Bagian 6 : Langkah Yang Tidak Lagi Sendiri

1042 Words
Sejak pengumuman kemenangan itu, Ia bukan lagi gadis pendiam yang berjalan menunduk di koridor sekolah. Kini, ada cahaya di matanya. Bukan cahaya kemenangan semata, tapi cahaya keyakinan bahwa dirinya mampu! Guru-guru mulai memperhatikannya, beberapa siswa yang dulu acuh kini menyapanya, dan yang paling mengejutkan, bahkan kepala sekolah memintanya membuat mural kecil di ruang seni. Maya menyanggupi, meski degup jantungnya tetap tak bisa berbohong. Ia masih belajar menjadi berani! Di rumah, perubahan itu pelan-pelan terasa, Ibunya memang belum sepenuhnya berubah, tapi ada senyum kecil tiap kali Maya pulang dengan cerita baru. Ayahnya mulai bertanya, meski hanya satu dua kalimat. Adiknya pun suatu malam duduk di sampingnya, menonton saat Maya melukis sambil berbisik, "Kak, ajarin aku gambar kayak gitu! Namun, perubahan tidak datang tanpa tantangan. Raline belum menyerah. Kini, ia tampak semakin terusik, Suatu hari, di kantin sekolah, ia menyindir Maya di depan banyak orang! "Wah, si seniman kita makin terkenal, ya. Tapi jangan lupa, menang sekali belum tentu selamanya! Maya hanya menatapnya. Dulu, mungkin ia akan lari atau menangis diam-diam, Tapi kini ia tahu, suara Raline bukanlah kebenaran. Ia menunduk sedikit dan berkata pelan, "Yang penting aku nggk pernah berhenti mencoba! Siska dan Raka yang duduk di sebelahnya, langsung mengangkat alis, siap membalas, tapi Maya menahan mereka dengan senyum. Ia sudah belajar, keberanian juga berarti tahu kapan harus diam! Malamnya, Maya membuka lembar baru di buku sketsanya. Ia menulis! Kemenangan bukan akhir dari perjalanan, tapi awal dari langkah baru. Dan langkah kali ini... aku tidak lagi sendirian! Beberapa hari kemudian, sebuah kabar datang dari jakarta. Salah satu juri lomba lukis yang juga pemilik galeri seni menghubungi guru seni Maya dan meminta agar Maya di undang dalam pameran remaja berbakat nasional bulan depan! Awalnya Maya ragu. Jauh dari rumah, harus bicara di depan orang-orang asing, dan membiarkan karyanya dilihat publik, itu semua menakutkan! Tapi malam itu, ia melihat ibunya duduk di ruang tamu sambil menatap brosur pameran itu. Perlahan, ibunya menatap Maya dan berkata, "kalau kamu memang mau, Ibu akan temani ke jakarta! Maya tercekat. Kata-kata itu sederhana, tapi rasanya seperti pelukan yang sudah lama ia rindukan! "Ibu akan temani ke jakarta! Kalimat itu mengendap dalam d**a Maya, Menyingkirkan keraguan yang sebelumnya membuatnya ragu melangkah. Malam itu, ia tidur dengan senyum tipis dan secarik harapan yang perlahan tumbuh lebih besar dari rasa takut! Hari-hari berikutnya di penuhi persiapan, Maya mulai memoles ulang beberapa karyanya dan membuat satu lukisan baru khusus untuk pameran. Di sekolah, guru seni memberinya ruang dan waktu untuk berlatih. Siska dan Raka sering datang membantu, membawa makanan kecil dan sesekali menghiburnya saat ia mulai stres! Di tengah itu semua, Maya diam-diam menyimpan rasa gugup. Bukan hanya karena akan ke jakarta, tapi kali ini adalah kali pertama ia membawa mimpinya keluar dari zona nyaman. Kali pertama ia menunjukkan pada dunia siapa dirinya, tanpa topeng, tanpa ragu! Hari keberangkatan pun tiba! Di stasiun, Maya berdiri di samping ibunya, Tas ransel berisi sketsa dan lukisan kecil ada di pundaknya. Ibu menggenggam tiket sambil sesekali melirik Maya dengan wajah tegas namun lembut. Mereka tak banyak bicara, tapi keheningan itu nyaman, bukan canggung! Sesampainya di jakarta, Maya di sambut panitia pameran dan di tempatkan di wisma bersama peserta lain dari berbagai kota. Malam pertama di sana. Maya duduk di balkon kecil kamar, memandangi langit kota yang tak sehitam langit di kampungnya. Tapi bintangnya sama. Dan di antara bintang itu, ia menemukan keberanian! Pagi hari pameran, Maya mengenakan kemeja putih dan celana hitam sederhana. Ia menyiapkan lukisannya! "Potret seorang gadis yang berdiri di tengah ruang gelap, namun dari dadanya memancarkan cahaya berwarna kuning hangat, simbol keberanian yang lahir dari dalam! Saat giliran Maya berbicara di depan pengunjung galeri, Tangannya dingin. Tapi ketika mikrofon menyentuh bibirnya, ia memejamkan mata sejenak, mengingat semua yang telah dilaluinya. Tawa Siska, dukungan Raka, ejekan Raline. Dan suara lembut ibunya! "Lukisan ini... adalah tentang cahaya yang tidak kita cari di luar, tapi yang tumbuh dari dalam diri sendiri, "Katanya. "Aku menggambarkan rasa takut dan bagaimana keberanian bukan berarti tak takut, tapi memilih tetap melangkah meski takut! Ruangan hening. Lalu terdengar tepuk tangan. Tak meriah, tapi tulus. Beberapa orang mendekat setelah itu, menanyakan inspirasinya, bahkan satu pemilik sekolah seni memberikan kartu namanya! Saat semuanya selesai, Maya berlari kecil menuju sudut ruangan tempat ibunya menunggu. Ia memeluknya tanpa kata. Ibu hanya menepuk punggungnya dan tersenyum! "Kamu luar biasa, Maya! Sepulang dari jakarta, Maya kembali ke sekolah dengan semangat yang tak sama seperti sebelum berangkat. Ia bukan lagi si gadis pendiam yang hanya berani menatap lantai! Raline memang masih ada. Tapi saat mereka berpapasan di lorong sekolah dan mata mereka bertemu, Raline hanya mendengus dan melangkah pergi. kali ini, Maya tak merasa marah. Ia justru merasa damai. Ia tahu, pertempuran batinnya sudah selesai. Dan yang menang bukan keangkuhan, tapi keteguhan hati! Di kamar, Maya membuka halaman baru di buku sketsanya. Ia menulis! "Aku tidak mencari pengakuan. Aku hanya ingin jujur pada diriku sendiri. Dan hari ini, aku tahu: keberanian adalah berjalan meski tidak ada yang menjanjikan hasil. Tapi langkah ini... tidak pernah aku tempuh sendirian! Ia menggambar satu sosok perempuan berdiri di bawah hujan, tapi cahaya payungnya cukup untuk menerangi orang-orang di sekitarnya, Di bawah gambar itu, ia tulis satu kalimat kecil! "Kadang, langkah kecil kita bisa jadi cahaya bagi yang lain! Dan kali ini, Maya benar-benar percaya, dirinya cukup! Beberapa Minggu setelah pameran, nama Maya mulai di kenal lebih luas. Beberapa sekolah lain mengundangnya untuk berbagi cerita tentang karyanya. Bukan hanya soal teknik melukis, tapi tentang keberanian, tentang bangkit dan rasa takut, dan tentang menemukan suara sendiri! Guru seni di sekolahnya bahkan mulai membentuk komunitas kecil seni rupa, dan Maya di tunjuk sebagai mentor untuk adik-adik kelas. Meski ia masih sering merasa gugup saat bicara, kini ia tak lagi menghindar. Ia tahu, suara kecil dalam dirinya layak di dengar! Hubungan dengan keluarganya pun semakin hangat, Ibunya mulai sering duduk menemaninya menggambar. Ayahnya, walau masih pendiam, kini tak pernah lupa bertanya, "Ada lukisan baru Minggu ini?" Adiknya bahkan sudah membuat satu lukisan kecil untuk dipajang di ruang tamu. Lukisan matahari dengan tulisan di bawahnya! "Ini untuk kak Maya, Matahari kami! Maya menyadari, jalannya masih panjang. Tapi kini ia tahu, Langkahnya punya arah. Dan yang terpenting. Ia tidak lagi merasa sendiri! Langkah pertamanya mungkin kecil, tapi kini... ia telah berjalan lebih jauh dari yang pernah ia bayangkan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD