Wisnu Abrisam

1185 Words
Syaqila sedari tadi menghela nafas panjang dengan perasaan cemasnya. Gadis itu bergerak tidak tenang di kamarnya. Berdiri di dekat jendela, lalu berbalik mendudukan diri di kasurnya. Begitu seterusnya ia lakukan sampai lelah sendiri. Gadis berkerudung itu mendekat ke arah cermin. Memandangi pantulan dirinya yang kini memakai seragam putih abu-abunya. Sejujurnya Qila tidak mau beranjak dari kamarnya sekarang. Tidak ingin juga kembali ke tempat yang bernama sekolah umum. Entah kenapa ia masih merasa takut. Merasa sulit untuk berinteraksi dengan teman-teman sekolahnya nanti. Setelah beradu argumen dengan orang tua angkatnya. Dan setelah beberapa hari ia memikirkan dan menimang-nimang untuk lebih memberanikan diri untuk kembali ke sekolah. Akhirnya, sekarang. Saat ini, gadis itu akan kembali menjadi salah satu murid SMA dan bisa berada di tempat menimba ilmu itu. Memilih mengesampingkan lukanya dan berusaha acuh dengan traumanya. "Syaqila." Panggilan dari luar kamarnya membuat gadis berkerudung itu bergerak meraih ransel hitamnya di samping tempat tidur. Dengan menyempatkan menghela berat, tangannyapun terulur membuka pintu membuat mamanya sontak tersenyum manis memandangnya. "Beneran udah siapa, kan?" "Iya, mah." Azura kembali tersenyum lalu menarik lengan ponakannya itu dan menuntunnya menuruni undakan tangga. Wanita berkerudung yang memiliki empat orang anak itu sesekali menoleh dan memperbaiki seragam Syaqila. Dengan bibirnya yang tidak henti-hentinya tertarik ke atas membentuk senyuman. Merasa bahagia bisa melihat gadis di sebelahnya ini akhirnya sedikit berani untuk kembali ke sekolah umum seperti anak-anak seusianya. "Hari ini sebenarnya kamu belum masuk kelas. Harus pergi mendaftar dulu dan papa kamu juga akan mendampingi kamu di sana nantinya," jelas wanita itu dengan meraih tupperware berisi makanan dan memasukannya ke dalam totebag. "Jangan jajan sembarangan, mendingan kamu bawa bekal dari rumah." Tambahnya lalu menyodorkan totebag hitam itu ke arah Syaqila. "Hari ini perginya cuma satu jam-an, jadi gak perlu bawa bekal." "Oalah. Beneran cuma sejam?" Syaqila mengangguk lemah membuat Azura memukul jidatnya sendiri gemas. Merutuki diri sendiri, kenapa terlaku heboh begini. "Yasudah, papa kamu sudah tunggu di depan. Mama gak bisa ngantar harus mandiin Arlan dan Erlan." Ujarnya merasa bersalah. "Gakpapa, mah." Balas Syaqila lalu melangkah keluar dengan membelakangi Azura yang masih menatapnya sendu. "Belum pernah sekalipun tuh anak senyum." Lirihnya lalu tersentak saat mendengar dua anak kembarnya menangis di dalam kamar. Wanita mungil itu pun sontak melompat dan buru-buru berlari ke kamarnya. Syaqila menggigit bibir memandangi pemandangan depan rumah yang kini lebih nyata di depannya. Karena selama ini ia hanya bisa melihatnua dari atas jendela kamarnya. Qila melangkah ke halaman hendak menemui Alvaro. Namun, gadis itu mengerjap kaget melihat sosok jangkung yang kini tengah mengobrol dengan papanya itu. Syaqila makin mencengkram roknya saat tetangganya itu menoleh ke arahnya dengan tatapan aneh, yang sulit dimengertikan. Syaqila merasa pemuda itu melemaskan bahunya seperti kecewa. Syaqila tidak paham. Kembaran Syahid dan Syahir itu menipiskan bibir lalu melangkah masuk ke mobil dengan menyempatkan melirik pemuda yang kini mengacak rambutnya kasar. Sosok berahang tegas itu kembali melirik ke arah mobil membuat Syaqila buru-buru mengalihkan pandangan. Pura-pura sibuk memainkan jemarinya. Padahal hampir ketangkap basah memperhatikan cowok jangkung berhidung bangir itu. Pintu depan mobil terbuka membuat Syaqila menegakan tubuh dan menipiskan bibir saat Alvaro menatapnya heran. "Kenapa gak duduk sebelah papa? Berasa papa supirmu ini." Celetuk pria berkacamata itu membuat Syaqila mengatupkan bibirnya rapat merasa bersalah. "Gakpapa, hari ini papa emang berniat jadi supir Syaqila karena Qila akhirnya mau kembali ke sekolah." Tambahnya dengan tersenyum hangat. Lalu berbalik dan menarik gas pergi. Syaqila menghela panjang lalu melirik kecil jam tangannya. Gadis itu mengerutkan kening baru sadar. Sosok jangkung tadi masih memakai seragam sekolah tapi kenapa berkeliaran di rumah. Padahal hampir jam sembilan. "Apa dia sakit?" ********** Hujan turun dengan derasnya membuat beberapa mahasiswa yang sedang bermain di lapangan sontak membubarkan diri dan berteduh di kelas. Banyak dari mereka yang memilih tetap basah-basahan. Lagian hari ini dosen mereka berhalangan hadir. Diantara para mahasiswa yang sedang berteduh. Ada sosok jangkung dengan wajah pucatnya berdiri memandangi hujan dengan sendunya. Lingkaran dibawah matanya nampak hitam dengan rambutnya yang terbungkus snapback terlihat acak-acakan tidak terurus. Pemuda berkulit putih bersih itu membasahi bibir bawahnya. Kelopak matanya makin sayu saat percikan air hujan mengenai wajah tampannya. Sosok yang dulu selalu rapi dengan seragamnya itu. Kini nampak kelelahan, dengan terlihat kumis tipisnya yang belum ia cukur. "Woi. Itu bukannya si Wisnu yang katanya jadi mucikari itu ya?" "Hah? Emang iya. Yakali, gak usah ngarang lo." "Beneran g****k. Dia itu di sekolahnya jadi penyedia jasa jual cewek gitu. Dia yang siapin hotel juga." "Wah. Gila sih," "Katanya dia pernah bunuh banyak orang." "Bukan pernah lagi. Emang dia baru bebas dari penjara," Pemuda jangkung yang masih berteduh itu kini merunduk dengan tatapan sayunya. Beberapa mahasiswa kini menjadikannya tontonan dan terang-terangan mencibir padanya. "Gak tahu malu sih." "Kalau dia kuliah sekarang, entar dia kerjanya jadi apa?" "Jadi pembunuh lah, hahahha." Pemuda yang tidak lain adalah Wisnu itu berbalik dengan mencoba tidak menghiraukan omongan teman-teman kampusnya. Alumni sekolah Aurora itu sama sekali tidak pernah kepikiran untuk membungkam mereka ddngan tinjunya karena memang semua yang mereka katakan benar adanya. Wisnu hendak berbelok ke koridor namun tubuhnya terdorong kasar sampai pemuda itu tersungkur dalam lumpur. Semua yang berada di sana sontak tergelak dengan bergerak mengeluarkan ponsel mereka masing-masing dan mengabadikan momen memalukan bagi Wisnu itu. Wisnu mengeraskan rahang. Berusaha beranjak dari tempat terjatuhnya. Pemuda itu menelan salivanya kasar melihat bajunya sudah basah dan kotor karena lumpur di lapangan itu. Bahkan, wajahnya kotor tanpa sisa. "Gakpapa." Lirihnya berusaha menyemangati dirinya sendiri. "Elo emang pantas diperlakukan kayak gini. Ini gak sebanding sama perbuatan lo dulu." Gumamnya dengan menyalahkan diri sendiri. Pemuda itu pun merunduk dan meraih ranselnya sembari ia melangkah keluar menuju gerbang diikuti sorakan dari teman-temannya yang mengejeknya. Wisnu berjalan ke arah halte dengan berdiri menunggu angkutan umum di sana. Pemuda itu kembali menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar. Selama hidupnya dan selama kebebasannya dipenjara. Pemuda itu sama sekali belum merasa tenang. Masih merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Wisnu mengerjap samar saat melihat dua remaja berseragam putih abu-abu menghentikan motornya dan ikut berteduh bersamanya di halte. "Gue tadi udah bilang kan mau turun hujan. Tapi elo masih kekeuh mau pergi, basahkan jadinya." "Apasih. Kan cuma mendung, mana tahu hujannya juga ikut turun." "Emang b**o dasar." "Iya gue b**o, elo pintar. Apasih gue ini cuma ampas, beda kasta sama lo yang pintarnya ngalahin barak Okama presiden amerika itu." "Obama, OBAMA?! Begonya jangan kemana-mana dong, astaga. " Wisnu hanya menarik diri. Pura-pura tidak mendengar perdebatan keduanya. Salah satu dari mereka menoleh lalu melompat kecil sembari memekik takut melihat Wisnu. "Apasih g****k?!" Umpat temannya karena ikut kaget melihat ia yang sudah melompat takut. Wisnu hanya mengerjap aneh tidak tahu kenapa keduanya jadi memandangnya takut. "Astaga gue kirain setan tadi. Abis mukanya penuh lumpur njirr, mana bola matanya putih lagi. Tambah horor astaga." Cerocos remaja itu sudah memegang dadanya lebay. "Bang itu mukanya dibersihin dulu kek astaga. Untung gue gak punya penyakit jantung nih." Tambahnya lalu merogoh kantong celananya sembari mengeluarkan sapu tangan miliknya. "Elo masih pake sapu tangan?" "Diem." Potongnya lalu menyodorkan sapu tangan putih itu pada Wisnu membuat Wisnu meraihnya ragu. "Gak perlu terima kasih, bang. Gue emang sedermawan ini anaknya." Katanya dengan membusungkan d**a membuat teman di sampingnya menarik diri. Mendadak tidak mengenalinya. "Makasih." "Santuy bang. Masih banyak sapu tangan di rumah," tambahnya lagi dengan menyengir lebar. "Oi. Udah reda hujannya nih." "Bang. Kita pamit ya," Wisnu mengangguk lalu bergumam sesuatu membuat dua remaja itu kembali menoleh ke arahnya. "Nama lo siapa dek?" "Lee min hoo, bang. Heheh gak deng becanda. Nama gue Arrayan, panggil Rayan aja bang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD