Alvin dan Riki

1523 Words
Ayu membuka pintu rumahnya perlahan, hari ini ia pulang terlambat, bukan hanya terlambat tapi sangat-sangat terlambat, hingga membuatnya harus melangkah mengendap-endap masuk ke dalam rumah suaminya itu. “Dari mana saja kamu?” Suara itu tiba-tiba menggema, menghapus kesunyian yang sebelumnya menyelimuti penjuru ruangan. Ayu sontak langsung menoleh, mengarahkan pandangannya pada sosok pria yang saat ini berdiri tak jauh dari pintu rumah yang belum lama tadi Ayu tutup rapat. “Pak Alvin,” lirih Ayu, entah kenapa ia merasa seperti baru saja ditangkap basah karena melakukan kesalahan besar. Ya, faktanya memang seperti itu. “Kamu tahu enggak sekarang jam berapa?” tukas Alvin, tangannya sudah bersedekap di depan dad*, sorot matanya bahkan tampak menatap Ayu tajam. Ayu melirik jam tangan lawasnya sekilas, kemudian kembali menatap Alvin dengan sedikit rasa takutnya. “Jam sepuluh malem. Tapi, Pak. Saya bisa jelasin kenapa saya pulang telat—” “Jam sepuluh malem,” sela Alvin. “Kamu pulang jam segini tanpa kasih kabar ke suami kamu kalau kamu pulang telat. Bagus, ya. Kamu anggep suami kamu itu apa, ha?!” sergahnya, raut wajah pria itu terlihat sangat emosi. Ayu langsung menundukkan kepalanya, kini ia sama sekali tidak berani beradu pandang dengan iparnya itu. “Maaf, Pak. Saya ....” “Mau kasih alasan?!” potong Alvin, Pria itu kemudian melangkah mendekati Ayu yang kini semakin cemas lantaran Alvin terlihat seperti sosok psikopat yang siap membunuhnya kapan saja. “Pak, saya ....” “Kamu enggak menghormati kakak saya sebagai suami kamu, ya?” tuding Alvin, telunjuknya sudah bergerak menampar mental Ayu yang masih diam tak berani melawan. Ayu hanya bisa diam ketika ia diperlakukan dengan sangat tidak baik oleh iparnya itu. “Kamu itu enggak tahu diri, ya,” hina Alvin, memandang Ayu begitu rendah. “Alvin.” Suara lain terdengar menginterupsi. Itu adalah suara Riki. Alvin yang tadinya sibuk mengintimidasi Ayu, kini ia menoleh ke arah Riki yang tampak berdiri di ujung tangga. “Kak Riki,” lirih Alvin, menatap Riki yang sudah berjalan mendekati adik dan dan istrinya itu. “Kak Riki enggak usah khawatir, biar perempuan ini aku yang didik dia,” katanya, bersikap seolah dia adalah pahlawan untuk kakaknya. Riki berdiri tepat di dekat Ayu yang masih menundukkan kepalanya takut. Istrinya itu tampak tidak berdaya dan hanya bisa pasrah dengan perlakuan apa pun yang dilemparkan padanya. Melihat Ayu yang tampak begitu melas, membuat Riki tidak tega menatapnya. “Angkat kepala kamu, Ayu,” suruh Riki, nadanya suaranya sangat lembut, berbeda dengan adik laki-lakinya yang selalu berbicara dengan suara tegas dan mencengkam. “Mas, aku minta maaf udah pulang telat tanpa kasih tahu kamu. Aku bisa jelasin ....” “Enggak ada yang perlu kamu jelasin. Semuanya udah jelas, kamu itu emang enggak ada niat mau jadi istri yang baik buat kakak saya,” tukas Alvin, masih sibuk memarahi Ayu yang padahal sudah mengakui kesalahannya dan mungkin saja Ayu memiliki alasannya sendiri, kenapa dia pulang sampai selarut ini. “Alvin, kamu enggak berhak bicara kasar seperti itu ke Ayu,” kata Riki tiba-tiba. Riki yang sebelumnya tidak pernah marah pada Alvin, kini pria itu justru terlihat sangat berbeda. Bahkan Alvin sempat berpikir kalau kakaknya itu adalah pria normal yang bisa saja memberikan tinjuan keras padanya. “Kak Riki.” Alvin bersuara lirih dengan raut herannya. Dia benar-benar merasa melihat kakaknya itu seperti orang yang berbeda. “Ayu itu istriku. Bukan istri kamu. Jadi yang berhak didik Ayu itu aku, bukan kamu. Dan kamu enggak punya hak buat marahin Ayu,” tandas Riki, masih terbalut emosi hingga membuat cara bicaranya terdengar sangat fasih dan benar-benar berbeda. “Tapi, Kak. Kalau Kakak enggak tegas sama dia. Dia bisa jadi istri enggak bener nanti,” komentar Alvin, mengutarakan pandangannya. “Ayu itu istriku. Dan aku percaya sama Ayu,” ujar Riki, yang kemudian langsung menarik tangan Ayu agar istrinya itu lekas menjauh dari hadapan adiknya. “Ayo ke kamar. Ayu enggak usah dengerin omongan Alvin,” katanya. Alvin mengembuskan napasnya kasar melihat Ayu sudah dibawa pergi oleh kakaknya. Alvin berpikir kalau kakaknya itu terlalu bersikap lunak pada istrinya yang bisa saja menjadi benalu bagi kehidupan Riki. “Penyihir sialan,” komentar Alvin sembari menatap tidak suka pada siluet Ayu yang sudah lenyap di balik tangga. Sejak dulu, Alvin memang suka sekali berprasangka buruk terhadap orang lain yang belum lama ia kenal, apalagi terhadap seorang wanita. Di dalam isi kepala Alvin, semua orang yang ingin dekat dengannya hanya akan menjadi parasit bagi kehidupannya. Termasuk wanita yang ia pikir mendekatinya hanya karena wajahnya yang rupawan dan hartanya yang melimpah ruah. Pemikirannya itulah yang membuat Alvin tumbuh menjadi laki-laki dingin, arogan, angkuh, dan benar-benar tidak tersentuh. Bahkan, sekalipun banyak wanita yang mendekatinya, tidak ada satu pun dari mereka yang mampu menjinakkan hati Alvin, kecuali sosok cinta pertama Alvin—yang sejak beberapa tahun lalu menghilang tanpa kabar. * Ayu mengembuskan napasnya berat, pandangannya kini tertuju pada langit malam yang tampak begitu pekat. Perempuan itu berdiri di balkon kamarnya, menikmati semilir angin malam yang terasa dingin, ditemani rintik air hujan yang mengguyur sejak beberapa saat lalu. Dalam lamunannya yang terasa panjang, Ayu sibuk memikirkan banyak hal. Semua yang telah dia lalui terputar bagai sebuah film melodrama. “Ayu,” panggil Riki, yang membuat Ayu langsung menoleh padanya. “Kenapa dari tadi Ayu berdiri di situ? Ayu lagi sedih, ya? Ayu marah?” tanyanya. Ayu tersenyum tipis. Sekalipun hatinya sedang kelabu, Ayu tidak mungkin menunjukkan rasa sedihnya itu pada Riki, suaminya. “Aku enggak pa-pa kok, Mas. Aku cuma lagi pengen lihat langit aja,” kata Ayu, tidak sepenuhnya berbohong. Karena melihat langit adalah cara tersendiri bagi Ayu untuk meredam segala rasa gundah yang membuai hatinya. Riki diam sejenak. Tapi tak lama kemudian pria itu melangkah mendekati Ayu, ia lantas berdiri di samping Ayu dan ikut memandang langit malam yang tampak seperti ruang gelap yang begitu luas. “Perkataan Alvin tadi ... pasti udah bikin hati Ayu sedih, ‘kan?” tanya Riki, tanpa menoleh ke arah Ayu yang justru menatapnya lekat. “Enggak kok, Mas. Lagian aku emang salah. Enggak seharusnya aku pulang selarut ini tanpa kasih tahu kamu. Aku minta maaf, Mas,” ujar Ayu, menatap Riki dengan raut menyesalnya. “Aku juga minta maaf karena mungkin udah buat Mas berpikir kalau aku enggak menghormati Mas sebagai suami aku. Tapi, kalau aku boleh minta kepercayaan Mas Riki. Aku berharap Mas Riki percaya kalau aku bener-bener menghormati Mas sebagai suami aku,” terangnya. “I-iya. Riki tahu kalau Ayu pasti punya alasan kenapa pulang telat,” kata Riki. “Riki juga enggak akan tanya alasannya apa, tapi Riki percaya kok sama Ayu,” lanjutnya, yang semakin membuat Ayu merasa terharu dengan sikap suaminya itu. “Mas, kamu tahu enggak? Aku beneran bersyukur punya suami yang baik banget kayak kamu, Mas. Mas Riki bisa ngertiin aku tanpa aku minta, Mas selalu lembut sama aku. Padahal selama ini ... setelah Bapak meninggal, aku selalu ngerasa enggak ada orang yang peduli sama aku. Tapi sekarang, aku enggak perlu sedih lagi, karena aku punya Mas yang peduli sama aku,” urai Ayu, mencurahkan isi hatinya, Riki tersipu mendengarnya. Pria itu kemudian menoleh menatap Ayu, lalu ia melangkah maju mendekati istrinya itu dan merengkuh tubuh Ayu dalam kehangatan. “Ayu jangan sedih lagi, ya. Riki janji, Riki bakal selalu peduli sama Ayu,” kata Riki, yang hanya bisa mengutarakan sedikit kata dari banyak kata yang ingin ia utarakan pada sang istri. “Makasih, Mas,” gumam Ayu dalam pelukan Riki yang membuatnya merasa sangat nyaman. Riki, jika saja dia tidak mengalami kecelakaan yang membuat kepalanya tak bekerja dengan baik, mungkin saja pria itu sekarang sudah menjadi primadona di kalangan wanita lajang. Riki memiliki wajah yang tampan, bahkan Alvin bisa dikatakan kalah tampan dengannya. Tubuh Riki juga tinggi, dan menjulang lebih tinggi lima sentimeter dari Alvin. Perawakan Riki benar-benar sempurna untuk kategori pria idaman. Hanya saja dia memiliki kekurangan yang kebanyakan wanita langsung berpaling darinya. IQ-nya yang rendah, membuatnya kesulitan berbaur dengan orang dewasa normal. Bahkan, sebelum Riki akhirnya menikah dengan Ayu. Pria itu sudah berulang kali dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan banyak wanita cantik di luar sana. Hanya saja, mereka semua langsung kabur setelah melihat bagaimana mental Riki yang tidak begitu normal. “Makasih juga buat Ayu karena mau jadi istri Riki,” ucap Riki, setelah diam beberapa saat karena harus merangkai kalimat yang ingin ia lontarkan pada Ayu. Ayu tersenyum dalam pelukan Riki, ia bahkan secara sadar mengulurkan tangannya dan merengkuh tubuh suaminya itu erat. Ayu mencoba melupakan segala rasa sedihnya dengan sibuk mencari kenyamanan dalam kehangatan yang Riki berikan padanya. * Alvin menghela napas pelan, pria itu kemudian meletakkan foto yang sempat ia pandangi selama beberapa saat lamanya. Setelah meletakkan foto tersebut ke atas nakas, Alvin lantas merebahkan tubuhnya ke tempat tidur, merehatkan seluruh badannya yang belakangan ini terasa lelah. Tatapan Alvin kini bertumpu pada langit-langit kamarnya yang tampak gelap bagai langit malam yang saat ini tengah mengguyurkan hujan deras. “Andai saja waktu bisa diputar, aku ingin kembali ke masa lalu dan membuat kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi,” lirih Alvin, yang perlahan menutup matanya dan tertidur lelap setelah efek obat tidur yang ia minum beberapa saat lalu mulai bekerja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD