Keputusan telah diambil, Ranum akan dikirim ke Jepang. Dia akan belajar bahasa jepang dan mengikuti kursus memasak. Entahlah, kenapa harus Jepang dan kursus memasak. Karena itu kesukaan Ranum, keputusan sudah bulat. Ibu mulai menyiapkan segala berkas untuk keberangkatan Ranum secepatnya, rela sekolah ditinggalkan karena ibu berpikir sekolah bukanlah segalanya, hanya suatu keformalan untuk mendapat pengakuan. Lagipula, Ranum tidak terlalu pintar. Sekolah hanya akan membuatnya pusing.
"Num, kamu yakin? Secepat itu?" Tanya Keke, teman dekatnya. Setelah mendengar cerita dari Ranum tentang rencananya yang akan pergi ke Jepang.
"Padahalkan 2 bulan lagi kita ujian...sayang banget tahu Num...." Keke tampak memohon, rasanya gila saja Ranum ingin pindah ke Jepang tanpa alasan yang jelas.
"Iya Ke, aku juga udah bosan disini. Kamu tahu sendirilah...di kelas aku selalu dapat peringkat terakhir. Enggak ada harapan buat aku sekolah. Lebih baik aku ikut kursus memasak setelah itu buka restoran atau kerja direstoran. Sekolah cuma buang-buang waktu..." jelas Ranum.
"Ye....kenapa gak dari waktu itu?" Tanya Keke.
"Ya, ibu baru kasihnya sekarang...."
Keke dan Ranum duduk di kantin, menikmati istirahat mereka sambil makan mie instan kesukaan mereka berdua. Rasanya, waktu indah seperti ini akan berakhir.
Masa SMA adalah masa yang indah walau Ranum tidak terlalu dianggap. Tapi, dia menyukainya. Dia suka semua hal tentang SMA, termasuk....
"Rama tuh..." kata Keke, saat melihat Rama berjalan kearah meja mereka.
Ranum yang melihat Rama langsung gugup, segera dia bangkit dari duduknya berusaha pergi. Namun, lelaki tinggi itu berhasil mencegatnya.
"Num, ada yang mau aku omongin sama kamu..." kata Rama cepat, tanpa berani melihat Ranum.
"Sepulang sekolah, aku tunggu di parkiran..." sambungnya, kemudian pergi begitu saja.
Ranum melihati Rama, punggungnya dan kepergiannya. Ada rasa yang mengganjal disana, ada rasa yang belum terungkapkan dan ia sadar, rasa itu tak akan pernah terungkap.
"Eh, kenapa sih wajah Rama? Kok babak belur gitu? Kelahi dengan siapa dia Num?" Tanya Keke, penasaran.
"Gak tahu..."
"Kalian kenapa sih? Biasanya lengket!" Tanya Keke, saat Ranum kembali duduk didepannya.
Ranum hanya menggeleng, " kamu bilang ke dia? Kalau kamu suka dia?" Tanya Keke.
"Apaan sih, ya enggaklah....!!!" Ketus Ranum.
"Hahaha......."
Ada rasa yang mungkin tak bisa terungkap, hanya tersimpan dalam selembar kertas yang akan terus diam tak berani mengungkapkan. Perasaan Ranum pada Rama tak akan pernah dia ungkapkan, itu janjinya. Dia hanya tidak ingin merusak pertemanan, rasanya...berteman dengan Rama lebih menguntungkannya. Membuatnya bisa lebih mudah dekat dengan Rama dan mendapatkan perhatian. Tapi, kalau ternyata keadaannya seperti sekarang? Bisa apa? Perasaan yang tak pernah terungkap dan Rama pun menjauh darinya.
-
-
-
"Saya minta maaf bu, karena Rama....." perkataan mami Rama berhenti, dia tak berani mengatakannya.
Pertemuan antara ibu Ranum dan mama Rama hari ini mendadak jadi kaku, padahal sebelumnya kedua wanita itu sangat akrab. Ruang tamu Ranum, mendadak dingin. Tak bersuara.
"Tante... Rama minta maaf." Kata Rama tertunduk.
"Sa-sa-saya....juga minta ma-maaf" ucap ibu, terbata.
Dia tahu, karena kehamilan Ranum, Rama pasti akan kehilangan masa depannya. Dia sangat tahu, ayahnya berharap sangat besar pada anak lelaki semata wayangnya itu. Maka dari itu, dia meminta Ranum untuk pergi ke Jepang, agar Rama tidak perlu bertanggungjawab. Rama anak baik, dia tahu bagaimana perasaannya dan keluarganya jika tahu anaknya harus kehilangan masa depan, karena Ranum.
"Rama akan bertanggungjawab tante...." ucapan Rama, membuat Ranum dan ibu tidak percaya. Mereka kira, pertemuan ini sebagai permintaan maaf dan mencari solusi agar Rama tidak bertanggungjawab.
"Hah?" Ibu terkejut.
"Iya bu, aku udah bicarain ini dengan Rama... kurasa kita harus menikah kan Rama dan Ranum. Ini kesahalan Rama, dia harus bertanggungjawab." Jelas mama.
"Ta-tapi gimana papinya Rama?" Tanya ibu.
" kami sudah bicarakan ini, papinya Rama memang mau Rama bertanggungjawab atas perbuatannya...."
Ranum memperhatikan Rama, wajahnya...babak belur, mungkinkah karena papinya? Tapi, pria itu terkenal dengan kebaikan hatinya sebagai dokter, walau dia sangat diktator dalam mendidik anak.
-
-
-
Pembicaraan siang itu, sampai pada kesimpulan bahwa Ranum dan Rama harus segera menikah. Mungkin bisa nanti-nanti, tapi...papi Rama ingin anak sematawayangnya punya tanggungjawab, setidaknya dengan status mereka yang sudah menikah menjadi pengingat bagi Rama bahwa dia memiliki tanggungjawab.
Malam telah menggantikan pertemuan sore yang canggung itu, Ranum merasa sangat bersalah karena dirinya Rama harus dan pasti mengubur impian dirinya, menjadi seorang Engineer. setidaknya, mimpi ayahnya saja tidak bisa terwujud.
"Maafin aku Rama..." ucap Ranum, sat mendatangi Rama yang sedang asik duduk di taman malam itu.
"Eh, Num? Kok tahu aku disini?" Tanya Rama.
"Tadi aku tanya sama mami kamu..."
"Ooohhh..."
"Maafin aku, gara-gara aku kamu harus diusir dari rumah...." ucap Ranum tertunduk.
"Hahaha...apaan sih Num, akukan diusirnya pas udah tamat nanti..." Rama coba untuk menenangkan Ranum.
Ya, Rama didepak dari rumah. Bukan, bukan sekarang...papinya ingin Rama meninggalkan rumah setelah tamat SMA nanti agar dia bisa lebih bertanggungjawab. Hidup dengan Ranum dari nol, dia -papinya- tidak mau ambil pusing dengan Rama dan kehidupannya setelah tamat SMA dan menikah. Karena, perbuatan yang telah dilakukannya sendiri dan dia harus menanggungnya sendiri. Masih untung, daripada di coret dari Kartu Keluarga, tapi.....tidak ada yang menguntungkan. sama saja, seperti dicoret dari Kartu Keluarga.
"Tapi tetap aja...gimana dengan kuliah kamu? Karena aku..." Ranum tertunduk. Mendadak dia merasa bersalah.
Rama melihati Ranum, dia tersenyum kala melihat Ranum tertunduk. Dia mungkin tak pernah bermimpi untuk menikah apalagi memiliki anak, tapi...saat melihat Ranum dan menyadari kalau perempuan itu tengah hamil, Rama jadi berpikir ulang.
"Gimana kalau kita....periksa lagi? Jangan-jangan cuma salah testpack nya..." kata Ranum, mendadak dia dapat ide dan bahagia. Sontak langsung mengarahkan wajahnya pada Rama yang masih melihatinya. Mata mereka, bertemu. Mendadak meleleh, tatapan Rama kali ini beda.
Degupan tak bisa dibendung, Rama mendekatkan wajahnya, memegangi pipi Ranum yang berhiaskan jerawat-jerawat kecil yang membuat pipinya selalu terlihat kemerahan.
Lelaki itu semakin mendekatkan wajahnya, rasanya mencintai Ranum adalah hal yang mudah. Dia selalu punya cara untuk membuat orang lain tergila-gila padanya.
Ranum mendorong tubuhnya kebelakang, membuat Rama tak percaya dan malu. " kamu....mau gak?" Tanya Ranum.
"Hah? M-mau..." jawab Rama cepat.
-
-
-
Sepulang sekolah Ranum sudah menunggui Rama diparkiran, beberapa teman Rama menggodanya. Keluguan Ranum, membuat orang lain doyan untuk mempermainkannya.
"Nunggui Rama ya?" Tanya Kevin, teman sekelas Rama.
Ranum hanya mengangguk, sambil memegangi botol minumnya dia duduk diatas motor Rama.
"Pulang sama aku aja, mau?" Tanya Kevin. Ranum hanya menggeleng cepat dan tersenyum saat melihat Rama muncul dari belakang Kevin.
"Hoi...." sapa Rama, pada Kevin.
"Ahelah, lo...gue lagi ajakin Ranum nih..." ketus Kevin.
"Gue ada urusan sama Ranum..." kata Rama, berusaha menghidupkan motornya.
"Bye..."
-
-
-
Ibu dan mami tengah sibuk menyiapkan berkas-berkas pernikahan anak mereka, seharusnya pernikahan adalah hal yang paling ditunggu oleh orang tua namun kali ini. Mereka tampak murung, rasanya kebahagiaan anak mereka harus direnggut begitu saja, ini kesahalan orang tua. Ah, seandainya.... tapi, apalagi yang harus disesali.
Ranum sudah pasti, tidak akan melanjutkan kuliahnya setamat SMA nanti. Sedangkan Rama? Mungkin papinya harus mengubur dalam-dalam impiannya agara Rama bisa kuliah kedokteran di Belanda. Apalagi saat menyadari, kalau papinya tak akan membiayai sepeserpun kehidupan Rama. Tak ada pilihan, hanya kenyataan pahit yang harus dihadapi.
Nikah muda? Tapi tidak semuda ini, Ranum dan Rama hanya diam. Sepulang dari rumah sakit mereka tak tahu harus berkata apa, saat dokter memberikan hasil USG yang mengatakan kalau Ranum benar hamil. Ditambahlagi, kejadian di rumah sakit, membuat mereka ketakutan.
Di rumah sakit, seorang ibu yang tengah hamil tiba-tiba mengalami perdarahan. Ranum mendadak ngeri, suaminya tak ada. Katanya kalau suaminya melarikan diri karena tidak siap menjadi ayah. Mendengar hal itu, Rama jadi kasihan sama Ranum. Dirinya juga belum siap menjadi ayah dan dia berandai-andai bagaimana jika dia berubah pikiran sewaktu-waktu dan meninggalkan Ranum dikala hamil tua seperti itu.