Elhaq Ibrahim

1012 Words
Pemuda jangkung itu melangkah menuruni tangga rumahnya dengan mengancing seragamnya. Tangannya tergerak menyisir rambut agak panjangnya ke belakang sembari mengacak-ngacaknya lembut. Matanya tertoleh pelan ke belakang dapur, tidak ada siapapun di sana berarti mamanya sudah berangkat kerja. Begitupun dengan ayahnya yang merupakan seorang dosen di salah satu kampus sudah tidak berada di rumah. Keduanya pasti berangkat pagi-pagi sebelum dirinya bangun tidur. Pemuda beralis tebal itu sekilas memperbaiki name tagnya. Tertera nama Elhaq Ibrahim di sana. Elhaq melangkah keluar dengan terburu-buru sembari menutup pintu rumahnya rapat. Pemuda yang memakai seragam putih abu-abunya itu melongokan kepala memandang ke jendela rumah tetangganya. Jendela kamar lantai atas. Bibirnya tersenyum samar melihat sosok berkerudung yang tengah memejamkan matanya dengan tangan yang terulur keluar menikmati hembusan angin pagi. Pemuda itu mengulum bibir dengan merutuki diri sendiri. Entah kenapa akhir-akhir terus-terusan bersikap bodoh. Diam-diam memperhatikan gadis aneh itu. Gadis yang belum pernah sekalipun ia lihat keluar dari rumah sana. Hanya duduk di dekat jendela kamar menikmati matahari terbit ataupun menikmati senja sore. Rutinitas gadis itu setiap harinya. "Astaga gue telat." Paniknya saat melihat jam tangannya yang tertera jam setengah delapan disana. Pemuda itupun sontak berlari ke halaman menuju pagar walau menyempatkan menoleh memandangi gadis misterius di atas jendela sana. "Sampai ketemu nanti, gadis aneh." Gumamnya entah pada siapa lalu dengan cepat ia berlari menyusuri jalan. Untungnya sekolahnya dekat dengan rumahnya. Hanya berjarak dua kilo meter lebih. Elhaq menarik nafas panjang dengan mengusap keringatnya dengan punggung tangan lalu kembali melangkah ke koridor menuju kelasnya. Pemuda itu tidak henti-hentinya menghembuskan nafas. Merasa lelah berlari sedari tadi. "Oi El, nanti pulang sekolah kita ke-" "Gak bisa. Gue harus langsung pulang," mendengar itu temannya mendecak kesal lalu mengekorinya sampai ke depan kelas. "Akhir-akhir ini lo kenapa sih pulang cepat mulu. Biasanya lo kesepian di rumah karena bokap sama nyokap kerja," cibir temannya dengan memicingkan mata menatap Elhaq curiga. "Ada urusan pokoknya." Balasnya seadanya lalu melangkah masuk ke kelas dengan menyempatkan melangkah ke arah jendela kelas. Tatapan matanya memicing memperhatikan kaca jendela kelasnya yang terbuka. Bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman. "Emang semenyenangkan itu duduk dekat jendela? Sampe dia gak keluar-keluar kamar." Cibirnya dengan bibir melengkung sempurna memandangi pemandangan di belakang kelasnya. "Sebenarnya dia kenapa ya? Dia siapanya Arrayan." Gumamnya masih bermonolog sendiri. Selalu penasaran dengan gadis yang ia lihat di rumah Arrayan tetangganya itu. Bel masuk berbunyi membuat pemuda berhidung bangir itu berdecak samar. Entah kenapa malas untuk mengikuti kelas hari ini. Pemuda itu tersentak sendiri. Apa sebaiknya dia bolos saja hari ini. Atau ijin sakit agar bisa pulang cepat. "Elhaq Ibrahim?" Tegur sang guru menatapnya lurus. "Iya, bu." Balasnya kaget karena dipanggil tiba-tiba membuat teman-temannya menatap ke arahnya. "Kenapa muka kamu pucat? Kamu sakit?" Elhaq mengerjap lalu tanpa dosa menganggukan kepalanya lemah. "Yasudah kamu ke UKS saja." "Bu. Saya boleh ijin pulang aja gak bu?" Kata pemuda itu jadi memberanikan diri, meneguk ludah samar karena deg-degan juga. Selama ini ia tidak pernah berani meminta ijin begini untuk pulang, sekalipun ia sedang tidak enak badan. "Kenapa. Kamu beneran gak kuat?" Tanya sang guru cemas. Elhaq mengangguk pelan membuat sang guru mendesah panjang. "Kamu harus jaga selalu jaga kesehatan. Kamu kan gak pernah absen atau ijin selama ini," tutur gurunya pelan. "Yasudah sebaiknya kamu istrahat di rumah. Langsung ke rumah sakit ya," "Iya, bu." Balasnya cepat dengan wajah berbinar lalu mengambil ranselnya lalu buru-buru melangkah keluar. Sampai di koridor pemuda itu sontak berlari cepat membuat sang guru yang masih menatap kepergiannya melotot kaget. "Orang sakit bisa lari sekencang itu?" _______ Elhaq berjalan pelan dengan menelan saliva kasar. Seumur-umur pemuda itu belum pernah yang namanya sakit bohongan begini. Ini perdananya seorang Elhaq Ibarahim membohongi guru hanya karena ingin cepat pulang ke rumah. Pemuda jangkung itu membuka pagar lalu berjalan ke halaman dengan menyempatkan memandang ke jendela putih yang sudah tertutup rapat itu. Elhaq melemaskan bahunya kecewa, merasa kepulangannya ke rumah sia-sia. "Percuma gue pulang cepat. Dianya gak ada," mirisnya lalu melangkah menuju rumahnya namun terhenti saat kucing orange milik Arrayan menghadang jalannya. "Roi napa disini?" Tanyanya dengan berjongkok meraih tubuh mungil si kucing. "Lagian nama lo kenapa Roi sih, padahal kan betina. Emang dasar majikan lo gesrek." Cibirnya dengan membelai lembut bulu halus Roi. "Kenapa lo keluar. Kan gak dibolehin keluar rumah lo." Tambahnya lagi masih mengobrol dengan kucing yang hanya mengeong-ngeong menyahut omongannya. "Elhaq." Elhaq menoleh sembari sontak tersenyum ramah ke arah pria berkacamata di depannya kini yang melangkah mendekat ke arahnya. "Om Alvaro, mau kemana?" Tanyanya pemuda itu tersenyum ramah pada sosok jangkung di depannya. "Mau pergi keluar sebentar. Kamu udah pulang sekolah? Tumben cepat," Elhaq tertawa hambar dengan menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Tadi ijin sakit, om. Lagi gak enak badan," balasnya dengan mengulum bibir membuat pria bernama Alvaro itu tersenyum saja. "Oh iya, nama sekolah kamu Pertiwi kan yang dekat sini?" "Iya, om." "Bagus dong. Berarti nanti ponakan Om satu sekolahan sama kamu, sekalian Om mau minta tolong buat jagain dia." Elhaq mengerjap samar dengan hilang kata. Pemuda itu melirik ke pintu melihat seorang gadis sudah siap dengan seragamnya dan juga ransel hitamnya. Elhaq menelan salivanya kasar lalu menolehkan kepala ke arah Alvaro. "Selama ini dia home schooling. Dan alhamdulillahnya sekarang mau sekolah umum lagi di pertiwi." Bisik Alvaro membuat Elhaq melemaskan bahu lalu diam-diam melirik gadis berkerudung yang sekilas menatapnya dingin. "Jadi sekarang Om mau ke sekolahku nih?" "Iya. Kan hari ini mau daftarin dia, sekalian nanti dikenalin sekolah barunya biar gak terlalu takut dianya," "Nyesal gue." Lirih Elhaq dengan melepaskan Roi dalam pelukannya dengan melirik mobil hitam di sampingnya. "Om berangkat ya." Tutur Alvaro lalu masuk ke dalam mobil sembari kemudian menarik gas pergi. Elhaq mengangguk lemah dengan memandangi mobil hitam itu nanar. Pemuda itu menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal, mondar-mandir tidak tenang dengan menghela napas gusar membuat kedua pipinya mengembung kecil. Ia pun berjongkok di halaman rumah, kemudian kembali berdiri lagi. Bibirnya berulangkali bergumam, merapalkan kata 'pergi' atau 'tidak'. Padahal ia sudah sampai pulang begini, dan drama sakit seperti sekarang. Niat hati ingin bertemu dengan Syaqila atau sekedar mengobrol dengan gadis itu saat di rumah. Ternyata ekspektasinya tidak sesuai dengan kenyataan. "Apa gue balik lagi aja, ke sekolah?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD