Bagian 4

2321 Words
Victoria kecil bangun dari tidurnya. Dia mendapati ayahnya telah pergi. Gadis itu sendirian. Dengan bibir yang mengerucut sambil mengucek-ucek kedua matanya, gadis kecil itu turun dari tempat tidur. Dia sudah berdamai dengan ayahnya. Dia tak ingin jauh lagi dari sosok Givanno, ayahnya. Rumah besarnya tampak sunyi. "Dad!" Panggil Victoria sambil berjalan mencari ayahnya. Baru sebentar menikmati dekapan ayahnya. Sosok Givanno langsung menghilang. Victoria mencari ayahnya di ruang tamu. Rose mengamatinya lalu menghampirinya. "Gadis kecil sudah bangun?" Tanya pembantu itu. Victoria memeluk kaki sang pembantu. Gadis itu terlalu kecil untuk ukuran usianya. Hanya kaki pembantunya yang bisa dijangkaunya. Tekanan batin membuatnya tidak tumbuh dengan baik. Dia tumbuh dengan paras yang mungil. Dia gadis yang malang. Victoria tak menjawab seruan basa-basi dari pembantu rumah tangganya. "Dimana Dad, Rose? Apa Dad pergi lagi?" Tanya Victoria. Tadi, ayahnya berjanji tak ingin meninggalkannya. Namun sekarang, janji itu terasa kosong. Ayahnya mengingkari janji untuk Victoria. Rose mengajak Victoria duduk di ruang tamu itu. "Dad mu sedang menonton kakak Érique main sepak bola!" Jelas Rose. Dia tersenyum mengucapkannya. Tidak mau gadis kecil itu semakin sedih. "Bukankah Érique sedang bertanding sekarang?" Tambah Rose. "August? Olivia? Mereka dimana?" Tanya Victoria. Jujur saja, Rose merasa bersalah jika harus jujur tapi gadis kecil itu begitu pintar dan tak memberi celah bagi Rose untuk berbohong. "Mereka juga ikut, sayang. Victoria jangan marah ya. Bukannya tadi Victoria tertidur?" Rose mencoba menenangkan Victoria. Gadis kecil itu menyeka air matanya yang berlinang tanpa alasan. Dia harus kuat. Dia tak boleh membuat ayahnya marah. Sekecil apapun kasih sayang ayahnya, dia harus tetap mensyukurinya. Dia akan berusaha untuk tidak nakal dan tak menjadi pembangkang. "Aku tidak marah. Dad sudah berjanji jika aku menurutinya maka Dad akan semakin menyayangiku." Kata gadis itu. Dia berusaha tegar. Meski anak seusianya terkadang tidak bisa mengontrol emosinya. Rose mengelus punggung Victoria. Mencoba menguatkan gadis kecil itu. Rose begitu berempati melihat keadaan Victoria. Di balik mata coklat kemerahan gadis itu, Rose bisa melihat kepedihan yang terpendam. Sungguh kuat gadis itu. Seandainya Rose memiliki harta berlimpah maka dia akan merawat gadis malang itu. "Rose, aku ingin bermain. Temani aku bermain di taman sana. Aku bosan berdiri disini." Victoria berusaha menyembunyikan kesedihannya dengan mengajak Rose bermain. "Ayunan itu sangat indah." Tambah Victoria. Dari balik jendela, Rose memandangi taman indah yang ditunjuk oleh Victoria. Taman yang dilengkapi ayunan dan air mancur kecil. Sangat cocok untuk menghibur hatin yang sedih. "Ayo!" Hanya kalimat itu yang bisa diucapkan Rose. Dia tidak akan menolak permintaan gadis itu lagi. Sudah cukup, Victoria mengalami pelecehan emosional. Sudah cukup. Rose menggendong Victoria keluar dari dalam rumah. Sore itu cukup cerah, matahari bersinar dengan terang. Kilauan kuningnya sama sekali tidak membuat seseorang kepanasan. Cahaya itu justru menyejukkan. Sampai di taman, Victoria meminta Rose mendorong ayunan tempat dimana ia duduk. Dengan senang hati wanita tua itu melakukannya. Lama dia mendorong ayunan majikannya, sampai Victoria mengucapkan datu kalimat. "Rose, Apakah Dad menyayangiku?" Tanya Victoria. Rose tersentak, tak percaya Victoria menayakan hal itu. "Tentu saja, sayang. Dad-mu sangat menyayangimu." Jawab Rose dengan lantang. Victoria tersenyum. Jawaban Rose membuatnya senang meskipun itu tak bisa di buktikan. "Rose, naik di ayunan ini dan peluk aku!" Pinta gadis kecil itu. Dia sangat merindukan pelukan ibu kandungnya. Setidaknya pelukan dari Rose mengobati rindu itu. Terakhir kali gadis itu malah diusir. Dia seperti kotoran  yang menjijikkan yang harus disingkirkan. Victoria selalu bertanya dalam dirinya sendiri-mengapa dia bisa lahir? Mengapa dia bisa hadir di tengah ayah dan ibunya meski tak ada cinta di antara mereka. Apakah dia hanyalah kesalahan? Rose naik di atas ayunan bersama Victoria. Dia mendekap gadis itu penuh kasih sayang. "Entah sampai kapan kau akan bahagia. Aku berharap kau menemukan lelaki sempurna saat kau besar nanti. Aku berharap tak ada lagi duka dalam kehidupan remajamu. Aku percaya kau akan bahagia, Victoria." Kata Rose sambil memainkan rambut pirang anak itu. Victoria bergeming-menikmati sentuhan tangan yang diberikan oleh Rose. Andai saja ibunya bisa memperlakukannya selembut, Rose. Mungkin dia akan merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Suara mobil terdengar, Ayahnya telah pulang.  Victoria kecil pun berlari mendekati mobil ayahnya. Senyum terukir di wajahnya saat kakaknya Érique keluar dari mobil. "Kak Érique sudah pu-" Kalimatnya tidak lengkap karena wajah sinis kakaknya. Tubuh kakaknya melewatinya. Ya, dia sama sekali tak dilirik oleh kakaknya. Victoria bagaikan makhluk gaib yang tak terlihat. Victoria memandangi punggung kakaknya yang semakin menjauh. Untuk satu alasan, jantung Victoria selalu berdebar saat berada di dekat kakak tirinya itu. Anak seusianya tidak mungkin jatuh cinta. Mungkin debaran itu berasal dari rasa takutnya. Taylor keluar dari dalam mobil diikuti 2 anaknya August dan Olivia. Taylor tersenyum pada Victoria dan memeluk gadis kecil itu. "Apa tidurmu nyenyak, sayang?" Tanya wanita itu. Victoria mengangguk. "Aku tidur dengan baik, Mom. Apa pertandingan kak Érique menyenangkan?" Tanya Victoria. Setiap kata yang keluar dari bibir Victoria adalah bentuk penyembunyian rasa sakitnya. "Sangat menyenangkan! Mom sangat bahagia melihat kakakmu." Balas Taylor. Di belakang wanita itu sudah ada August yang berseru. "Tadi kak Érique sangat hebat, Victoria. Dia bahkan mencetak 2 gol. Kalau kamu ikut pasti kamu tidak akan menyesal." Suara cerewet August membuat Victoria tertawa. "Benarkah?" Tanya Victoria. August kembali menjelaskan, anak itu bicara tanpa jeda. "Kak Érique berlari ke samping-menghindari lawannya. Lalu bergerak lurus dan satu tendangan berhasil lolos. Gol!" Seru August. Kesedihan yang dirasakan Victoria seolah dilupakan olehnya. Tergantikan oleh cerita manis tentang kakaknya. "Sudah jangan dibahas. Seperti orang kampung saja!" Kata Olivia lalu berjalan masuk ke dalam rumah-melewati ibu dan saudaranya. Gadid selalu cuek pada Victoria. Membenci tidak, menyayangi pun tidak. Bukannya berhenti bicara, August malah kembali menjelaskan. "Victoria, sekolahnya kak Érique bagus loh, ada banyak ayunannya. Lapangannya luas; ada untuk main bola, main basket, dan untuk main voli juga ada. Selain itu mereka punya tim cheerleaders yang menyemagati. Tapi aku tidak suka tim itu. Semuanya laki-laki tidak ada perempuan." Jelas August kembali cerewet. Taylor yang melihat tingkah anaknya hanya bisa tersenyum. Givanno bergabung dan mengacak rambut August anaknya. "Dad!" Panggil Victoria. Gadis itu meloncat memeluk ayahnya. "Gadis kecil Dad sudah bangun? Mimpimu pasti sangat indah kan?" Tanya Givanno dibalas anggukan kepala oleh gadis kecilnya. Givanno mengelus rambut putrinya. Ke empat orang itu pun memasuki rumah. August tak berhenti berceloteh sampai di ruang tamu. Victoria hanya mendengarkan ucapan kakak tirinya itu. "Main sama kakakmu dulu ya, nak. Dad dan Mom mau mandi dulu." Kata Givanno pada putrinya saat berada di ruang tamu. "Ya, Dad." Balas Victoria. Givanno menurunkan anaknya. Sekilas ia mengacak rambut putrinya lalu pergi ke kamarnya bersama istrinya. Victoria tak mau membantah perintah ayahnya lagi. Dia akan menjadi anak penurut yang diinginkan ayahnya. Victoria duduk di atas sofa yang berbintik kulit macan tutul. Dia berada di samping August yang sibuk memainkan ponsel ayahnya. Dia penasaran apa yang sedang dilakukan kakaknya. "Kak August, main apa?" Tanya Victoria. "Tekken game. Kamu harus tahu Victoria. Game ini sangat bagus. Kamu mau coba?" August masih fokus pada game di ponsel ayahnya. Victoria melirik game itu sekilas tapi gadis itu merasa ngeri melihat adegan k*******n dalam game itu. Dia menjauhi kakaknya. "Aku tidak suka!" Balas Victoria. August malah terkikih karena ucapan adiknya. Victoria menampakkan wajah cemberutnya. Dia mrlirik sekelilingnya. Tak ada aktifitas yang bisa dilakukan olehnya. Akhirnya matanya tertuju pada pintu kamar kakaknya yang terbuka sedikit. Gadis kecil itu memutuskan untuk menemui kakaknya, Érique. Meninggalkan August yang sibuk sendiri karena game. Victoria masuk ke kamar Érique. Tanpa sadar mulut Victoria terbuka, menyaksikan koleksi kamar kakaknya. Poster klub sepak bola terpasang di dinding kamarnya. Belum lagi, kamar kakaknya memiliki kumpulan buku. Victoria maju dan terus maju. Kakaknya sedang mandi sehingga dia dengan leluasa bisa melihat kumpulan buku kakaknya. Dia terpukau dengan buku cerita dengan cover dinosaurus. Tangannya menyentuh buku itu, gadis kecil itu membaca dongeng itu. "Apa yang kau lakukan di kamarku?" Tanya Érique membentak. Remaja itu barusaja keluar dari kamar mandi. Handuk putih melekat di pinggangnya. Victoria tersentak kaget karena pertanyaan kakaknya. Dia berusaha untuk bicara meski saat ini, rasa gugupmenyelimutinya. "Kak aku suka buku-" Kalimat Victoria terpotong karena Érique merampas buku dinosaurus di tangannya. Perlakuan kasar kakaknya seolah tak mengijinkannya untuk bicara. Érique tampaknya tak menginginkan penjelasan. Dia terlalu membenci Victoria. Segala sesuatu dari gadis kecil itu hanyalah keburukan. Érique merasa jengkel karena gadis itu berani memasuki kamarnya. "Apa kau pencuri? Kenapa kau masuk tanpa izin ke kamarku?" Tanya Érique dengan penekanan. Pertanyaan kakaknya membuat Victoria berdebar takut. "Aku hanya-". "Hanya ingin mengambil buku ini? Kau ingin mengambil apa yang sudah ku miliki? Kau sudah merebut kasih satang Dad dariku. Kau belum puas?" Tanya Érique menggeram. Tak ada kesempatan bagi Victoria untuk menjelaskan. "Aku tahu, kau adalah anak pencuri. Mom-mu mencuri ayahku, dia adalah p*****r. Kau ingin mencontoh Mom-mu? Atau kau kesini ingin menggodaku, gadis nakal?" Tanya Érique setengah mengejek. Perkataan kakaknya membuat Victoria tidak terima. "Mom bukan pencuri! Mom bukan p*****r!" Tegas Victoria berteriak. Érique tertawa mendengar pembelaan gadis kecil itu. "Apa yang kau tahu! Kau hanyalah bocah kecil yang tak tahu apa-apa. Kau hanya bisa menangis! Gadis cengeng." Tambah Érique. Victoria merasa geram. Dia menggigit tangan kakaknya hingga berdarah. Érique berteriak karena kesakitan. Givanno dan istrinya berlari ke kamar putranya. Victoria sangat marah dengan kakaknya sampai tak melepaskan gigitannya. Givanno dan istrinya melihat langsung kejadian itu. "Oh tuhan, Victoria, Apa yang kau lakukan? Kenapa kau menggigit kakakmu?" Tanya Taylor. Wanita itu sangat terkejut. Dia tak percaya Victoria melakukan hal yang mengerikan pada kakak tirinya. "Hentikan, Victoria!" Bentak Givanno. Victoria melepas gigitannya lalu berlari menjauhi ayahnya. Sebaliknya, Taylor mendekati putranya. Wanita itu mengambil kotak P3K di kamar itu lalu mengobati luka putranya. Dia tidak sempat memperhatikan apa yang dilakukan suaminya pada Victoria. Dia fokus pada Érique yang tengah kesakitan. Ériaue tak berhentinya mengumpat karena tindakan nakal adik tirinya. "Mau kemana kamu, Victoria?" Tanya Givanno membentak. Lelaki itu begitu marah atas kenakalan putrinya. Victoria tak peduli pertanyaan ayahnya. Dia takut melihat ayahnya marah hingga membuatnya berlari mencari perlindungan. Karena hanya Rose yang bisa melindunginya. Gadis berlari mencari Rose. Dia tengah dilanda rasa takut. Takut dengan pukulan ayahnya. Victoria mendapati Rose memasak di dapur. Gadis itu langsung memeluk Rose. "Rose, tolong aku. Dad marah lagi padaku! Lindungi aku, Rose!" Pinta Victoria. Rose Belum sempat bertanya. Givanno sudah muncul di hadapannya. Dari raut wajahnya, Rose bisa merasakan jika tuan rumahnya sedang marah besar. Rose bergeming-tak punya cara melindungi Victoria. Sekali lagi ditegaskan bahwa dia hanyalah pembantu rumah tangga. Dia tidak berhak mengurusi urusan pribadi majikannya. "Victoria! Kenapa kau menggigit tangan kakakmu?" tanya Givanno dengan membentak membuat Victoria menangis. Victoria tidak menjawab. Dia tahu dia salah namun dia tak mau ayahnya memukulinya. Satu tamparan di hari ulang tahunnya telah membuatnya trauma. "Sekarang kau jadi anak nakal ya. Siapa yang mengajarimu seperti itu? Kau masih kecil tapi setiap hari sudah buat ulah. Apa kau ingin seperti mom-mu? Kau ingin menjadi jahat seperti dia?" Geram Givanno. Pertanyaan ayahnya membuat Victoria marah. Kenapa ibunya selalu dikatakan buruk. Tadi Érique dan sekarang ayahnya. Dia tidak suka ibunya di jelek-jelekkan. Victoria menghapus air matanya. Entah keberanian dari mana, dia berjalan menuju ayahnya. Victoria mendekati ayahnya dan menggigit tangan ayahnya. Dia benci ketika ibunya di rendahkan. Givanno seketika marah dan memukul anaknya. "Kau berani dengan Dad? Apa kau tidak bersyukur bisa tinggal bersama Dad?" Givanno berteriak.  "Kau pikir Mom-mu mau menampung dirimu? Kau hanyalah kesalahn baginya!" Bentak Givanno marah. Victoria memegangi lengannya yang sakit karena pukulan ayahnya. Dia menangis,  Bibirnya terbuka dengan bentuk kebencian khas anak kecil. "Mom-" Panggil Victoria. Hanya ibunya yang ia punya. Givanno membawa putrinya ke dalam kamarnya. "Hari ini Dad menghukummu! Kau tidak akan diberi makan malam dan akan di kuncikan di kamar sampai pagi!" Kata Givanno dengan tegas penuh kemarahan. Pria itu meletakkan putrinya di atas kasur. Victoria enggan menatap ayahnya yang jahat. Givanno meninggalkan putrinya lalu menhuncikannya. Kali ini dia merasa melakukan hal yang tepat. Victoria salah dan pantas untuk dihukum. Givanno menemui istri dan anaknya. "Bagaimana keadaan Érique?" Tanya Givanno pada istrinya. "Tangannya sudah diperban. Mana Victoria?" "Dia harus dihukum, sayang. Lihat tanganku sekarang. Dia bahkan berani menggigitku!" Jelas Givanno. Taylor tidak tahu harus bagaimana. Anak tirinya memang salah-sempat terbesit dalam dirinya amarah karena gadis itu berani melukai putranya. Tapi sebagai ibu yang baik dia juga tak boleh mengabaikan Victoria. Selalu ada alasan dibalik tindakan. Taylor menarik nafas lalu mengeluarkannya perlahan. "Kau tidak boleh keras padanya" Taylor menasehati suaminya. "Tidak, Taylor. Anak itu berhak dihukum. Masih kecil sudah nakal. Bagaimana jika sudah besar?" Tanya Givanno. Beberapa detik Taylor bungkam atas pertanyaan suaminya. "Dia hanya butuh perhatianmu, Vanno." Kata Taylor. Givanno merasa kecewa. Belum sehari dia berdamai dengan putrinya dan sekarang anaknya semakin membuatnya marah. Semakin hari rasanya dia semakin jauh dari putri bungsunya. *** Malam harinya, keluarga kecil Givanno berkumpul di ruang tamu. Tak ada Victoria di ruangan itu. Gadis kecil itu sedang diberi hukuman. "Kau sudah merasa lebih baik?" Tanya Givanno pada Érique yang duduk di sofa seberangnya. Érique hanya mengangguk-hubungan dia dan ayahnya kurang akur. Mereka jarang melakukan obrolan, sekalipun mengobrol, pasti selalu ada rasa canggung yang menyertainya. "Aku tahu, Victoria memang nakal. Aku sudah menebak dia akan seperti ini." Kata Olivia disertai senyuman sinisnya. "Jangan bicara seperti itu, Olive!" Tegur Taylor. Olivia kesal dengan pembelaan ibunya terhadap Victoria. Gadis itu mengerucutkan bibirnya. "Mom selalu seperti ini. Dia bahkan bukan anak kandung Mom." Kesal Olivia. Rose datang dan memberitahukan jika makan malam untuk mereka sudah siap di meja makan. "Tuan, makan malamnya sudah siap." Kata Rose pada kedua majikannya. Wanita tua itu berdiri, sedikit membungkuk untuk menghormati majikannya. Dia adalah wanita yang berasal dari Filipina. Sudah sepuluh tahun dia mengabdi menjadi pembantu di rumah Givanno. Dia tahu betul seluk-beluk keluarga Givanno mulai dari Érique lahir sampai sekarang. "Iya, aku akan segera menyusul." Ucap Givanno. Rose pamit pergi. Sementara Givanno mengajak anaknya untuk makan malam. Semenit kemudian, mereka berkumpul di meja makan. Kejadian yang dilakukan Victoria sore tadi membuat suasana menjadi canggung. Givanno bahkan enggan menyentuh makanannya. "Kau yakin tidak ingin memanggil Victoria bergabung?" Tanya Taylor pada suaminya. "Tidak. Anak itu pantas dihukum. Dia melawanku Taylor! Dia tidak akan mati hanya karena melewatkan sekali jam makan." Givanno berbicara tidak sepenuh hati. Jujur saja dia sangat gelisah dengan putrinya itu. Sudah dua jam ia mengurungnya. Dia tak berniat untuk menengoknya. Gengsinya begitu tinggi, dia akan mengurung putrinya sampai pagi. Agar Gadis kecilnya tidak lagi membangkang padanya. Agar esok hari putrinya melunak dan tak berani lagi membangkang perintahnya. Dia ingin memberikan efek jera pada putrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD