"Pagi itu, Maya duduk di bawah pohon ketapang dekat taman sekolah. Di pangkuannya terbuka buku sketsa yang sudah mulai penuh dengan coretan dan warna. Angin semilir menyapu pipinya, membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Ia tersenyum kecil sambil membiarkan pensilnya bergerak bebas, menggambar siluet anak-anak kecil yang berlarian sambil tertawa riang!
Sudah seminggu sejak kepulangannya dari Jakarta. Suasana sekolah memang tidak banyak berubah, tapi bagi Maya, semuanya terasa lain. Guru-guru mulai lebih sering mengajaknya bicara, dan kepala sekolah bahkan sempat mengundangnya untuk ikut rapat tentang kegiatan seni tahunan. Siska dan Raka kini seperti keluarga kecil baginya, selalu ada di sisinya, tak peduli hari sedang cerah atau kelabu!
Namun yang paling membuat Maya bahagia adalah perubahan dalam dirinya sendiri. Ia merasa lebih teguh, lebih yakin, dan yang terpenting, lebih berani menerima siapa dirinya. Suara-suara kecil yang dulu menakutinya kini hanya menjadi bisikan yang tak bisa menggoyahkan langkahnya!
Ketika bel masuk berbunyi, Maya berdiri, merapikan kertas-kertasnya dan berjalan menuju kelas. Tapi sebelum masuk, suara yang tak asing mengejutkannya.
“Maya!”
Ia menoleh dan melihat seorang guru dari sekolah lain berdiri di gerbang, membawa map besar dan senyum lebar. Maya menghampirinya dengan rasa sedikit bingung.
“Namaku Bu Intan, aku dari SMP Pelita Bangsa. Kami dengar tentang pameranmu di Jakarta. Anak-anak kami sangat terinspirasi. Kami ingin mengundangmu mengisi kelas seni minggu depan. Boleh?”
Maya sempat terdiam. Ia bukan guru, hanya remaja yang baru belajar bicara di depan umum. Tapi mata Bu Intan penuh harapan. Di balik rasa gugupnya, Maya tahu ini adalah tantangan baru yang tak boleh ia tolak!
“Boleh, Bu. Saya akan coba,” jawabnya pelan tapi mantap!
Bu Intan mengangguk senang. Mereka bertukar kontak, dan Maya melangkah ke kelas dengan hati yang ringan. Di dadanya, ada rasa hangat tumbuh. Ia belum tahu seperti apa nanti, tapi ia siap belajar.
Hari-hari berikutnya diisi dengan persiapan. Maya membuat catatan kecil tentang apa yang ingin ia ceritakan: bagaimana ia mulai melukis, rasa takut yang diam-diam menjadi sahabat, dan bagaimana menemukan kekuatan dari hal-hal kecil. Ia juga menyiapkan beberapa karya lamanya untuk dipamerkan kepada siswa.
Minggu berikutnya, Maya dan ibunya pergi ke SMP Pelita Bangsa. Sekolah itu tidak besar, tapi penuh warna. Dindingnya dihiasi mural anak-anak, dan ruang seni dipenuhi karya yang penuh semangat. Saat Maya masuk kelas, puluhan mata memandanginya dengan penasaran dan kagum.
“Nama aku Maya,” katanya dengan suara lembut. “Aku dulu takut menunjukkan siapa diriku. Tapi sekarang aku di sini, bukan karena aku sempurna, tapi karena aku belajar menerima kekuranganku.”
Anak-anak mendengarkan serius. Ada yang mengangguk, ada yang tersenyum. Saat Maya menunjukkan lukisannya—termasuk gambar seorang gadis dengan cahaya di dadanya—beberapa anak menatap dengan mata berkaca-kaca.
Seorang anak laki-laki di barisan belakang mengangkat tangan. “Kak, aku suka gambar, tapi teman-temanku sering bilang itu nggak penting. Gimana supaya kita nggak nyerah?”
Maya menarik napas. “Kita semua butuh waktu untuk percaya pada diri sendiri. Kadang kita harus berjalan sendiri dulu. Tapi nanti kita akan bertemu orang-orang yang mengerti. Dan itu sudah cukup!”
Kelas hari itu berakhir dengan tawa dan tepuk tangan. Banyak anak mendekatinya, menunjukkan gambar mereka, meminta saran, atau sekadar mengucapkan terima kasih. Maya pulang dengan hati yang penuh.
Malamnya, saat ia duduk menggambar di ruang tamu, ayahnya datang membawa sebuah bingkai foto kayu kecil yang dibuatnya sendiri. Ia meletakkan bingkai itu di depan Maya—di dalamnya foto Maya saat berdiri di galeri pameran di Jakarta, tersenyum di samping lukisannya.
“Ini... untuk kamu. Supaya kamu ingat kalau kamu pernah membuat kami bangga,” kata ayahnya singkat.
Maya nyaris menangis. Ia memeluk ayahnya tanpa kata.
Hari-hari berikutnya semakin padat. Undangan dari sekolah lain datang. Guru seni mulai merancang kegiatan seni antar sekolah dan mengangkat Maya sebagai perwakilan. Ada juga surat dari kampus seni di Bandung yang menawarkan beasiswa jika Maya lulus dan ingin melanjutkan studi.
Sore itu, Maya duduk di beranda rumah menatap langit senja. Di sampingnya, adiknya serius mewarnai. Ia bertanya, “Kak, kenapa Kakak suka gambar?”
Maya tersenyum. “Karena saat menggambar, aku merasa bebas. Aku bisa jadi apa saja. Dan itu membuatku merasa cukup.”
Adiknya mengangguk pelan dan kembali menggambar. Maya menatap langit yang mulai berubah warna. Ia tahu ini baru awal. Masih banyak tantangan menanti. Tapi kini, ia tak ragu lagi. Ia tak butuh dunia mengerti, yang penting adalah keyakinan untuk terus melangkah.
Dan keyakinan itu kini sudah menjadi cahaya!
Cahaya yang tak lagi redup di sudut hati. Kini menyinari langkah-langkah kecil yang dulu ia takutkan. Maya tersenyum, menyentuh buku sketsanya, membuka halaman kosong, dan mulai menggambar wajah adiknya yang serius mencoret kertas.
Ia menambahkan bayangan lembut di sisi wajah, menyisipkan garis cahaya di sekitar tubuh sang adik—seolah sinar itu datang dari dalam dirinya sendiri. Sama seperti lukisan dirinya dulu.
“Suatu hari nanti, kamu juga akan bersinar,” bisik Maya pelan.
Hening. Tapi bukan sunyi yang menyedihkan. Ini hening yang tenang, seperti hati yang tak lagi gemetar saat memikirkan masa depan.
Malam mulai turun. Di luar, suara jangkrik bersahutan. Di dalam, Maya masih melukis, dan adiknya tertidur dengan kertas gambar menempel di pipi. Ibu lewat, menyelimuti mereka, lalu tersenyum melihat kedua anaknya begitu damai.
Malam itu, Maya menulis satu kalimat kecil di bawah lukisan barunya:
“Cahaya tak selalu datang dari luar. Kadang, kita sendiri yang jadi sumbernya.”
Maya menutup bukunya perlahan.
Besok, cerita baru menanti. Dan ia siap menyambutnya.
Ia tahu mungkin ada hari-hari penuh keraguan, tapi kini ia tidak sendirian. Ia membawa semua dukungan, luka, tawa, dan harapan yang pernah mengiringi langkahnya. Dan itu sudah cukup. Maya siap, bukan untuk sempurna, tapi untuk terus tumbuh.
Ia melangkah pelan ke meja belajar, mem
buka buku sketsa, dan menggambar—karena di sanalah jiwanya berbicara!
Ia melangkah pelan ke meja belajar, membuka buku sketsa, dan menggambar—karena di sanalah jiwanya berbicara!
Tangannya bergerak lembut, membentuk garis-garis yang belum selesai, namun penuh harapan. Ia menggambar bunga yang tumbuh di antara retakan tanah, lalu matahari kecil di sudut kertas. Gambarnya bukan sekadar gambar—itu adalah caranya mencatat perjalanan, perasaan, dan mimpi yang belum selesai.
Ia menatap hasil karyanya sejenak, lalu tersenyum. Tak sempurna, tapi jujur. Tak megah, tapi hidup.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bu Intan: “Terima kasih, Maya. Anak-anak sangat tersentuh. Beberapa bahkan ingin jadi pelukis sepertimu.”
Maya menatap layar itu lama, lalu menutupnya. Ia menatap ke cermin.
“Aku siap,” bisiknya pada bayangannya sendiri—dan ia tertawa kecil, sambil tertawa!