Part 1

3422 Words
"Kamu bekerja dimana ya?" tanya Alexa teman kuliahnya Alfa. "Saya cuma ibu rumah tangga biasa saja!" Jawaban Zia membuat seluruh yang ada di meja itu tertawa terbahak-bahak, Bahkan Alfa juga kini ikut tersenyum dengan canggung padahal yang sedang mereka tertawakan adalah istrinya sendiri. "Ya, ampun hari gini gak jadi wanita karir itu gak berkelas. Minimal bekerja di kantoran, masa istri seorang Alfa hanya sebagai ibu rumah tangga biasa." Celetuk Fani dengan tawanya yang masih keluar dari mulutnya. Hati Zia merasa sakit ketika pekerjaan dirinya dianggap rendah, Alfa hanya menatapnya dengan tatapan tajam. "Bukanlah Alfa yang dulu kita kenal seleranya tinggi, lah kenapa sekarang istrinya hanya ibu rumah tangga biasa. Aku gak habis pikir." Timpal Dea dengan memegang perutnya yang sakit karena kebanyakan tertawa. Malam ini ada acara ulang tahun salah satu teman kuliahnya Alfa, mereka sering bertemu sekalipun mereka sudah lama lulus kuliah. Ini juga pertama kalinya Zia diajak oleh Alfa, karena desakan teman-temanya yang ingin tahu sosok istrinya. "Lain kali kita perawatan bareng yuk!" ajak Fani pada Zia. "Maaf, saya jarang perawatan karena sibuk dengan pekerjaan rumah!" "Alfa, Alfa, kamu ini punya istri apa pembantu sih!" hina Aldo, teman Alfa yang sedang ulang tahun. Karena jengah dengan teman-temannya yang selalu mengolok-olok dirinya, akhirnya mereka pamit sebelum pesta selesai. Kini Alfa dan Zia pulang dalam kesunyian tidak ada yang memulai percakapan, tapi Zia yakin saat ini suaminya sedang memendam kemarahannya. "Kamu tuh kenapa sih dari tadi diam terus?" keluh Zia karena sudah tidak tahan melihat suaminya diam bahkan saat ini mereka di atas tempat tidur yang sama. "Harusnya tadi aku tidak mengajakmu ke sana, kamu itu udah bikin aku malu. Dan dengan bangganya kamu bilang pada mereka kalau kamu hanya sebagai ibu rumah tangga biasa!" "Oh, jadi kamu merasa malu karena status pekerjaanku?" "Iya, bukan hanya malu aku merasa tidak punya harga diri di depan mereka. Bodohnya aku dulu menikah dengan kamu!" Ucapan suaminya membuat Zia menunduk, apa menjadi ibu rumah tangga biasa begitu membuat malu suaminya? padahal dia suka memuji masakanku yang enak ketika dia pulang dari kantor, memujinya saat melihat rumah bersih, memujinya saat melihat Ana-anaknya- yang semakin hari tumbuh dengan sehat. "Apa kamu pikir pekerjaan ibu rumah tangga adalah pekerjaan hina? padahal dulu kamu selalu memujiku dengan diriku yang seperti ini, tapi sekarang kamu mempermasalahkan itu semua!" "Yang aku mau, istriku menjadi wanita karir yang akan mengimbangi kehidupanku, jika ada pesta seperti tadi aku bisa memamerkan pada dunia bahwa istriku juga hebat bukan seperti kamu yang bangga menjadi ibu rumah tangga biasa!" Baru saja Zia membuka mulutnya untuk membalas perkataan Alfa, namun di urungkan karena Ana menangis dengan keras, mungkin tidurnya terganggu karena suara keras kami berdua. Alfa keluar kamar dengan kesal, ia tak habis pikir bisa menikahi Zia yang hanya wanita biasa bukan wanita karir. Padahal dulu seleranya bukan seperti Zia, rambutnya diremas frustasi. Sungguh ia merasa malu di depan teman-temannya tadi. Paginya Zia menyiapkan bekal untuk Alfa, seperti biasa dia membuatkan nasi goreng kesukaan suaminya itu, tapi saat akan di masukan ke dalam tas kerja Alfa, ia menolak membawanya. "Kenapa gak mau dibawa?" "Aku bukan anak TK yang harus membawa bekal, aku malu!" jawabnya dengan datar. Zia hanya menunduk ketika dia menghina dirinya, apa yang sebenarnya terjadi? kenapa sekarang suaminya berubah? Semenjak suaminya berubah, Zia memutuskan untuk mencari pembantu agar pekerjaan rumahnya sedikit ringan dan ia bisa memoles wajahnya lebih cantik lagi. Suaminya bukan tipe suami pelit, selama ini ia sering mendapatkan uang lebih, tapi enggan untuk memakai hal yang tidak penting. Namun saat ini sesuatu hal yang tidak penting itu ternyata menjadi pemicu keretakan rumah tangganya, hari ini Ana dititipkan pada ibunya, ia sendiri pergi ke yayasan yang di sarankan teman kuliahnya dulu. Dulu Zia lulusan kuliah, namun setelah menikah ia memutuskan untuk mengurus rumah tangganya dengan baik, tapi sekarang pengorbanannya sia-sia. "Permisi! ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang wanita paruh baya, yang menyambutnya ketika sampai di halaman sebuah yayasan. "Oh iya, saya sedang membutuhkan asisten rumah tangga untuk bekerja di rumah saya! apa ibu ada seseorang yang di rekomendasikan?" "Ibu datang di hari yang tepat, kebetulan kemarin ada ibu-ibu yang datang ke sini dari kampung, dia sedang membutuhkan pekerjaan." Setelah berbasa-basi dengan pemilik yayasan, akhirnya ia bertemu dengan Bi Idoh, wanita paruh baya yang sopan dan kelihatannya baik. Selesai membuat kesepakatan, Zia langsung membawa Bi Idoh ke rumahnya, tidak lupa menjemput Ana terlebih dulu. "Bi, ini rumah saya! semoga bibi betah kerja di sini ya!" "Baik, Bu! dan semoga pekerjaan saya juga tidak membuat ibu kecewa, saya mengucapkan terima kasih karena sudah memberi pekerjaan untuk saya!" ungkapnya dengan sedikit haru. "Sama-sama, Bi! saya antar ke kamar bibi, yuk!" Hari menjelang sore, Alfa terlihat memarkirkan mobil mewahnya di halaman rumah. Zia sedang main dengan Ana di ruangan tengah, harum masakan menyeruak ke segala penjuru rumah, begitu juga dengan Alfa yang tiba-tiba saja perutnya menjadi lapar. "Aku pulang!" serunya sambil membuka pintu dengan lebar. "Sore, Mas!" sapa Zia sambil menggendong Ana. Alfa mematung melihat istrinya yang berada di ruangan tengah, lalu siapa yang memasaknya? apa ibu mertuanya datang? Tiba-tiba Bi Idoh datang dari dapur membawa masakan yang baru di masaknya, terlihat dari asap kecil yang menguap dari dalam mangkuk. "Ini pasti Pak Alfa ya? perkenalkan saya Bi Idoh asisten rumah tangga di rumah ini!" "Oh!" Alfa mulai menelisik penampilan istrinya dari ujung kepala sampai ujung kaki, tidak biasanya ia memakai dress yang dulu ketika pacaran sering ia pakai. Wajahnya juga dipoles sedikit sentuhan make up, meskipun hanya tipis. "Kamu mau kemana?" tanya Alfa dengan matanya yang memicing. "Gak kemana-mana, memangnya kenapa?" "Gak biasanya kamu dandan kayak gitu!" Alfa berlalu meninggalkan Zia namun pikirannya masih tertuju pada istrinya itu, dia menghembuskan nafasnya pelan, membuang pikiran tentang Zia yang berubah. Tak berselang lama, mereka bertiga makan bersama, hanya terdengar denting sendok yang mengenai piring. Ana sedang di suapi Bi Idoh dalam meja yang sama, Alfa hanya fokus pada makanannya, ia seperti orang yang tidak makan selama tiga hari. Dering ponsel Zia tiba-tiba memecah kesunyian, senyumnya sumringah. Ia bangkit sedikit menjauh dari meja makan, sikap Zia tak luput dari pandangan Alfa, bahkan kini sendoknya mengambang di antara mulut dan dagunya. Terdengar sesekali Zia tertawa lepas, entah kenapa hati Alfa merasa curiga dengan perubahan istrinya itu, pelan dia mendekati Zia berdiri di hadapannya. "Udah dulu ya, besok kita ketemu di tempat biasa!" Ia menutup teleponnya setelah Alfa menatapnya tajam, "Ada apa?" "Barusan bicara dengan siapa? kok langsung di tutup?" "Teman!" jawab Zia singkat sambil berlalu kembali ke meja makan. "Pagi-pagi udah dandan mau kemana?" "Mau ketemu temen lama, kebetulan dia baru pindah ke Jakarta." "Oh, lalu Ana, kamu bawa?" "Ya, enggaklah, nanti aku titipin sama Ibu! takutnya ia rewel kalau aku ajak, lagian juga hari ini sedikit sibuk akan pergi ke beberapa tempat!" jawab Zia sambil menata rambutnya yang di gerai. Zia pergi ke bawah membawa Ana, di susul suaminya mengekor yang masih memakai kaos oblong. "Bi, nanti untuk sarapan mas Alfa menunya ada di pintu kulkas, saya sudah buatkan daftarnya, oh iya tidak perlu memberinya bekal ia tidak suka." "Baik, Bu!" "Mas aku berangkat, jangan lupa sarapan. Usahakan makan yang banyak, makanan di luar belum tentu bersih." Alfa hanya diam melihat penampilan istrinya, entah dari mana ia mendapatkan baju yang seperti itu, padahal selama ini ia tidak pernah melihat istrinya memakai baju seperti itu. "Bisa ganti gak baju kamu itu?" Zia melihat penampilannya, memutar badannya dengan bingung! "Baju ini bagus kok, bukankah kamu lebih suka melihat perempuan yang memakai baju dress selutut seperti ini dibanding aku yang suka berpenampilan biasa?" Alfa mengalihkan pandangannya ke arah lain, berdehem menetralkan suaranya yang mendadak gemetar. "Ya sudah aku berangkat!" Zia mencium pipi suaminya sekilas. Di sisi lain, seseorang menunggu kedatangan Zia. Ia menyesap capuccino dengan elegan, kaca mata hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Taksi yang ditumpangi Zia sampai di halaman rumah yang cukup luas, ia turun dengan tergesa menyuruh taksi untuk menunggunya. "Bu, aku nitip Ana sebentar!" "Kamu mau kemana? tumben Ana gak diajak!" "Ada urusan sebentar, Bu!" "Ya sudah hati-hati ya." Zia mengangguk seraya mencium kening Ana dan berlalu pergi. Taksi melaju dengan pelan karena jalanan mulai macet. Tiba di Restoran, ia melambai pada seseorang yang duduk dengan santainya. "Udah nunggu lama?" "Lumayanlah, ternyata kamu tidak berubah!" "Sorry, barusan abis nitipin Ana dulu ke rumah Ibu." "Sarah! aku perlu bantuan kamu?" Ya, Zia bertemu dengan Sarah, teman kuliahnya dulu. Sarah belum menikah, ia lebih memilih menjadi sugar baby untuk pria yang berduit. "Antar aku bertemu dengan Ayahku!" "What?" seketika Sarah membuka kaca matanya. "Ayolah, Sar temenin aku ya?" "Gimana ya? jujur nih kalau datang ke sana, rumahnya terlalu seram." "Seram, bagaimana?" "Semua orang di sana pada bawa pistol semua, aku 'kan jadi takut!" "Kita 'kan datang baik-baik, lagipula aku lagi butuh bantuan dia. Aku mohon ...." "Kamu yakin, bokap kamu mau nerima kita?" Zia mengangguk cepat, ia yakin ayahnya pasti akan membantu. Setelah membujuk Sarah, kini mereka sudah berada di depan sebuah rumah besar dengan banyak pengawal, Sarah yang termasuk cewe bar-bar nyalinya ciut seketika. Zia turun dari taksi, berdiri di depan pagar yang menjulang tinggi, salah seorang security mendekatinya. "Maaf, anda siapa dan mau bertemu dengan siapa?" "Saya, Zia Seraphina Skarsgard mau bertemu dengan Pak William." Tanpa banyak bicara security itu langsung membuka pagar dengan lebar, menunduk meminta maaf jika dia tidak mengenali wajah anak dari sang Tuan rumah. "Maafkan, saya, Nona! ini pertama kalinya saya bertemu dengan anda." "Gak papa, apa ayah saya ada di dalam?" Pria itu mengangguk dengan cepat, ia mengantar Zia sampai teras rumah, setelah mendapatkan penjelasan salah satu pengawal yang ada di rumah itu mengantarnya ke taman belakang. Sarah sesekali melihat ke arah belakang, ia mengekor tanpa banyak bicara, di rumah ini memang terasa dingin karena semua orang terlalu fokus pada pekerjaannya masing-masing. Ketika berpapasan dengan para pelayan, mereka sedikit membungkuk padanya, kebetulan ada sebagian pelayan yang sudah mengetahui kalau Zia adalah anak dari tuan rumah. Seorang pria paruh baya sedang duduk menikmati bunga matahari yang sedang bermekaran, asap dari cerutu yang ia hisap mengepul dan menguap terbawa angin. Matanya memicing ketika Zia sudah berada di hadapannya, sebuah senyuman terukir dari bibir atasnya. "Zia!" "Ayah!" William bangkit meraih tubuh Zia ke dalam pelukannya, permasalahan keluarganya dulu begitu rumit sehingga membuat Zia dan ibunya pergi dari rumah ini. Ya, William menikah lagi tanpa sepengetahuan ibunya, saat semuanya terbongkar Zia di bawa pergi. Zia jarang bertemu dengan ayahnya kecuali dalam keadaan mendesak, karena tanpa diminta pun William masih bertanggung jawab membiayai Zia sampai lulus kuliah. Terakhir bertemu ketika Zia meminta izin akan menikah dan meminta ayahnya untuk hadir sebagai walinya, dengan syarat tidak memperlihatkan status keluarganya yang memang keturunan bangsawan. "Ayah senang kamu berkunjung ke sini, apa kabarmu, Nak? ah, biar ayah tebak pasti kamu sedang membutuhkan ayahmu ini bukan?" Zia merasa malu ketika ayahnya berkata seperti itu, katakanlah dirinya egois karena datang kesini ketika merasa terdesak saja, tapi di sisi lain dirinya merasa kecewa pada sikap ayahnya yang sudah mengkhianati cinta ibunya. "Kamu, Sarah ya?" matanya melihat Sarah dengan ekspresi sedang mengingat-ngingat teman putrinya itu. "I-iya Om, saya Sarah! senang bisa bertemu Om kembali." William mengangguk dua kali. Sarah selalu saja merasa gugup jika berkunjung ke rumah ini, bukan karena ayahnya Zia tidak baik, tapi karena banyak pengawal yang selalu menatapnya penuh kewaspadaan. Wiliam mengajak putrinya menuju ruangan pribadinya, sedangkan Sarah di ajak ke dapur oleh para pelayan karena dia mengeluh mendadak lapar. "Apa yang bisa Ayah bantu?" "Aku ingin memegang salah satu perusahaan Ayah!" William menatap anaknya dengan lekat, tidak ada keraguan dalam matanya, tapi kenapa tiba-tiba putrinya menginginkan perusahaan? padahal dulu ketika ia menawarkan semua fasilitas yang akan diberikannya, ia menolak keras dan lebih memilih hidup sederhana dengan ibunya. "Kenapa? apa ada masalah dengan rumah tangga kamu?" Dengan terpaksa Zia menceritakan semuanya, terlihat wajah ayahnya sedikit menegang, bagaimana juga tidak ada seorang pun yang boleh menghina putri kesayangannya itu. "Baiklah, Ayah akan memberimu satu perusahaan terbesar yang Ayah miliki. Sepertinya suamimu itu perlu di beri pelajaran, enak saja dia menghina putri ayah satu-satunya!" geramnya dengan gigi gemelutuk. Wiliam menghubungi asistennya agar mengurus semua kebutuhan Zia, dia tidak ingin putrinya kesulitan ketika memulai pekerjaannya itu. "Tante Vera kemana?" tanya Zia dengan ragu-ragu. "Dia sedang menemani Zio bermain golf!" Vera adalah istri ayahnya sekarang, meskipun Zia masih sedikit membencinya, tapi selama ini ibu tirinya itu selalu bersikap baik ketika bertemu. Sedangkan Zio adalah anak ayahnya dengan Vera. Setelah mengurus semua kebutuhan Zia yang dibantu Barly-asisten William. Kini ia hanya tinggal datang ke kantor dan menjabat sebagai CEO dari Grup Haera. Ketika matahari sudah bersembunyi di arah barat, Zia dan Ana baru pulang. Ia membawa beberapa kantung belanja yang dibantu oleh Sarah, ia meminta Sarah agar menginap di rumahnya malam ini. Alfa yang sedang menonton televisi, segera meraih Ana dan menggendongnya. Terlihat menyunggingkan senyuman sinis pada Sarah. "Kalian darimana jam segini baru pulang?" "Kami habis belanja, kamu gak lihat aku dan istrimu membawa kantung belanja?" jawab Sarah dengan tak kalah ketus. Memang dari dulu, Sarah tidak menyukai Alfa karena sifatnya yang so kaya dan so keren. "Jangan membawa pengaruh buruk pada istriku, dia wanita yang terhormat." Hahaha, "Bagaimana dia bisa menjadi wanita terhormat jika suaminya sendiri saja tidak mampu membelanya ketika dia di hina oleh teman-temanmu itu!" Pandangan Alfa beralih pada Zia yang di tanggapinya hanya dengan mengangkat bahu. Alfa menaiki tangga sambil menggendong Ana, Zia mengikuti suaminya. Sarah menghempaskan bokongnya diatas sofa empuk, meluruskan kakinya yang sedikit pegal karena terlalu lama berjalan menemani sahabatnya berbelanja. "Aku tidak suka kamu bergaul dengan dia!" ujar Alfa sembari mendudukkan Ana di atas kasurnya. "Aku juga tidak suka kamu bergaul dengan, Alexa, Fani dan Aldo." "Itu beda lagi, mereka orang baik-baik!" "Dan Sarah juga orang baik, setidaknya menurutku begitu!" Kini Alfa menatap istrinya dengan seksama, sebenarnya apa yang sedang di rencanakan istrinya itu. "Apa rencana kamu sebenarnya?" "Aku akan mengabulkan keinginanmu, bahwa jika pergi ke pesta nanti maka kamu bisa memamerkan bahwa aku adalah seorang istri Alfa Mahendra yang hebat dan punya karir bagus." Jelas Zia dengan kedua tangannya ditempelkan di atas dadanya, seolah dirinya sedang menjadi pusat perhatian seluruh dunia. Alfa mendengus tidak percaya jika istrinya kini kebanyakan berhalusinasi. Entah kenapa malam ini Alfa kesulitan untuk tidur padahal jam menunjukan sudah pukul sebelas malam, ia menatap wajah istrinya yang terlelap dengan damai. Istrinya kini telah berubah, ada sedikit rasa takut yang tiba-tiba menyeruak ke dalam permukaan. Darimana juga ia mendapatkan uang sebanyak itu? untuk membeli semua barang-barang dengan harga selangit. Sekalipun ia mampu membelikan istrinya barang branded, tapi tidak sebanyak itu. Yang ia tahu, Zia dari keluarga sederhana yang mengandalkan usaha ibunya di Restoran. Apa mungkin istrinya sudah menjadi simpanan Om-om hidung belang seperti yang dilakukan Sarah? Ah, tidak mungkin. Ia yakin istrinya masih memiliki kewarasan yang sempurna, Alfa menyerah dengan pikirannya, menjambak rambutnya frustasi. "Mas, tolong kamu transfer uang ke rekeningku. Hari ini, aku akan memperkerjakan pengasuh untuk Ana!" Kepala Alfa mendongak menatap istrinya itu, memangnya dia wanita sibuk sehingga harus memakai pengasuh? "Untuk apa pengasuh? memangnya kamu wanita karir yang akan pergi ke kantor setiap hari?" "Setidaknya aku punya waktu untuk melakukan perawatan, siapa tahu aku bisa mengajak Fani untuk perawatan bareng!" "Fani gak usah di ladenin, kamu di rumah saja ngurus Ana. Bi Idoh juga sudah cukup untuk membantu pekerjaan kamu!" Dengan wajah yang di tekuk Alfa menggeser kursinya, mengecup kening Ana dan Zia lalu memilih berangkat ke kantor. Zia mengulas senyumannya, dasar suami plin-plan giliran istrinya berubah dia seolah tidak mau terima. Sesuai rencananya, hari ini ia mendatangi yayasan yang sama ketika bertemu dengan Bi Idoh. Entah kebetulan atau memang rencana Tuhan yang terlalu baik padanya, saat ini juga ia sudah mendapatkan pengasuh untuk Ana. Wanita yang tidak terlalu muda dan juga tidak terlalu tua, namanya Bi Juju. Semuanya sudah lengkap, saatnya memanjakan diri pergi ke klinik kecantikan. Sarah masih setia menemani, sekarang mereka berdua sedang melakukan SPA. "Sar, jika kamu mau, aku bisa memasukkan kamu untuk bekerja di kantorku!" "Gak, usahlah! aku tidak suka terikat dengan pekerjaan seperti itu, aku lebih suka dengan keadaanku yang sekarang. Tapi makasih udah memikirkan aku." Mereka berdua tertawa tak lama matanya terpejam menikmati setiap pijatan yang dilakukan para terapis. Di kantor, Alfa lebih banyak diam ia bahkan belum menyentuh komputernya sedikitpun. Pikirannya masih tertuju pada Zia, semua yang dilakukan istrinya itu bukan hal yang wajar, pertama ia membawa pembantu, penampilannya yang berubah lalu sekarang ia mencari pengasuh untuk Ana. "Kenapa, Bro? bengong aja!" sapa Aldo yang kini sudah ada di hadapannya dengan dua cap capuccino. Alfa mencoba tersenyum sekalipun jelas terlihat dipaksakan. "Lagi ada masalah?" tanya Aldo lagi. "Entahlah, apa ini bisa disebut masalah atau hanya sebuah perubahan saja!" ia menyesap capuccino yang dibawa Aldo tadi. "Maksudnya?" "Zia! semenjak pulang dari pesta waktu itu, ia mulai berbuah. Di rumah sudah ada pembantu, penampilannya berubah ia lebih senang memakai dress dibanding dengan celana panjang dan pagi ini ia mencari pengasuh untuk anak gue!" "Nah, berarti itu bagus dong! istri Lo bisa semakin cantik." "Masalahnya bukan itu, entah kenapa gue merasa dia sedang membuat sebuah rencana, tapi entah apa gue gak tahu!" Tiba-tiba Alexa datang membawa kabar, bahwa CEO dari perusahaan mereka bekerja besok akan datang ke kantor, namun kali ini anaknya yang akan menjabat CEO. "Memangnya Pa William punya anak lagi selain anaknya yang masih kuliah?" tanya Aldo. "Menurut kabar yang beredar, anaknya ini dari istri pertama Pak William." Jelas Alexa dengan mengangkat bahu tidak yakin. "Ngomong-ngomong nama bos kita itu, namanya sama dengan mertua gue!" celetuk Alfa seraya mulai membuka berkas dan mulai bekerja. Alfa pulang ke rumah dengan wajah yang kusut, apalagi pemandangan di rumah ini sangat asing. Ana sedang di pangkuan seseorang, siapa dia? Jangan bilang kalau istrinya benar-benar memperkerjakan pengasuh. "Istri saya dimana?" tanya Alfa pada wanita yang menggendong putrinya. "Ibu ada di kamarnya, beliau bilang mau mengganti baju dulu. Bapak, pak Alfa ya? perkenalkan saya Bi Juju, pengasuh Non Ana." Alfa hanya mengangguk lalu pergi menuju kamarnya, apa-apan ini dulu membawa pembantu, sekarang pengasuh, besok apa lagi yang akan di lakukan istrinya itu. Pintu kamar dibuka dengan sedikit keras, terlihat Zia sedang memakai handuk dengan rambut yang masih basah, harum sabun dan shampo menyeruak memenuhi indera penciuman suaminya. Tanpa aba-aba, Alfa mengunci pintu menerjang tubuh istrinya yang sangat menggoda. Sudah lama juga mereka tidak melakukan hubungan suami-istri, percintaan panaspun tidak terelakan lagi. "Siapa yang menyuruhmu mencari pengasuh?" tanya Alfa pada istrinya yang sedang tidur di dadanya yang bidang. "Aku sendiri yang berinisiatif untuk mencari pengasuh, memangnya kenapa?" Zia beringsut bangkit, menghempaskan punggungnya yang putih pada sandaran tempat tidur dan menaikkan selimutnya agar menutupi sebagian tubuhnya. "Lalu barang-barang kamu yang kemarin, darimana kamu mempunyai uang sebanyak itu? jangan berani berbohong, kau tahu barang yang kamu beli harganya selangit." "Kamu jangan berfikiran yang bukan-bukan, aku masih terlalu waras untuk melakukan hal yang melenceng. Itu uang yang kamu berikan padaku setiap bulannya, lagipula aku seperti ini untuk kamu bukan untuk orang lain." Zia melangkah menuju toilet untuk kedua kalinya ia mandi, sedangkan Alfa masih sibuk dengan pemikirannya saat ini. Istrinya bukan lagi Zia yang di kenalnya dulu, ia bahkan rela membuang uang demi barang yang mahal. Mereka berdua makan bersama, kebetulan Ana sudah tertidur. Tidak ada percakapan diantara mereka, hanya denting sendok dan garpu. "Besok ada anaknya Bos yang akan datang ke kantor, nanti kamu siapkan jas tebaik yang ada di lemari untuk dipakai besok!" "Iya, nanti aku siapkan dan menyuruh Bi Idoh untuk menyetrikanya kembali, kebetulan aku juga sedikit sibuk malam ini." "Tidak bisakah kamu sendiri yang menyiapkannya?" "Mas, sudahlah jangan memulai perdebatan dimeja makan itu tidak baik." Alfa hanya diam membeku, sikap ini bukan sikap Zia. "Kamu telah berubah!" tukasnya seraya bangkit dan menuju kamar, meninggalkan Zia sendiri dan piring nasi yang baru dimakan setengahnya. Zia menghembuskan nafasnya dengan berat, apa yang dilakukannya selama ini selalu salah Dimata suaminya itu. Mengusap wajahnya kasar, dulu ketika semuanya di kerjakan sendiri ia malah mendapat hinaan dari teman suaminya itu. Lalu sekarang setelah dirinya berubah masih tetap saja salah, akhirnya ia menyusul Alfa ke kamar. Terlihat suaminya berdiri di depan jendela, menatapnya keluar. "Kamu marah?" ketika Zia mendekati suaminya. "Menurutmu?" "Dengarkan aku baik-baik, sebenarnya kamu itu aku ingin seperti apa sih? ketika dulu aku masih biasa-biasa saja, bukannya membelaku di depan teman-temanmu malah berbalik marah padaku dan sekarang setelah aku mencoba menyetarakan penampilanku dengan kehidupanmu, masih saja komplain!" Alfa masih bergeming, hanya sesekali membuang nafasnya dengan berat seperti sedang memikul beban yang berat. "Aku tidak suka kamu bergaul dengan Sarah! dan itu membuat pikiranku kacau." "Oh, jadi itu masalahnya! jika kamu melarang aku bergaul dengan Sarah, aku juga punya permintaan yang sama kamu jauhi Aldo, Fani dan Alexa bagaimana?" Wajah Alfa menoleh padanya, sepertinya perkataan Zia mampu mengusik hatinya. "Jangan gila kamu!" ungkapnya seraya pergi dari kamar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD