part 2

1816 Words
Sarapan pagi ini terasa hambar, semalam mereka tidur hanya dalam kesunyian. Sepertinya Alfa memang benar-benar marah padanya. Sengaja pagi tadi Zia bangun lebih awal, menyiapkan jas terbaik yang akan di pakai suaminya itu. "Bi, apa jas saya sudah di siapkan?" tanya Alfa pada Bi Idoh yang sedang membawa udang balado ke atas meja makan. "Maaf, Pak! ibu tidak menyuruh bibi untuk menyiapkan jas Bapak!" "Udah aku masukin ke dalam mobil!" celetuk Zia yang sedang menyuapi Ana. Alfa diam membeku, entah apa yang harus ia katakan pada istrinya itu. Bagiamana pun ia selalu memastikan yang terbaik untuk dirinya. "Terima kasih!" Zia hanya mengangguk, selesai sarapan Alfa pamit pergi ke kantor. Sedangkan Zia sibuk mempersiapkan dirinya, memakai baju terbaik, memoles wajahnya dengan make up, menyemprotkan parfum dengan merk ternama. Tak lupa jam tangan rolex yang ia gunakan serta memakai sepatu dari merk Gucci. "Sempurna!" gumamnya pelan. Sebuah mobil Lamborghini terparkir di halaman rumahnya, sengaja Barly mengantarkan mobil Itu sebagai hadiah dari ayahnya. Zia memakai kaca mata hitam, menaiki mobil berwarna hitam metalik yang mulai membelah jalanan kota. Senyumnya terus terukir, sekarang waktunya untuk membuat dunia gempar. Tepat pukul sepuluh, ia tiba di sebuah gedung yang tinggi. Ya, inilah kantor pemberian ayahnya. Zia keluar dari mobil di susul Barly serta ayahnya, mereka berjalan beriringan. Ketika masuk ke dalam kantor, para karyawan mulai berbisik-bisik tentang kedatangan anak bosnya itu. Mereka berpapasan dengan Aldo yang menjabat sebagai manager, dia menjabat tangan William, Barly dan Zia yang tidak langsung dikenalinya karena memakai kaca mata. Aldo mengantar mereka ke ruangan meeting, semua staf inti sudah berkumpul di sana termasuk Alfa. Zia berdiri di samping ayahnya yang duduk, wajah Alfa menegang bagaimana tidak, ayah mertuanya ternyata bos di tempatnya bekerja. Dan tak salah lagi, Zia ada di sampingnya. "Perkenalkan saya William bos dari kalian, saya minta maaf jika saya jarang datang ke kantor ini. Oh iya, Alfa bagaimana kabarmu, Nak?" Yang ditanya tergagap, wajahnya memancarkan kecemasan, ya dia adalah mertuanya sendiri. "B-baik, Yah!" "Alfa adalah menantu saya, dan yang di samping saya adalah putri saya satu-satunya, dia adalah Zia Seraphina Skarsgard yang akan menjadi CEO di kantor ini." Semua mata membulat sempurna, seperti yang di lakukan Aldo, Fina dan Alexa. Pandangan mereka beralih satu sama lain, apalagi kenyataan bahwa Alfa adalah menantu dari seorang William Verhoeven Skarsgard. "Perkenalkan saya Zia, mohon kerja samanya agar perusahaan yang menjadi kebanggaan kita semua berjalan lebih baik lagi." Ungkapan Zia membuat semua orang bungkam. Ia diantar ayahnya dan Barly menuju ruangan CEO, semua sudah tertata rapi. Bahkan foto Zia yang di pajang memakai pigura kecil membuat kesan lebih manis lagi. sebuah pesan dari Alfa masuk ke dalam ponselnya. [Kita harus bicara! kamu berhutang penjelasan padaku!] "Suamimu?" tanya Wiliam padanya. Ia mengangguk cepat, suaminya pasti marah tentang semua ini. "Suruh dia ke sini, ingat sekarang kamu di kantor bukan di rumah, di sini kamu bosnya!" "Baik, Yah!" Alfa menemui Zia di ruangannya. "Jadi ini rencana kamu? sejak kapan kamu berbohong padaku, kalau ayahmu sebenarnya adalah bos di kantor ini? maksud kamu apa menjadi CEO di sini? mau mempermalukan aku?" Alfa terus saja memberondong istrinya dengan banyak pertanyaan, bahkan dia menanyakannya dalam satu tarikan nafas. "Mas, aku hanya mengabulkan keinginan kamu saja, bukankah kamu menginginkan seorang istri wanita karier agar bisa dipamerkan pada dunia bahwa aku ini wanita hebat, harusnya kamu ingat kata-kata itu, Mas! dan sekarang aku seperti ini kamu malah berfikiran yang bukan-bukan, kalau aku bekerja di tempat orang lain keluargaku terutama ayah tidak mengizinkan putrinya jadi kacung orang lain. Dan harus kamu tahu, aku tidak berbohong tentang keluargaku, hanya kamu saja yang tidak pernah menanyakannya padaku." "Lalu sekarang kamu merasa puas karena sudah menjadi CEO di sini? apa kata teman-temanku nanti, aku suami yang bekerja di kantor istrinya! begitu?" Zia memijit keningnya yang entah kenapa tiba-tiba terasa pening, untung saja ayahnya sudah pamit pulang sebelum suaminya datang. "Mas, nanti kita bicara di rumah saja! ini di kantor tempat bekerja bukan untuk beradu debat masalah pribadi! lebih baik kita bekerja secara profesional saja!" "Baik, jika itu mau kamu! terima kasih untuk waktunya, Ibu Zia yang terhormat." Alfa sedikit membanting pintu ruangan istrinya, kini entah apa yang ada dipikiran suaminya itu, ia hanya bisa menghela nafas panjang. Kenapa harus serumit ini? Ia mencoba menyibukkan diri membuka beberapa file yang harus ia pelajari, sesekali menelepon Bi Juju menanyakan keadaan Ana. bab 8 Selama di kantor hari ini, Zia tidak pernah keluar dari ruangannya. Untuk makan siang pun ia memesannya secara online, satu paket untuknya dan satu paket lagi untuk suaminya. Seburuk-buruknya Alfa, ia masih tetap suaminya. Tepat pukul empat sore, ia baru keluar dari ruangannya hendak pulang. Di kantor ini lift CEO dengan karyawan lainnya berbeda, jadi hanya ia seorang diri yang berada di dalam lift. Sampai di loby kantor, ia berpapasan dengan Alfa dan teman-temannnya. Awalnya ia tidak mau mengusik mereka, namun kini Aldo mendekatinya dengan penuh kesopanan jauh ketika ia berada di pestanya. "Sore, Zia!" "Ini masih di dalam kantor! setidaknya panggil saya dengan sebutan, Ibu. Jika sudah di luar kantor, anda bisa memanggil apa saja juga boleh. Dengan sebutan pembantu juga boleh!" ucapnya seraya menyunggingkan sebuah senyuman menakutkan. "Saya minta maaf, Bu!" "Ada apa? bukankah ini sudah waktunya kalian pulang, kenapa masih di sini?" Begini, kami mau meminta maaf soal waktu itu ketika di pesta ulang tahun Aldo, kami hanya bercanda waktu itu, jangan di masukin ke hati ya!" celetuk Fani. Ah, mereka ini! dulu saja boro-boro minta maaf, sedang sekarang dengan mudahnya menyebut bahwa hinaan mereka hanya candaan. Zia melirik ke arah Alfa yang menunduk lesu, bahkan sama sekali ia tidak menatap istrinya itu. "Lebih baik kalian minta maaf sama suami saya, hanya karena kalian bercanda sekarang suami saya yang kena imbasnya, saya permisi dulu. Di rumah masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan." "Mas, aku duluan pulang! di rumah aku harus menyiapkan menu makan malam untuk kita." Zia berlalu meninggalkan mereka berempat dalam kebingungan, Aldo menepuk pundak Alfa. "Bro, istri lo ternyata lebih menakutkan dari Psikopat!" "Kalau dia lebih seram dari psikopat, sudah dari tadi pagi lo keluar dari kantor ini!" sergah Alexa. Alfa hanya diam mendengar ocehan teman-temannya itu, rasanya selera humor dia sudah hilang dari kehidupannya saat ini. "Fa, gue minta maaf kalau dulu kita menghina istri Lo! jujur gue gak tahu kalau istri Lo itu tajir melintir, kalau gue tahu mah mana ada gue melakukan candaan kayak gitu. Matilah kita, bisa-bisa kita dipecat kapanpun dia mau ini mah!" Fani sibuk sendiri dengan ocehannya, tanpa ada yang memperdulikannya. "Gue pulang duluan!" seru Alfa dengan lesu. Sampai di parkiran kantor ia melihat istrinya menaiki mobil Lamborghini, matanya melihat mobil yang ia gunakan hanya sebuah mobil BMW yang bahkan mungkin hanya seperempatnya saja dari harga mobil Zia. Selama perjalanan pulang Alfa berkutat dengan pikirannya sendiri, seharusnya dia senang ketika tahu bahwa istrinya adalah seorang CEO, katakanlah bukan wanita karier biasa, bukankah selama ini itu yang diinginkan dirinya, tapi kenapa sekarang rasanya jadi amburadul seperti ini. Ia pikir Zia akan bekerja menjadi staf biasa saja, namun kejutan yang dibuat membuatnya berfikir dua kali untuk menuntut hal yang berlebihan lagi. Sampai di rumah, ia enggan untuk masuk ke dalam rumah, memilih untuk menyandarkan tubuh lelahnya di depan mobil, menatap langit sore yang berhiaskan langit senja. Aroma masakan menyeruak dari dalam rumah, membuat perutnya meronta. Sejak siang tadi ia belum makan, bahkan makanan yang diberikan Zia malah di makan oleh Aldo karena ia hanya menatapnya saja tanpa menyentuhnya. "Mas, kenapa gak masuk?" Pertanyaan Zia membuyarkan lamunannya, ia menoleh pada sumber suara. Terlihat istrinya yang sudah berganti pakaian dengan daster yang lebih modern, tak lupa aksesoris yang ia gunakan di pinggangnya. Ah, ya istrinya kini menjelma menjadi ratu yang sesungguhnya. Ia menatap lekat istrinya lalu pergi begitu saja melewati Zia yang mematung, bahkan tidak ada lagi kecupan manis untuk istrinya itu. Di tempat lain, Aldo sedang bersama Alexa. Mereka memutuskan untuk nongkrong di sebuah cafe, tak henti-hentinya Aldo merutuki kebodohannya waktu itu. "Menurut Lo, apa Zia akan memecat kita?" "Mana gue tahu!" jawab Alexa singkat sambil mengangkat bahunya. "Kalau saja gue di pecat, bagaimana nasib mobil gue yang belum lunas, belum lagi biaya sekolah adik gue! gak tau ah, kepala gue pusing." "Sama!" Mereka kembali fokus dengan pikirannya masing-masing, memainkan sendok kecil yang ada di dalam gelas berisi capuccino. Alfa menuju kamar dengan langkah lesu, entahlah kenapa dirinya merasa telah kehilangan Zia. Ana yang menyadari papahnya pulang, terus mengoceh ingin di gendongnya. "Maaf, Pak! sepertinya Non Ana ingin di gendong dulu." Bi Juju menyerahkan Ana pada Alfa, mereka bermain di atas tangga. Zia menyiapkan makanan ke atas meja makan ketika suara deru mobil memasuki halaman rumahnya, dia siapa? pikirnya! ah, mungkin Sarah! "Zia, buka pintunya?" teriak seseorang dari luar. Bukankah itu suara mertuanya, kenapa dia harus teriak-teriak padahal biasanya dia suka langsung masuk saja. Ia segera membuka pintu dengan lebar, terlihat wajah mertuanya memancarkan aura kebencian. "Bu, tumben gak telepon dulu!" "Memangnya kenapa? jangan mentang-mentang sekarang kamu sudah jadi bos ya, kamu bisa ngatur-ngatur ibu!" "Bukan seperti itu, Bu! kalau misalkan ibu telepon, setidaknya aku atau mas Alfa 'kan bisa jemput ibu." "Tidak perlu, taksi masih banyak!" Ibu mertuanya nyelonong masuk ke dalam, menghampiri anak dan cucunya yang sedang bermain di tangga, kini wajah ibunya itu sumringah ketika melihat mereka berbeda dengan ketika melihatnya. "Ibu perlu bicara dengan kalian berdua!" tukasnya seraya pergi ke ruang tamu. Ana diserahkan pada Bi Juju, yang langsung membawanya ke kamar. "Zia apa betul kamu sekarang bekerja di kantornya Alfa? ah, maksud ibu menjadi CEO di sana?" "Iya, Bu! maaf belum sempat memberitahu, Ibu. Apa mas Alfa yang sudah bilang sama ibu?" Alfa yang namanya di sebut hanya melihat sekilas padanya tanpa membuat reaksi apapun, "Bukan Alfa, kamu tidak perlu tahu! dengarkan ibu baik-baik, harusnya kamu itu di rumah mengurus rumah, mengurus anak dan suami kamu bukan malah ikutan kerja di kantor. Apalagi menjadi CEO, apa kamu gak mikirin perasaan suami kamu?" "Maaf, Bu bukan aku tidak mau menghormati ibu dan mas Alfa! pertama, ketika aku di rumah, apa anak ibu mampu membelaku di hadapan teman-temannya ketika aku di hina? dia bilang kalau dia menginginkan seorang istri wanita karir agar tidak membuat malu dirinya dan sekarang ketika aku mempunyai pekerjaan, ibu bilang aku harusnya di rumah! daripada ibu menasehati ku, lebih baik anak ibu sendiri yang di nasehati lebih dulu." "Zia!" pekik Alfa dengan tatapan yang melotot. "Kenapa, Mas? kamu gak terima aku bicara seperti sama ibu kamu? harusnya masalah ini kita selesaikan berdua jangan melibatkan ibu kamu atau siapapun itu." "Aku tidak mengadu pada ibu!" "Lantas siapa yang mengadu kalau bukan kamu? aku cape mas, ketika aku diam kamu malah semakin menyalahkanku dan sekarang ketika aku berubah padahal aku masih melakukan tanggung jawabku sebagai seorang istri kamu malah gak terima, aku cape!" Zia berlari menaiki tangga dengan air mata yang tak bisa di bendung lagi, tidak bisakah suaminya itu menghargai setiap usahanya? padahal ia tidak menuntut yang berlebihan. Ia hanya ingin di hargai, bukan 'kan sepatutnya pengorbanan seorang istri harus dihargai oleh suaminya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD