Bagian 2

1559 Words
Victoria yang tertekan mendekati telepon rumah. Gadis kecil itu sedang menangis penuh kebencian. Dia menelepon seseorang. Ayahnya tidak menyayangi anak itu lagi, Givanno membenci dirinya. Tangannya bergetar saat menyentuh telepon itu. Angka demi angka ditekan oileh jari telunjuknya. "Halo," sapa seseorang di sebarang telepon. "Mom...," panggil Victoria. "Ada apa Victoria? Kenapa menangis?" tanya sang ibu. Wanita itu bertanya seadanya, Ini kesekian kalinya Victoria menelepon. Setiap kali ia mendapat panggilan dari putrinya. Dia bisa tahu bahwa putrinya hanya mencari perhatian darinya. Dia tak pernah punya waktu ladeni keinginan anak itu. Dia seorang model, memiliki jadwal yang sangat padat. "Daddy, Mom. Daddy memukulku," kata Victoria sambil terisak. Gagang telepon ikut basah karena air matanya. Dia pun segukan karena terlalu sedih. Gadis itu mengungkapkan isi hatinya. Mungkin ibunya bisa mengerti apa yang tengah ia rasakan. Kata orang, 'Ibu selalu memahami putrinya'. "Tenang, Victoria. Dengarkan, Mom! Daddy melakukan hal itu karena kau nakal. Sekarang cepat minta maaf sama Daddy. Mom sibuk, besok akan menelepon lagi, Oke," jelas sang ibu. Miranda punya hari esok yang tak ada hentinya. Dia mengulang kalimat yang sama setiap kali putrinya ingin mengobrol. Wanita itu pun berpikir anaknya berpura-pura. Berbicara dengan Victoria merupakan bagian dari kesia-siaan hidupnya. Anak itu selalu punya dramahanya untuk diperhatikan. "Tapi, Mom...." Tut tut tut Panggilan dimatikan oleh Miranda. Victoria sangat masygul, bahkan ibu kandungnya sendiri masih mengabaikan gadis itu. Dia sendirian. Anak sekecil itu harus menderita. Air mata adalah cara mengungkapkan perasaannya. Dia dikunci di dalam kamarnya sendiri. Gadis kecil itu melangkah menuju kamar mandi. Ayahnya akan menemukannya besok jika tidur di atas ranjang. Dia takut dengan pukulan ayahnya. Dia sudah cukup menderita tanpa kasih sayang, dia tak menginginkan k*******n lagi. Dia bersandar pada tembok kamar mandi sambil memeluk dirinya. Tak ada orang yang peduli padanya, Givanno telah berubah sejak semalam. Dengan rasa sakit dan kebencian, dia pun tertidur. Berharap mimpi indah akan datang menyapanya. *** Givanno tak bisa tidur sejak insiden k*******n yang dilakukan pada gadis kecilnya. Bahkan Taylor tak mengetahui hal itu sama sekali. Karena jika istrinya tahu, maka perceraian adalah cara untuk menebus kesalahan itu. Dengan tangan yang bergetar, Givanno membuka pintu kamar anaknya. Dia tak menemukan Victoria di atas ranjang. Seketika matanya tertuju ke kamar mandi. "Victoria! Kamu di mana, Nak?" Teriaknya. Dia mengetuk pintu kamar mandi, namun tak ada pergerakan. Dia pun mendobrak pintu itu, alhasil sekarang ia melihat Victoria yang menangis sambil menutup mulutnya. Victoria ketakutan. "Kenapa, Nak? Ada apa?” tanya Givanno. Mengejutkan mellihat tidur di kamar mandi ketika dia seharusnya tidur di atas kasur yang empuk. Mengapa anak itu mesti menyiksa diri seperti itu. Kini Victoria memegang timba berwarna kuning, memasang badan untuk menyerang sang ayah. "Tidak! Jangan mendekat!" bentak Victoria Dia berujar disertai dengan gelengan kepala. Kejadian semalam membuatnya sukses merasa trauma. Gadis kecil itu kini takut berhadapan dengan ayahnya. "Maafkan Daddy, Victoria!" Kata maaf saja memang tidak cukup namun cuma itu yang bisa ia katakan. Victoria menggeleng, melempar ayahnya timba lalu berlari keluar kamar mandi. Semalam ayahnya berhasil membuat ia tertekan. Gadis kecil itu naik di atas ranjang dan menutupi tubuhnya dengan selimut berwarna biru. Givanno mendekati anak itu dan memeluknya. "Maafkan Daddy, Nak," ujar Givanno sambil mengelus rambut putrinya. Victoria meronta, meminta untuk dilepaskan tetapi Givanno tak peduli. "Tuan, ini sarapan untuk Victoria!" seru Rose pembantu di rumah Givanno. Givanno menoleh ke arah wanita tua itu. Kemudian Victoria mengambil kesempatan itu. Dia menggigit tangan ayahnya hingga pelukan mereka terlepas. Victoria berlari menuju Rose dan memeluknya. "Selamatkan aku, Rose,“ mohon Victoria pada wanita tua itu. Sekarang Givanno menyadari kesalahannya semalam. Kini putri bungsunya membencinya. Tak bisa mengontrol amarah membuat dia berada dalam masalah. "Beri dia sarapan dan biarkan dia tidur, Rose. Jangan lupa telepon gurunya. Katakan Victoria sakit. Aku akan ke studio," kata Givanno lesu. Dia berjalan melewati putri dan pembantunya. Sekarang bukan waktu yang tepat bertemu putri kecilnya itu. Tentu butuh waktu bagi Victoria memaafkan pria itu. Di ruang makan sudah ada istri dan ketiga anaknya. "Mana Victoria?" tanya Taylor. "Dia sakit. Kita makan saja dulu. Lagipula Rose sudah mengurusnya." Givanno duduk di samping istrinya. Meskipun merasa murung akan Victoria, anak-anaknya yang lain membuatnya merasa begitu tenang. "Dad, aku ingin disuap!" pinta Olivia manja. Givanno tersenyum. "Duduk di sebelah Daddy!" Kini Givanno menyuapi anaknya dengan roti yang telah dipotong-potong. Pria itu memperhatikan wajah Olivia yang begitu menawan, sangat mirip dengan ibunya. "Enak?" Olivia mengangguk. Siapa yang tidak bahagia disuap oleh sang ayah. "Mom, aku ada pertandingan sepak bola nanti sore," ujar Érique tiba-tiba. Ya, dia juga berharap ayahnya datang. Tapi, gengsinya melarangnya menyapa ayahnya. Pasti akan sangat menyenangkan bila orang tuanya bisa menonton aksinya bermain sepakbola. "Baiklah, Sayang. Mom dan Dad akan menyaksikannya," balas Taylor. Givanno tak berkomentar, lebih memilih fokus pada Olivia. Karena dia tahu anak sulungnya membencinya setelah tahu Givanno punya wanita lain. Meskipun itu terjadi sebelum Victoria lahir. Sekarang memang baik-baik saja. Tapi dengan lahirnya Victoria. Érique membenci putri kecil ayahnya itu. Satu-satunya anak Givanno yang peduli pada Victoria adalah August. "Jika kalian selesai sarapan, Dad akan tunggu di mobil." Givanno bergegas menuju garasi. Dia tak bisa berlama-lama di ruang makan. Rasanya tak nyaman membayangkan Victoria belum makan sama sekali. "Apa Dad marah?" bisik August pada kakaknya, Olivia. Dia belum menyelesaikan menyantap sarapannya lalu sang ayah sudah menanti di dalam mobil. Mau tidak mau dia harus menyudahi sarapannya."Kurasa tidak. Mungkin Daddy banyak kerjaan," balas Olivia. "Hei, Berhenti berbisik dan segera habiskan sarapan kalian." Taylor menegur putra dan putrinya. Wanita itu terlalu menyukai bila anak-anaknya saling bertengkar.  "Aku sudah selesai, Mom!" teriak Olivia. tak mau kalah dari kakanya, August meminum s**u yang ada di depannya, menyambar roti lalu dengan mulut penuh ia berteriak. "Aku juga!" "Kalau begitu cepat ke mobil. Dad sudah menunggu," pinta Taylor. Taylor mengamati August kecil dan Olivia. Mereka berseru bersamaan, menyetujui perkataan ibunya. Keduanya berlari menuju pintu untuk menyusul ayahnya. Taylor beralih pada anak sulungnya. "Bagaimana denganmu?" Érique memutar bola matanya. "Oke. Aku pergi," katanya lalu berjalan dengan malasnya keluar dari rumah.Taylor hanya bisa menggeleng melihat tingkah anak-anaknya. Mereka nyaris memiliki pribadi yang sama, suka menunjukkan ekspresi malas. "Rose," pangil Taylor. "Ya." Rose berlari menuju nyonya besarnya meninggalkan Victoria. Taylor menanyakan apakah Victoria sudah sarapan pagi dan asisten rumah tangga tersebut membenarkan. Mendengarnya itu, Taylor merasa lega anak tirinya sudah selesai sarapan. Wanita itu berjalan menuju kamarnya untuk bersiap-siap. Sementara Givanno focus pada ketiga anaknya yang sekarang berada di dalam mobil. "Kita berangkat!" seru Givanno saat ketiga anaknya masuk ke dalam mobil. Olivia duduk di samping ayahnya. Gadis kecil itu menyempatkan diri untuk bermanja. Dia menciumi wajah ayahnya berkali-kali. "Duduk dengan benar Olivia, Sayang.Pakai sabuk pengamannya." "Kakak manja!" ledek August dari belakang.Baginya, Olivia selalu suka bertingkah aneh di depan ayah mereka. Seketika Olivia berbalik, mencibir. "Adik jelek!" "Berhenti, kalian hanya perlu duduk!" tegur Givanno.anaknya yang penurut seketika terdiam. Mobil pun dikemudikan oleh Givanno untuk mengantar ketiga anaknya. *** Victoria sejak tadi masih saja menangis. "Jangan menangis lagi, Victoria. Sarapanlah! Aku sudah berusaha berbohong demi kamu," jelas Rose pada majikan kecilnya. Kalau Taylor tahu anak itu belum makan, wanita itu bakal membatalkan kunjungan ke klinik. "Dad kejam, Rose! Dad jahat!" "Tidak, Victoria. Daddy-mu sangat menyayangi dirimu." "Rose, bantu aku. Aku ingin menemui, Mom." Awalnya Rose menolak tetapi gadis kecil itu terus memohon hingga membuat Rose tak bisa menolak. Saat Taylor pergi saat itu juga Rose menelepon taxi untuk mengantar gadis kecil Victoria ke rumah ibunya. Tidak cukup lama menunggu, taksi pun tiba di depan rumah. Victoria pun pergi. "Mau kemana, Nona Kecil?" Sopir taksi berbadan gempal bertanya basa-basi. Rose sudah beritahu dia akan mengantar Victoria kemana. "Studio majalah V," Jawabnya dengan imut. Ya, ibunya memang seorang model. Jadi sering kali ia akan muncul dalam majalah seperti itu. "Cari siapa di sana, Nona kecil?" "Miranda Lohan. Dia adalah Mom-ku." Sopir taksi terus menanyainya tetapi Victoria memilih untuk diam, mendadak anak itu meneteskan cairan kesedihannya. Sang supir pun merasa iba dengan anak kecil di belakangnya. Beberapa kalimat penghibur untuk gadis kecil itu diberikan tapi semuanya sia-sia karena kesedihannya. "Kita sampai, Nona. Semoga kau bisa bahagia bertemu ibumu." "Berapa yang harus kubayar, Pak?" "Tidak usah, Nona Kecil" "Terima kasih, Pak," ujar Victoria lalu mencium tangan sang supir. Victoria pun berlari masuk ke dalam gedung V magazine studio. Victoria kecil bertanya pada resepsionis tapi dia malah diacuhkan. Hingga ide konyol menerobos masuk pun muncul. Resepsionis jadi kesal dan mengejar Victoria. Gadis kecil itu masuk ke dalam ruangan yang tak ia ketahui. Sampai matanya bisa melihat sosok ibunya mencium pria. "Mom!" panggil Victoria. Seketika ibunya berbalik dan melepas ciumannya pada seorang pria. "Astaga, apa yang kaulakukan di sini?" tanya ibunya. Miranda tidak percaya dengan tindakan nekat anaknya. Bagaimana bisa gadis kecil itu menemuinya di studio. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Victoria berlari ke arah ibunya dan memeluk tubuh wanta itu. "Aku rindu, Mommy." katanya sambil menangis. Gadis itu sangat merindukan pelukan ibunya. "Aku menunggumu di kamarku, Miranda!" seru pria di dekat ibunya. Miranda berbalik sebentar. Wanita itu mengangguk membuat prianya pergi. "Ya ampun. Pulang sekarang Victoria!" Victoria menggeleng. "Tidak mau. Daddy akan memukulku," jelas Victoria. Dia menunjukkan pipinya yang kini kemerahan bekas tamparan ayahnya. Miranda hanya mengernyit sebentar lalu menampakkan mimik tak peduli. Miranda mengambil ponselnya lalu menelepon Givanno. "Halo!" "Apa saja yang kaulakukan, hah? Jemput Victoria di studio V Magazine sekarang," "Victoria ada di sana? Bagaimana bisa?" tanya Givanno heran. "Cepat ke sini. Aku sibuk. Tanyakan nanti padanya." Miranda mematikan telepon. Dia menitipkan Victoria di resepsionis bagaikan menitipkan barang. "Daddy-nya sebentar lagi menjemputnya. Kamu bisa jaga dia, bukan?" "Ya. Nyonya," jawab resepsionis. Semua karyawan majalah menghormatinya karena ia menjalin kasih dengan CEO majalah. "Mom... Jangan tinggalkan aku!" Miranda tak peduli teriakan anaknya. Dia memilih masuk kembali ke studio. Di dalam ada kekasihnya yang menunggunya. Sejahat itukah wanita itu? dengan teganya tinggalkan putrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD