepalanya menunduk di hadapan Alvin yang berdiri tak jauh darinya. “Saya enggak bermaksud ngomongin Pak Alvin. Saya beneran minta maaf, tolong jangan pecat saya, Pak,” pintanya. Alvin tersenyum miring. “Saya juga minta maaf karena saya enggak bisa satu kerjaan sama orang yang enggak suka sama saya, apalagi sampai gosipin saya,” tukasnya. “Pak Alvin, tolong jangan pecat saya, Pak. Saya minta maaf. Saya mohon maafkan saya, Pak.” Wanita itu sampai rela berlutut dan mengorbankan harga dirinya demi bisa mempertahankan pekerjaan yang sudah ia lakoni selama lima tahun penuh. “Setiap orang pernah berbuat salah, apa susahnya Pak Alvin kasih Maria kesempatan sekali lagi? Lagian Maria udah sampai rela berlutut kayak ‘gitu. Pak Alvin yang lahir dari keluarga kaya mungkin enggak akan pernah tahu ‘gimana rasanya kami yang ada di sini berjuang mati-matian demi lembaran uang yang bahkan belum tentu buat kami semua bahagia,” sahut suara lain, Ayu. Perempuan itu memang paling tidak suka jika melihat orang lain mendapatkan perlakuan yang bertentangan dengan hak asasi manusia. “Ayu,” lirih Sarah, yang tidak ingin melihat Ayu ikut terseret dalam masalah yang sedang terjadi. Alvin menatap Ayu dengan raut penuh kebenciannya. Ia sangat tidak suka melihat Ayu di saat emosinya sedang berada di puncak ubun-ubun. Karena perempuan itu selalu berhasil membuatnya meledak kapan saja. “Kamu itu udah datengnya terlambat, sekarang mau ceramahin saya? Pegawai macam apa kamu ini?” oceh Alvin. Tapi, Ayu justru menanggapinya dengan sangat santai. Bahkan semua orang yang ada di butik tidak menyangka kalau Ayu yang dulunya sangat hormat pada atasan, kini justru terlihat seperti pembangkang. “Saya enggak akan datang terlambat kalau saja suami saya tidak meminta saya untuk membawakan bekal untuk Anda,” terang Ayu tanpa menyebutkan ikatan hubungan suaminya dengan Alvin. Setelah berkata seperti itu, Ayu melangkah mendekati Alvin, lalu ia memberikan bekal buatannya itu pada sosok Alvin yang tampak terdiam di tempatnya. “Tidak perlu berterima kasih,” ujar Ayu sembari menguarkan aura permusuhannya. “Saya akan kembali bekerja, permisi,” ucapnya, yang kemudian beralih mendekati Maria, ia membantu Maria berdiri dan membawa Maria pergi dari hadapan Alvin. “Kamu enggak perlu takut. Pak Alvin udah maafin kamu kok,” kata Ayu sembari melirik ke arah Alvin yang sama sekali tidak menyanggahnya. “s**t,” umpat Alvin, pelan. Pria itu merasa kalah telak dari sosok perempuan yang mulai detik ini masuk dalam daftar buku hitamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD