"Cucu oma....!!!"
"Bu...."
"Loh, Ranum mana?"
"Lagi jalan sama temannya bu..."
"Teman? Dia gak ingat udah punya anak?"
"Gak apa bu, sekali-kali. Ranum kan juga butuh hiburan...."
"Kenapa gak sama kamu?"
"Rama ada kerjaan bu..."
"Kerjaan?"
"Hmm...gimana bilangnya ya..."
"Bilang gimana? Ibu jadi penasaran nih..."
"Kemarin, Rama ditelfon sama sekolah. Kalau beasiswa ke Belanda yang di apply beberapa bulan lalu, lolos bu...!!!"
"Apa?!!! Akhirnya...kesampaian juga cita-cita papi kamu...kalau kamu jadi dokter..."
"Hehehe ini masih awal bu..."
"Tunggu dulu, kalau kamu ke Belanda...gimana sama anak dan istrimu?"
"Itu dia bu, yang daritadi dipikirin. Rama belum bilang ke Ranum..."
"Kenapa belum bilang sayang? Dia istri kamu loh....atau, kamu ada rencana buat batalin?"
"Kayaknya enggak sih bu, soalnya selain dapat beasiswa. Dapat uang saku yang lumayan bahkan lebih besar dari gaji Rama selama ini"
"Iya sih, tapi biaya hidup disana kan juga mahal....tapi, terserah kamu deh. Kalau ibu setuju banget. Ibu yakin kamu bisa, tapi...istri kamu itu loh. Dia baru aja melahirkan...."
Bagai mendapat durian runtuh, kemarin siang saat Rama sedang bekerja di coffeshop dia mendapat telefon bahwa dia lolos beasiswa ke Belanda. Senang dan bangga pastinya, dia ingin segera menelfon ibu dan istrinya. Tapi, mendadak mengurunvkannya karena teringat dengan statusnya. Ayah dan suami, Rama mendadak pusing. Semalaman dia memikirkan hal ini, tapi tak juga sampai pada titik terangnya.
Sikapnya itu, lantas membuat Ranum semakin curiga. Apalagi, saat Rama ditanyai oleh Ranum dia bingung menjawab seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Jelas saja, Ranum langsung berspeskulasi bahwa ada wanita idaman lain. Makanya, hari ini dia mengajak Lani untuk ketemuan dan menyusun rencana sematang-matangnya, mencari tahu kebenaram dan bukti atas prasangkanya selama ini.
Ranum pun, meminta Rama untuk menjaga bayi mereka. Rama tak menolak, mengingat dia sedang libur, karena ingin mengkonsultasikan hal ini pada ibunya.
"Yasudah...kalau kamu udah bulat nerima beasiswa itu, segera beritahu Ranum. Jangan sampai, udah mepet baru kamu beri tahu..." jelas ibu, sambil menggendong cucu imutnya.
"Tapi bu, Rama enggak tega ninggalin Ranum dan sikecil...." kata Rama sambil memperhatikan sang bayi yang anteng digentong oleh oma nya.
"Jadi, kamu mau bawa keluargamu?" Tanya ibu.
"Iya..." Rama mengangguk.
"Kalau saran ibu sih, gak usah. Justru pengeluaran makin banyak kalau kamu bawa keluargamu. Lebih baik, mereka disini saja. Kamu cukup kirim uang dan kuliah baik-baik disana...ibu janji, mereka akan baik-baik saja...." jelas ibu, coba meyakinkan Rama.
" tapi bu....."
"Yasudah, kamu tanyakan lagi ke Ranum. Jangan diam-diam pusing sendiri begini..." ibu mulai kesal, dia bangkit dari sofa dan masih menggendong cucunya.
Rama hanya diam menyaksikan adegan itu, entah apa yang menggerogoti pikirannya hingga dia enggan memberitahu Ranum, padahal dulu sewaktu mereka masih menjadi sahabat Ranum adalah orang yang lebih dulu diberitahu oleh Rama. Mungkin, karena akhir-akhir ini sikap Ranum berubah, istrinya itu dua hari ini mendiaminya, cuek terhadapnya dan terlihat ada yang disembunyikan.
"Ohya, kalian udah punya nama untuk baby kecil ini?" Tanya ibu, sambil sibuk mengayun cucunya digendongannya.
Tak ada jawaban dari Rama, dia melamun. "Helo....Rama!!!" Panggil ibu.
"Hah? Iya bu?" Tanya Rama, tersadar dari lamunannya.
"Udah punya nama?" Tanya ibu, kesal.
"Ehm....udah bu, Rara...tapi, Ranum gak setuju...."jelas Rama.
"Waduh....Rara doang? Jelas Ranum gak setuju...."
"Terus apa dong bu?" Tanya Rama, depresi.
"Gimana kalau.... Rarawati Kekey Putri Cantikka?" Tanya ibu.
"Rara...wa-ti? Enggak usah deh bu.... Rama kepikiran, gimana kalau Rara Sekar?"
"Nah...lumayan tuh. Yaudah, kamu kasih tahu sama Ranum. Ada bajak berkas yang harus diurus untuk bayi kalian. Pokoknya kalau namanya sudah jelas, segera kabari ibu ya...."
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, Ranum belum juga pulang. Rara-bayi mereka- sudah tidur, sebelum ibu pulang beberapa menit lalu, ibu menidurkan Rara terlebihdahulu.
Berkali-kali Rama melihat ponselnya, menunggu telfon dari Ranum. Menunggu kabar darinya, namun nihil. Lelaki itu ingin sekali menghubungi istrinya, tapi dia merasa akan menganggu kebahagiaan Ranum. Sebab, setelah melahirkan Ranum tak pernah pergi main-main.
Kini, Rama bisa kembali memikirkan keputusannya, untuk mengambil beasiswa itu. Kesempatan emas, bisa jadi jalan pembukanya menuju kesuksesa. Iya, dia tahu persis. Akan ada yang dikorbankan dan menjadi korban. Tapi, baiklah...dia akan diskusikan lagi dengan Ranum. Jika istrinya itu tidak setuju, dia akan membatalkannya. Sebab, kini dia tak hidup sendiri, ada yang menjadi tanggungjawabnya dan akankah terdengar egois jika dia tak menerima pendapat dari Ranum.
Alasan lain Rama masih ragu memberitahu Ranum adalah dia takut Istri sekaligus sahabatnya itu meminta Rama untuk membatalkannya. Itu adalah hal terburuk bagi Rama.
-
-
-
"Gimana?" Tanya Lani. Saat ini kedua wanita itu tengah duduk di kafe sambil menikmati sore dengan secangkir kopi.
"Dia gak nelfon juga, benar deh mbak...kayaknya dia lagi sibuk sama wanita idaman lain nya..." Ranum tertunduk, karena menyadari bahwa Rama sudah tidak peduli lagi dengannya dia kecewa.
"Pertama, dia ngebiarin aku pergi. Kedua, dia gak nanyain aku padahal sudah 6 jam aku gak ada kabar. Ketiga, kenapa sih dia begini...." sambungnya.
"Sabar deh Num...." lani mengelus lembut bahu teman barunya itu. Sambil menatapinya miris.
"Mungkin, dia sudah bosan denganku mba. Ditambah lagi, akhu ngelahirin anak secara prematur. Dan kata dokter, anak yang lahir prematur dari ibu yang terlalu muda bisa berakibat kecacatan. Dia tahu itu, akupun gak bisa memberikannya ASI, padahal s**u ibu sangat baik untuk perkembangan bayi...." jelas Ranum, dia terlihat sangat depresi.
"kamu jangan kekanak-kanakan seperti itu, lebih baik kamu pulang sekarang....kamu kelihatan kusut banget nih...."
Ranum mengangguk, jujur saja 6 jam tidak bertemu dengan bayinya dia kangen. Kepikiran terus dan sedari tadi sangat cemas karena suaminya, Rama seakan tidak peduli dengannya. Dia ingin, Rama peduli dengannya. Seperti sewakth mereka di SMA dulu.
-
-
-
Senja mulai terlihat dan ingin segera menghilang, pemandangan indah dari jendela masih terus menjadi pusat perhatian Rama. Lelaki tampan, bertubun atletis dan tinggi. Idaman setiap wanita. Namun, siapa sangka kini dia telah beristri dan memiliki seorang anak.
Rama duduk dekat jendela, masih dengan pikiran yang sama. Dia berandai-andai, bagaimana jika....
"Oeeeeoeeee...." terdengar tangisan Rara dari dalam kamar, segera Rama bangkit dari sofa ruang tengah dan berlarj menuju kamar.
"Ssshhh....Ra-ra...kenapa sayang?" Tanya Rama, melihati bayinya yang menangis.
Bayi nya terus menangis, Rama kewalahan. Dia belum pernah berada disituasi seperti ini. Baru pertama kalinya, tadi pagi sebelum Ranum pergi dia sudah membuat Rara tenang dan hingga kedatangan ibu, Rara tak menangis.
Kini, sudah 15 menit Rama coba mendiamkan bayinya yang terus menangis. Namun tak berhasil. Berbagai macam cara, telah dilakukannya. Hingga akhirnya dia sadar.
Segera Rama berlari kearah dapur, mencari s**u bayinya dan....semakin pusing karena dia harus kembali meracik s**u. Bukannya tak bisa, hanya saja...dia tahu, kalau membuat s**u bayi harus dengan baik dan benar. Takaran yang jelas dan....
Pandangannya tiba-tiba terpusat pada kulkas, pintu kulkas. Ada selembar kertas berwarna hijau neon tertempel disana. Bertuliskan, pesan dari Ranum.
"Rama, aku pergi dulu. Kalau lapar...aku sudah buatkan sambal tempe, ada didalam lemari. Kalau bayi kita nangis, ada kemungkinan dia ngantuk, lapar dan gak suka lihat kamu. Hehehe, becanda. Kalau dia ngantuk, kamu timang-timang saja nanti dia juga tertidur, kalau lapar...kamu beri s**u. Cara buatnya, ambil botolnya dari lemari dan rebus air, setelah air panas. Diamkan beberapa menit, rendam botol didalamnya selama beberapa menit. Beres. Kalau takaran untuk susunya, 3 sendok dan airnya 1 air panas dan 3 air biasa. Dari dispenser. Oke? ❤️ p.s: kalau ada yang gak jelas telfon aku!
Rama tersenyum manis, melihat kertas itu. Lama dia membaca tulisan Ranum, tulisan istrinya yang dibaca berulang kali. Pikirnya, Ranum sudah berubah namun dia tetap Ranum sahabatnya yang kini menjadi istrinya. Tulisan dari Ranum juga seakan sebagai pelipur rasa kangennya, yang sedari tadi coba ia bendung namun sepertinya gagal.
Akhirnya, Rara berhasil diam tak menangis. Saat s**u buatan sang ayah berhasil dinikmatinya. Berada dalam gendongan sang ayah, membuat Rara merasa damai. Bayi kecil itu melihati ayahnya, yang selama ini jarang bersamanya. Rama pun melihati bayinya, terharu.
Dia terharu dengan semuanya, termasuk dengan Ranum. Istrinya, yang benar-benar sangat hebat. Tidak pernah mengeluh selama ini, harus menghadapi Rara yang jika menangis, membereskan rumah, mencuci piring dan baju. Memasak untuk suaminya. Tapi, tak pernah sekalipun Ranum mengeluh padanya. Bahkan, saat Rama pulang. Ranum, selalu bertanya tentang Rama tanpa Lelaki itu bertanya balik, bagaimana keadaan istrinya, yang dia tahu. Ranum sudah nyaman dan baik-baik saja, sebab dia hanya dirumah mengurus bayi. Itu saja. Padahal, jika difikir...pekerjaan Ranum lebih menguras segalanya.
"Sayang....kamu jangan nakal-nakal ya....!!!" Kata Rama, sambil terus melihati bayinya.
"Kasihan ibu, kamu sayang kan sama ibu? Ayah juga kok....ibu kamu itu hebat banget. Ayah sangat banget sma dia....tenang, sama kamu juga kok...sayang kamu dan dia....." kata Rama.
"Maksud kamu? Sayang aku dan dia?"
"Eh...."
TBC