SATU

1287 Words
Shit Umpatan itu terus keluar dari mulut Sabrina saat panggilan telfon nya tak kunjung mendapatkan jawaban. "Sial! Zeta kemana sih?! Di telfonin dari tadi gak ngangkat-ngangkat." Gerutu Sabrina, dengan trus mencoba menelfon nomor tujuan dan sibuk mondar mandir. Ketiga teman nya. Vinny, Lisa dan Alya hanya diam dengan sesekali menghela nafas mereka. Sabrina yang mulai kesal meletakkan ponsel nya dengan sedikit membanting ke meja. Lalu menghempaskan b****g nya duduk di bangku cafe. "Udah lah Sa! Mungkin Zeta nya udah tidur. Lo lihat dong sekarang jam berapa." Lisa buka suara, tidak tahan mendengar geraman-geraman Sabrina sedaritadi. Teman nya yang satu ini memang paling mudah terpancing emosi. "Baru jam setengah 10! Zeta tidur jam segini? Bukan Zeta banget tau gak!" Balas Sabrina, seraya melempar pandang tajam nya pada Lisa. "Ya mungkin aja kali ini beda. Zeta capek banget kali!" Tambah Alya. "Capek mikirin masa lalu iya!" Ketus Sabrina. Ucapan Sabrina langsung saja membuat Vinny yang tadi menunduk menatap ponsel, jadi mengangkat kepala nya menatap Sabrina yang tampak kesal. "Lo bisa gak jaga intonasi bicara lo!" Ujar Vinny dingin, dengan tatapan tak kalah dingin ke arah Sabrina. "Kalau Zeta denger! Lo tau kan reaksi dia gimana?" "Yang jelas gak ada Zeta di sini!" Balas Sabrina sengit, ikut menatap dingin kepada Vinny. Suasana cafe yang sudah lengang, mendadak semakin lengang. "Lo tau gak sih! Gue kadang udah capek tau gak sama genk ini. Genk ini seakan udah beda! Bukan kayak dulu! Genk ini kayak udah mati tau gak!" Desis Sabrina, dengan rahang mengeras. Lisa dan Alya saling pandang dalam diam. Mereka tau, Sabrina kini tengah menahan amarah. "Leader yang kita banggain dari dulu! Nyata nya berubah jadi orang kutub utara!" lanjut Sabrina. "Tapi lo tau kan alasan dari perubahan itu?" Sabrina tersenyum sinis. "Apa yang terjadi gak bisa di jadikan alasan untuk berubah." Tekan nya, menatap Vinny yang masih menampilkan wajah tenang. Vinny menghela nafas nya, melipat tangan di d**a. "Jadi lo muak sama genk ini? Muak sama sikap Zi? Iya?" Skakmat. Sabrina bungkam untuk pertama kali nya. Dia melirik ketiga teman nya satu persatu. Lalu pandangan nya kini malah lurus ke depan. "Gue gak pernah muak sama genk ini! Apalagi sama Zi. Gue cuman takut---" suara Sabrina tidak setajam tadi. "---Takut semua nya berakhir, hanya karna satu orang pergi dari kita." lanjut nya lirih. Vinny, Lisa, bahkan Alya mengerti dengan apa yang di rasakan Sabrina. Dari dulu, memang gadis itu yang selalu mati-matian mempertahankan genk ini agar tetap ada, selain Zeta sang leader pasti nya. Pop Girl, itu nama genk mereka. Genk yang sudah berdiri sejak mereka masih kelas 4 sd. Tapi apa yang di rasakan Sabrina, belum tentu tidak di rasakan oleh yang lain nya. Justru mereka juga merasakan sakit yang sama dengan Sabrina. Andai waktu bisa di ulang, mereka ingin tidak pernah terlambat menyelamatkan saat itu. Tapi Tuhan, berkehendak lain. "Lo tau Sa. Yang perlu kita lakuin sekarang cuman satu!" Sabrina mengangkat kepala mya, saat Vinny menyentuh pundak nya. "---Kesabaran yang lebih." Lanjut Vinny. ✉️✉️✉️✉️✉️✉️ "Non Zi! Nyonya sama Tuan sudah menunggu di bawah!" Zeta tidak merespon ucapan Bi Surti. Dia hanya bangkit berdiri sebagai tanda dia mendengrkan ucapan pembantu rumah tangga itu. Zeta kini telah rapi dengan style santai nya. Celana jeans sobek-sobek, baju kaos putih yang di lapisi jaket lepis, dan headset berukuran sedang yang menggantung di leher nya. Zeta menarik koper yang sudah berisi penuh dengan barang-barang nya. Lalu menyandang ransel kecil berwarna hitam. Dia meraih knop pintu kamar nya, sebelum benar-benar membuka pintu tersebut, Zeta kembali membalikkan tubuh nya, dan menatap sekeliling kamar nya. Sebentar lagi untuk waktu yang entah sampai kapan, dia tidak akan bisa melihat suasana kamar ini lagi. Zeta meraih sebuah bingkai foto di meja. Menatap foto nya bersama para sahabat nya itu. Dia lalu memasukkan nya ke dalam ransel kecil yang di sandang nya. Dan melanjutkan jalan keluar. Desi menatap ke arah Zeta yang menuruni tangga. Dia dapat melihat betapa ketidakrealaan Zeta untuk meninggalkan rumah ini, bukan hanya rumah, namun juga sekolah, teman-teman nya. TaPi ini lah yang terbaik untuk Zeta. Meninggalkan Jakarta, dan memulai kisah baru di tempat yang baru. "Mama tau ini berat untuk kamu Zi. Tapi ini yang terbaik untuk kamu." Lirih Desi, seraya mengusap kepala bagian belakang Zeta. Zeta tidak merespon, dia hanya diam dan terus berjalan keluar rumah. Mengabaikan mama nya. Desi menatap sendu punggung putri nya itu. Dia tidak ingin melakukan ini, tapi ini lah yang terbaik untuk Zeta. Berharap Zeta bisa melupakan masa-masa kelam di sini. Kamu harus bisa mencairkan kebekuan yang ada dalam diri kamu nak. Karna mama gak mau, kebekuan itu lah yang nanti nya akan menghancurkan kamu. Desi membatin. ✉️✉️✉️✉️✉️✉️ Di sini lah Zeta sekarang. Bogor. Tempat yang di pilih oleh kedua orang tua nya untuk di tinggalkan nya selama 1 tahun ke depan, atau mungkin lebih. Hari ini Zeta telah resmi meninggalkan Jakarta, dan apa pun yang ada dan terjadi di Jakarta. Dia akan memulai hidup di sini, tanpa seorang pun yang di kenal nya. Tanpa teman-teman satu genk nya, tanpa siapa pun. Hanya ada diri nya sendiri ke depan nya nanti. Apa Zeta sanggup? Entah, Zeta sendiri tidak tau. Namun, jika menetap di Jakarta justru semakin membuat nya tertekan, lebih baik dia menganbil tindakan ini. "Iya Des! Kamu tenang aja. Zeta pasti baik-baik aja kok di sini." Itu adalah suara wanita yang seumuran dengan Desi---Miranda. Keluarga Rezaldi memang teLah sampai di kediaman keluarga Rahardian. Kini, mereka tengah duduk mengelilingi meja makan. "Hardi! Aku titip Zeta di sini ya! Kalau dia melakukan hal di luar batas, kalian bebas melakukan apa pun sebagai hukuman untuk nya!" Ucapan Rezaldi membuat Rahardian terkekeh. "Tidak usah berlebihan Zal!" Seraya semua orang berbincang, Zeta hanya diam menatap kosong ke arah depan. Seperti orang yang tak bernyawa sama sekali. "Zi! Zeta sayang!" Bukti nya Zeta tersentak saat mama nya memanggil. "Melamun lagi kan? Zi! Mama mohon sama kamu, coba lah untuk beradaptasi di sini. Mama yakin, kamu akan merasa lebih baik sayang." Desi mengusap tangan Zeta dengan lembut. "Iya Zi! Papa harap kamu---" "Nyata Nya Zi gak lebih baik di sini!" Potong Zeta dingin dan bangkit dari duduk nya, lau berjalan keluar. Meninggalkan kediaman Rahardian tanpa permisi. "Zi! Ziii!!" Rezaldi berteriak, namun di abaikan. "Sudah Zal! Mungkin Zeta memang harus beradaptasi dulu. Ini kan tempat baru untuk nya." Rahardian menghentikan langkah Rezaldi tadi yang ingin mengejar Zeta. Rezaldi mengusap wajah nya sembari menghela nafas. "Saya yakin, lambat laun Zeta akan bisa terbiasa." Tambah Miranda. Desi dan Rezaldi mengangguk. "Maaf telah merepotkan keluarga kalian." Rahardian tersenyum. "Tidak masalah Zal, kita kan sudah bersahabat lama." Mereka Lalu sama-sama tersenyum. "Malvin!" Cowok yang tadi hanya diam di posisi nya, kali ini sedikit tersentak saat nama nya di panggil. "Iya om!" "Om titip Zi ya di sini! Kamu bimbing dia ya, dan ingetin terus ke dia untuk jangan ngelamun!" Pesan Rezaldi pada Malvin, anak sahabat nya itu. MalviN terdiam untuk sesaat. Sejak pertama keluarga Rezaldi datang, mata nya hanya terfokus pada Zeta. Gadis berperawakan cantik, manis, namun datar dan dingin. Malvin akhir nya mengangguk, tanpa berucap apa apun. Zeta Zevanya Rezaldi, gadis yang di nobatkan sebagai duta dance se Indonesia, karna kemampuan dance nya yang luar biasa. Ketua genk populer di Jakarta. Itu lah yang Malvin tau mengenai gadis tunggal keluarga Rezaldi itu. Selain terlahir dari keluar kaya raya. Malvin kini juga tau. Ternyata segala pernyataan mengenai Zeta di artikel internet itu benar. Gadis itu beku, dan sangat dingin. Apa jadi nya, jika Malvin benar-benar masuk ke kehidupan Zeta? Karna pada nyata nya, Malvin juga beku seperti Zeta. Beku tak tersentuh, dingin yang teramat dingin. ✉️✉️✉️✉️✉️✉️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD