Bagian 3

1168 Words
Anak merupakan harta paling berharga bagi orang tua. Sebagai seorang ayah, Givanno meninggalkan pekerjaannya demi anak bungsunya, Victoria. Setelah dapatkan panggilan dari Miranda, pria itu kalang kabut. Dia tahu betul seperti apa karakter Miranda. Sekitar dua puluh menit dia sampai di Studio V Magazine. Di sana ia melihat gadis kecilnya duduk di dekat resepsionis. "Aku Givanno, dia adalah putriku," kata Givanno pada sang resepsionis. Tak lupa ia memperlihatkan tanda pengenalnya. Resepsionis itu mengerti dan mempersilahkannya membawa Victoria. Dia melirik anaknya yang kini menggigiti bibir bawahnya. Jelas sekali Victoria membenci sang ayah. "Victoria. Sekarang kita pulang, Nak," bujuk Givanno lembut. "Tidak, aku tidak mau, Daddy," tolak Victoria. Givanno telah berbuat kasar padanya. Victoria tidak bisa melupakan semuanya dengan mudah. Ayahnya hanya akan peduli pada saudara-saudara tirinya. Anak itu bersedekap, ia melihat ke arah lain dengan perasaan dengki tersakat dalam hatinya. "Ayolah, Nak. Maafkan, Daddy," bujuk Givanno. "Aku tidak mau! Daddy jahat!" teriak Victoria. Resepsionis menaruh tangan di bibirnya, mengisyaratkan mereka untuk tidak ribut. bagaimana pun mereka berada di studio terkenal. Givanno menjadi frustrasi. Akhirnya dia menggendong paksa gadis kecilnya. Victoria meronta tetapi Givanno tak peduli. Lelaki itu membawa anaknya ke dalam mobil Toyota miliknya. "Victoria, Jangan seperti ini lagi. Dad bekerja. Hari ini Daddy bolos kerja karena kenakalan kamu." Givanno menasehati anaknya. Sejak tadi ponselnya bergemuru namun ia terus mengabaikan panggilan itu. Victoria melihat ke arah luar. Dia menangis dan tak ingin melihat ayahnya. "Ketika Daddy bicara lihat ke arah Daddy. Siapa yang mengajarimu menjadi kurang ajar?" Givanno kesal. Dia bahkan tak menyadari gadis kecilnya menangis. "Mom...." Victoria menangis dan terus memanggil nama ibunya. Gadis kecil itu masih berharap kasih sayang dari Miranda. Dia ingin sekali buktikan kalau dia bisa hidup tanpa ayahnya tetapi rasanya mustahil. Hanya ayahnya yang bersedia meluangkan waktu mencintainya.Givanno tersadar akan Victoria yang ternyata terisak lagi. Hingga membuatnya menepikan mobilnya. "Kenapa menangis?" . Givanno memegangi wajah putrinya dan mengusap air matanya. Victoria menepis tangan ayahnya. Baginya sang ayah sudah begitu menyakiti hatinya. Dia membuat Victoria berbeda dari saudara-saudaranya. "Daddy jahat!" serunya sambil menunduk. Givanno menghela napas beberapa saat, menahan emosinya."Daddy seperti ini karena kamu tidak mendengar Victoria. Lihat kakakmu Olivia dan August. Mereka tidak pernah membangkang. Ini terakhir kalinya kamu pergi tanpa ijin." Givanno kembali menasihati anaknya. Lelaki itu menjalankan kembali mobilnya. Saat sampai di depan rumah, Victoria berlari masuk ke dalam rumah. Dia enggan berlama-lama bersama ayahnya. Victoria mencari Rose. Dan saat ia menemukan pembantu itu, gadis kecil itu langsung memeluk sang pembantu. "Kenapa lagi putri kecil? Apa Mommy Miranda bicara kasar lagi?" tanya Rose. "Daddy memarahiku. Dia membenciku." Givanno masuk ke dalam rumah dan melihat aktivitas anaknya. Dia merasa telah kehilangan Victorianya. Bahkan pembantu rumahnya lebih penting dari pada kehadirannya. Lelaki itu sempat memarahi Rose yang biarkan putrinya bertindak nekat menemui Miranda. "Rose, bawa Victoria ke kamarnya!" perintah Givanno. "Tidak Rose! Aku ingin tidur di kamarmu," kata Victoria. Perkataan putri kecilnya membuat Givanno marah sekaligus kesal. Anaknya merendahkan dirinya sendiri. "Bawa dia ke kamarnya atau kau kupecat!" Givanno mengancam pembantunya itu. Rose akhirnya membujuk Victoria. Apalah daya, dia hanyalah wanita tua yang menghabiskan sisa usianya menjadi pelayan. Dia tidsk suka berakhir di panti jompo. Dia ingin menyukai anak-anak. Itulah sebabnya ia bekerja di rumah Givanno. "Ayo Victoria. Dad-mu akan marah jika kau tidak menurutinya." Victoria menggeleng. Dia menatap bengis ayahnya. Air mata bergulir di atas pipinya, dan ia segera mengelap air mata itu. "Dia bukan Dad-ku..., Dad sudah mati!" "Rose, antar aku ke kamarmu!" pinta Victoria sambil menarik tangan Rose. Rose menuruti Victoria. "Berhenti Rose! Jangan membangkang!" teriak Givanno. Amarahnya seketika naik. Apakah pembantu itu lebih berharga dibanding dirinya? Bipolar yang ia derita membuatnya mudah marah. Kelakuan Victoria membuat suasana hatinya kurang baik. Langkah Rose terhenti. Kemudian Givanno mendekati putri kecilnya. Dia mengangkat tubuh kecil Victoria menuju kamar. "Tolong aku Rose!" teriak Victoria. "Jangan pedulikan Victoria, Rose. Lebih baik kaukerjakan tugasmu!" Givanno membawa anaknya ke kamarnya. Perkataan Victoria sebelumnya membikin pria itu gusar. Dia melirik piring kecil dan pisau di nakas kamar itu. Givanno berujar, "Daddy belum mati, Victoria! Apa kau ingin membunuh Daddy? Kalau begitu ambil pisau itu lalu bunuh Daddy sekarang!" Perkataan ayahnya membuat Victoria menangis. Gadis kecil itu hanya marah dengan ayahnya tetapi dia sama sekali tak menginginkan ayahnya mati. Victoria menatap sekilas pisau yang ada di atas piring roti. Tangisnya pecah. "Daddy tidak menyayangiku. Daddy membenciku. Daddy selalu memukulku. Daddy selalu memarahiku. Aku membecimu, Daddy." Victoria sambil sesenggukan. "Tidak, Nak. Dad menyayangimu seperti Dad menyayangi Olivia, August, Érique and Mom Taylor!" Givanno meyakinkan anaknya. Kemarahannya mereda setiap kali ia melihat putrinya. "Victoria selalu sendirian. Daddy selalu pergi. Kemarin, dua hari lalu, dan empat hari lalu. Aku selalu sendirian." Givanno memeluk putri kecilnya. "Tidak, Sayang. Daddy selalu untuk kamu. Selamanya akan bersamamu, hanya saja, Daddy harus bekerja." Givanno terus meyakinkan anaknya yang sepertinya luluh kembali dengan perkataannya. "Daddy!" panggil Victoria beberapa saat. "Ya, Sayang." "Aku ingin tidur dipeluk, Daddy." "Ya tidurlah, Nak." Lelaki itu berbaring dan memeluk putrinya. Dengan senang hati Givanno melakukan hal yang disukai anaknya itu. Givanno mengelus rambut putri kecilnya, Sesekali ia mencium kening anaknya. Tak lama gadis kecilnya mengeluarkan nafas kecil disertai dengkuran halus. Victoria tertidur. "Suatu hari kau akan mengerti, Nak. Daddy tidak pernah berniat menyakitimu. Dad tidak tahu apa yang harus Dad lakukan. Semua keputusan membuat Daddy terperangkap hingga membuatmu menangis. Maafkan, Dad." Lelaki itu menum kening anaknya lalu meninggalkannya. "Kau sudah pulang, Vanno?" Taylor bertanya pada suaminya saat melihat sosoknya keluar dari kamar Victoria."Victoria pergi tanpa izinku. Dia pergi ke studio V magazine. Hanya untuk bertemu, Miranda." "Maaf aku tadi ke dokter. Kau jadi kerepotan." Taylor menyesal.Givanno mendekati istrinya lalu mencium perutnya. "Tidak, kau tidak salah. Anak kita yang satu ini juga membutuhkanmu," balas Givanno membuat Taylor tersenyum. "Vanno, kau bisa ikut menyaksikan pertandingan Érique 'kan?" tanya Taylor lagi. "Aku pasti pergi bersamamu," balas Givanno lalu tersenyum. Givanno melihat jam, dia pamit ke istri jeput anak-anak mereka. Sudah resikonya punya banyak anak. Givanno yang masih lelah harus menjemput dua anaknya. Lelaki itu mengambil kunci mobilnya. Mencium istrinya lalu beranjak dari tempatnya. "Aku pergi dulu!" "Hati-hati." *** Setelah menjemput kedua anaknya, Givanno beristirahat sekitar tiga jam lalu harus ke sekolah anaknya. Disana ada pertandingan club sepak boleh antar Sekolah junior di selenggarakan. Dan anaknya berpartisipasi dalam club sepak bola di sekolahnya. "Sudah siap?" Givanno bertanya pada Taylor. Wanita itu membalas, "Sudah." Saat mereka berdua sampai di mobil, August dan Olivia ikut masuk. "Hei, Turun sekarang juga," pinta Givanno pada kedua anaknya. "Dad, aku ingin ikut, Tolonglah," rengek Olivia. "Aku juga, Dad. Di rumah sangat membosankan," tambah August. "Lalu Victoria bagaimana? Lebih baik kalian turun sekarang!" "Dad, kumohon. Lagipula Victoria masih tidur." Olivia tak hentinya memohon pada ayahnya."Kalian boleh ikut," timpal Taylor. Wanita itu tak tega melihat kedua anaknya memohon. Givanno menatap istrinya tak percaya. "Ayolah, Vanno. Aku bisa menjamin mereka tidak akan nakal." Taylor meyakinkan suaminya.Mau tak mau Givanno hanya setuju dengan istrinya. "Baiklah, kalian pakai sabuk pengamannya. Dan ingat. Jangan nakal di sekolah kakakmu." Givanno memperingatkan. "Tentu, Dad," ujar Olivia. Mobil dilajukan Givanno menuju sekolah putra sulungnya. Sampai di sekolah anaknya, semua mata tertuju padanya. Maklum saja. Ada dua pasangan model yang hadir di acara sekolahan. Givanno yang bekerja sebagai fotographer juga bekerja sebagai model. Dan yang lebih sensasional adalah kadang ia harus melakukan sesi pemotretan bersama Miranda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD