Rev 5. Sandiwara Dimulai

2662 Words
Pagi yang cerah menyambut mereka hari ini. Seperti yang Rama katakan, mereka akan bersandiwara jika ada di depan ayahnya. Dan sandiwara itu dimulai dari sekarang. “Yas, kamu mau lanjut sekolah di mana?” tanya Pak Ilham saat mereka selesai sarapan seperti biasa. Yasmin yang ditanyai hanya diam saja karena dia sendiri pun tak tahu jawabannya. Masalahnya, di SMK sebelumnya saja dia belum lulus, belum ada ijazah, kalau melanjutkan, pasti mengulang semester awal kelas III. Namun, apa ada yang sudah menikah tapi masih sekolah SMA/SMK? Sungguh, Yasmin tidak tahu jika memang benar ada hal semacam itu. Dia sudah mengikhlaskan segalanya termasuk sekolahnya juga. Dan jujur, sampai hari ini pun, dia tak ada pikiran untuk melanjutkan sekolah lagi. “Kok diam saja, Nak?” tanya Pak Ilham lagi saat Yasmin tak kunjung menjawab. Yasmin menggeleng pelan, “aku tidak punya uang untuk membiayai sekolah.” “Astaga,” Pak Ilham tersenyum teduh, “Jangan mengkhawatirkan itu. Kamu sekarang tanggung jawab kami.” katanya. “Tanggung jawabku, Pa!” Rama menginterupsi, membenarkan perkataan papanya barusan. Oh ayolah, Rama yang menikah dengan Yasmin, bukan Pak Ilham. Bisa-bisa kalau diteruskan, Yasmin bisa krisis identitas akan dirinya sendiri. Pak Ilham tersenyum lebar. Dia sedikit lega mendengar Rama mengatakan itu semua. “Ah iya, kamu tanggung jawab Rama sekarang. Bagaimana, mau meneruskan sekolah di mana?” Yasmin terdiam cukup lama, berpikir keras. Jika dia sekolah, otomatis menggunakan uang Pak Ilham atau Rama, sementara kalau dia kerja, dia bisa punya uang sendiri. Yasmin tidak ingin berhutang budi. Merasa cukup berpikir, Yasmin baru menjawab pertanyaan mertuanya. “ Aku tidak ingin sekolah. Aku ingin kerja saja.” “Lhoh kenapa begitu?” tanya Pak Ilham masih dengan kebingungannya, “Kamu tidak perlu khawatir soal biaya.” “Tidak, aku ingin bekerja saja.” Kata Yasmin masih pada pendiriannya. Pak Ilham menghela napas berat, dia merasa kalau Yasmin belum bisa menerima semua ini. Tapi apapun itu, tidak apa asalkan Yasmin tidak melakukan sesuatu yang bisa menyakiti dirinya sendiri. “Baiklah, lakukan apa yang kamu inginkan. Kamu setuju kan, Ram?” Pak Ilham beralih menatap Rama. “Terserah dia saja.” Kata Rama dingin. “Baiklah, papa akan membantumu mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan keahlianmu.” “Terima kasih, Pa.” Pak Ilham kembali tersenyum, “Harusnya papa yang bilang terima kasih karena kamu sudah menerima dan mau memaafkan papa.” “Kapan aku bisa pergi dari sini?” tanya Rama tiba-tiba, mengingatkan sang ayah kalau Rama juga sudah punya kesibukan sendiri. Mimik wajah Pak Ilham langsung berubah sendu. “Belum ada satu bulan kalian di sini, Ram. Masak kamu mau ninggalin papa sendiri.” “Di sini tidak strategis, Pa. Di apartemen lebih deket kampus dan kantor.” Pak Ilham tak bisa egois, dari dulu Rama memang hidup mandiri. Dan pendapatnya memang benar. Rama akan kerepotan jika tetap tinggal di rumah. "Baik kalian boleh pindah, asal sering-sering main ke sini.” Yasmin berpikir keras sedari tadi. Pindah, apartemen, apa maksudnya dia akan tinggal satu atap dengan Rama? Hanya dengan Rama seorang? Membayangkannya saja Yasmin bergidik ngeri. Dia takut jika berada di dekat Rama. Meskipun Rama belum pernah bicara kalau dia tidak suka dengan pernikahan ini, Yasmin tahu kalau Rama juga sama-sama tersiksa dengan ini semua. Wajahnya tidak bisa berbohong. “Sabar Yas, Rama aslinya baik kok.” Kata Pak Ilham seolah bisa membaca pikiran Yasmin. “Kak Rama baik kok, Pa.” Dan Yasmin pun turut memulai sandiwaranya. Dia mengatakan itu semua karena tidak ingin membuat papa mertuanya kepikiran. Apalagi beliau baru saja sembuh. Dan Yasmin juga tahu, sebenarnya Pak Ilham tahu kalau hubungan mereka tidak baik-baik saja. Jadi ya biar semua berjalan sebagaimana mestinya. *** Saat ini, Yasmin tengah berdiri di depan pintu kamar Rama yang sekarang menjadi kamarnya juga. Kalau ditanya takut, dia memang takut. Bahkan belum masuk ke dalam kamar, d**a Yasmin sudah bergemuruh hebat. Dia tidak terbiasa bersama dengan lelaki, apalagi dengan Rama, suaminya sendiri. Astaga, dia belum pernah membayangkan ini sebelumnya. Murid Rama di kampus saja tergila-gila dan bahkan tak segan-segan mengejar. Lhah ini, istrinya sendiri malah takut untuk dekat-dekat dengan suaminya sendiri. Dunia memang sudah terjungkir balik. Untuk menetralkan perasaannya, Yasmin menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Namun, bukannya lebih baik, gemuruh di dadanya malah semakin menjadi-jadi. Yasmin bisa pingsan kalau seperti ini terus. “Kamu ngapain, Yas?” Tanya Pak Ilham dengan raut muka bingung karena tidak sengaja melihat Yasmin berdiri lumayan lama di depan pintu kamarnya sendiri, terlihat gelisah. “Hah? Tidak apa-apa, kok, Pa.” Pak Ilham mengangguk, “Ya sudah masuk sana.” “Iya, Pa.” Meskipun sambil meringis, mau tak mau Yasmin harus masuk ke dalam kamar, tak lupa juga membaca basmallah dalam hati. Begitu sempurna masuk di dalam kamar, Yasmin mengerjapkan matanya berkali-kali saat tak mendapati Rama di dalam sana. Ada perasaan lega, Yasmin bahkan sampai bersandar pada pintu dan mengelus dadanya sendiri. Dia merasa, kalau Tuhan sedang berpihak padanya sekarang. Namun lama-kelamaan, Yasmin merasa ada yang memperhatikannya. Dan tepat saat dia menoleh ke sebelah kiri, dia terkejut bukan main saat mendapati Rama menatapnya datar. “Allahuakbar!” pekik Yasmin langsung memalingkan wajahnya. Rama tersenyum kecut dari tempatnya berdiri, “takut?!” tanyanya meremehkan. Yasmin hanya membalas dengan gelengan pelan. "Tidak, Kak.” Rama langsung membuang muka mendengar perkataan Yasmin, “Kak?!” katanya tak percaya. Lalu Yasmin harus memanggilnya dengan sebutan apa? Mas, bang, abang? Yang mana satu? “Kamu harus terbiasa melihat saya mulai sekarang.” Kata Rama pelan kemudian berlalu pergi menuju ruang ganti. Yasmin tidak tinggal diam saja, dia langsung berlari ke kamar mandi tak lupa juga menguncinya dari dalam. Rama tahu semua yang dilakukan Yasmin. Dia tersenyum miring dan bergegas keluar dari kamar untuk pergi ke kampus. Pengap satu ruangan dengan perempuan yang sudah menjabat sebagai istrinya sendiri. *** Sampai sore, Yasmin menghabiskan waktunya untuk menemani Pak Ilham bersantai dan mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak terlalu berat. Karena apa? Tentu saja karena Pak Ilham melarangnya. Padahal, bersama ayahnya dulu, Yasmin suka mengerjakan pekerjaan rumah. “Yas,” panggil Pak Ilham pelan. “Iya.” “Tolong ambilkon kotak di meja ruang tamu.” Yamin langsung pergi untuk mengambilkan kotak yang Pak Iwan minta. “Ini,” kata Yasmin sembari menyodorkan kotaknya kepada Pak Ilham. “Terima kasih. Ini buat kamu.” Kata Pak Ilham kembali menyodorkan kotak itu kepada Yasmin sembari tersenyum. “Bagaimana, Pa?” “Ini buat kamu.” Kata Pak Ilham, dia mengangguk. “Ayo buka!” “Untuk apa, Pa?” tanya Yasmin bingung. Seumur-umur, baru sekarang ada yang memberi Yasmin kado selain Della dan juga Aira. “Sudah buka saja, nanti juga tahu sendiri.” Perlahan Yasmin membuka kotak berukuran sedang di genggamannya dan saat dibuka ternyata isinya gawai keluaran terbaru. “Ini?” kata Yasmin dengan tatapan penuh tanya yang ditujukan ke arah Pak Ilham. “Buat kamu. Kamu akan membutuhkannya nanti.” “Tapi ini terlalu mahal.” Pekik Yasmin seolah tidak terima. “Tidak. Sudah pakai saja.” “Tapi, Pa-“ “Pakai Yas. Anggap saja ini kado pernikahan dari papa. Itu hakmu.” kata Pak Ilham berusaha keras meyakinkan anak menantunya itu. Yasmin sudah mau membalas, tapi Pak Ilham mendahuluinya lebih dulu. “Oh iya, Yas. Nanti sore kamu langsung pindah ke apartement sama Rama.” Apa lagi ini? “Secepat itu?” tanya Yasmin tak menyangka. “Kasihan suami kamu kalau di sini lebih lama. Papa sedang sakit, jadi dia yang akan mengurus kantor.” Yasmin tak merespon, dia bingung harus bagaimana. Di rumah yang ada Bi Ijah dan Papa mertuanya saja dia takut kalau bertemu Rama. Apalagi nanti di apartement hanya berdua. Gantung saja Yasmin di rawa-rawa. Melihat wajah Yasmin yang terlihat takut, Pak Ilham memberinya nasihat sebagai seorang orang tua. “Tenang saja, Rama tidak akan macam-macam.” katanya. Yasmin terlihat pucat, “Ada apa, Pa?” tanyanya saat melihat wajah sendu Pak Ilham. “Rama menolak keras saat papa paksa untuk menjagamu. Tapi dia setuju sendiri saat papa sakit dan waktu itu kamu mau dijual oleh kakak tirimu sendiri. Papa tahu papa salah, karena itu papa ingin memperbaiki semuanya. Tolong bantu Rama jatuh cinta sama kamu, ya. Kamu anak baik, pasti tidak sulit bagi putra papa untuk menaruh hati sama kamu, Nak." Meski ragu, Pak Ilham kembali melanjutkan perkataannya. "Apa ada orang lain yang sedang kamu cintai, Nak?" Sebagai balasan Yasmin hanya menggeleng pelan karena dia memang tidak sedang mencintai siapapun kecuali nabinya. “Syukurlah," Pak Ilham mengembuskan napas lega, "Papa percaya kalian pasti bisa. Papa tahu kamu masih terlalu muda untuk menjalin komitmen pernikahan. Tapi kenyataan kalian memang suami istri sekarang.” Dan sekali lagi, perkataan Pak Ilham kembali menyadarkan Yasmin kalau dia sudah menjadi istri orang sekarang “Ya sudah sekarang kamu ikut papa.” “Kemana, Pa?” “Kita belanja buat keperluan kamu. Kamu kan tidak membawa baju sama sekali saat ke sini.” Benar juga, tidak mungkin Yasmin pulang ke rumahnya. “Apa aku tidak boleh pulang ke rumah ayahku?” “Tentu saja boleh, tapi jangan sekarang ya. Papa berjanji yang akan menemani kamu nanti.” Yasmin mengiyakan saja. *** Pulang berbelanja dengan papa mertuanya, Yasmin disambut tatapan tak bersabat dari Rama yang tengah duduk di sopa ruang tamu. “Eh sudah pulang kamu. Tadi kita belanja.” Kata Pak Ilham bersemangat, memamerkan paper bag belanjaannya. “Kita harus pindah sekarang.” Kata Rama tak menjawab perkataan papanya. Pak Ilham menghela napasnya yang terasa berat. Dia baru saja bersenang-senang dengan Yasmin sekarang harus dipisahkan kembali. “Pergilah, Yas.” kata lelaki paruh baya itu sendu. “Baik-baik di sana nanti. Rama kamu juga! Jaga Yasmin.” nasihatnya. Rama mengangguk, “Iya.” katanya. Yasmin ingin menangis sekarang. Belanjaan yang tadi dirinya bawa pulang, kini harus dia bawa pergi lagi. Sekali lagi ini terlalu cepat bagi anak seusianya. Dia bahkan takut berjalan berdampingan dengan suaminya sendiri. “Hati-hati ya.” Dan benar saja, Yasmin menangis saat mencium tangan papa mertuanya. “Sudah tidak apa-apa. Jangan menangis.” Mau tidak mau Yasmin harus tetap pergi setelah berpamitan dan berjalan gontai mengikuti suaminya yang sudah sibuk mengambil alih barang bawaannya. Di dalam mobil pun, mereka hanya diam. Rama fokus menyetir dan Yasmin sibuk menatap bangunan pencakar langit lewat jendela transparan mobil. Dadanya masih bergemuruh hebat sejak keluar dari rumah tadi. “Ayo.” Kata Rama agak menuntut karena Yasmin jalannya lambat sekali di matanya. Padahal sejak sampai di basemen, Rama yang membawa semua barang gadis itu. Sekarang, tak ada lagi alasan Yasmin untuk memperlama masuk apartemen. Sebenarnya sedari tadi dia hanya ingin mengulur waktu. Tapi Rama sendiri yang menggagalkan niat tak baiknya. Jadi sudahlah, Yasmin memang harus menerima kenyataan yang ada mulai sekarang. “Buka pintunya, passwordnya 9412.” Kata Rama. Yasmin langsung memasukkan password yang Rama maksud dan terbukalah pintu apartement yang akan mereka tinggali entah dalam waktu berapa lama. Yasmin mengikuti Rama yang masuk lebih dulu. Dia hanya terdiam di ambang pintu, ragu untuk masuk lebih dalam. Saat pertama kali masuk, apartement Rama tidak jauh beda dengan rumah papa mertuanya. Apartement ini terlalu besar untuk satu orang. “Tutup pintunya!” kata Rama lagi, berhasil menyadarkan Yasmin dalam lamunannya. Tanpa berkata-kata, Yasmin langsung menutup pintu apartemen sesuai dengan perintah Rama. “Di sini hanya ada 1 kamar.” kata Rama sembari bersandar pada sopa. Apa maksudnya? “Kamu bisa tidur di mana pun. Asalkan jangan tidur di sampingku! Aku tidak mau berbagi tempat tidur denganmu.” Yasmin bukan sakit hati, tapi dia merasa ilfeel sendiri. Siapa bilang dia ingin tidur seranjang dengan lelaki kejam macam Rama. Mimpi! “Aku tidak suka dibantu orang lain. Kalau ingin sekolah, sekolah saja. Aku yang akan membiayai.” Yasmin masih saja diam. “Kamu dengar tidak?!” pekik Rama tajam sembari menatap Yasmin garang karena perempuan itu tak kunjung menjawab. “Iya.” Kata Yasmin akhirnya. Tak mau banyak bicara, Rama langsung menunju ke arah pintu. Sebelum Rama pergi Yasmin sempat bertanya. “Pakaianku bagaimana?” “Taruh di atas langit!” kata Rama asal dan menghilang di balik pintu keluar apartemen. Yasmin terdiam. Atas langit? Dia bertanya karena memang tidak tahu. Dari pada dia nanti salah lagi kan lebih baik bertanya sekarang. Tapi nyatanya, meskipun sudah bertanya, dia tak tahu jawabannya apa. *** Rama yang pulang pukul setengah sepuluh langsung menuju kamar untuk membersihkan diri. Tapi saat masuk kamar, dia dikejutkan dengan keberadaan Yasmin yang masih sibuk dengan pakaiannya. “Ngapain kamu?” tanya Rama sembari menarik simpul dasinya yang mencekik. “Menata pakaian.” Kata Yasmin tanpa mau repot-repot menoleh. Rama menatap Yasmin tak percaya, dia berkacak pinggang. “Yang benar saja! Dari tadi kamu ngapain aja?!” “Tadi aku beres-beres, masak, baru sempat menata baju.” Rama langsung berlalu pergi. Bersama satu ruangan dengan Yasmin membuat emosinya naik turun tak beraturan, “Alasan saja!” “Tidak makan dulu?” tanya Yasmin takut-takut.” Lelaki itu tak menjawab dan tetap melengos pergi. Yasmin hanya menghela napas berat dan bergegas untuk menyelesaikan menata pakaiaannya. Dia tak berani kalau harus berlama-lama, satu kamar dengan Rama. Beruntung Yasmin sudah keluar saat Rama keluar dari kamar mandi. “YASMIN!!” terikan Rama menggema di seluruh antero apartemen miliknya. Yasmin yang tergesa untuk naik meniti anak tangga pendek sampai jatuh hingga lututnya lebam karena terlalu keras menghantam lantai. “Yasmin kamu tuli?!” teriak Rama lagi. “Sebentar!” Yasmin balik menjawab dengan nada bergetar, dia menahan sakit di kakinya. Matanya bahkan sudah berair karena rasa nyeri yang ditimbulkan akibat terjatuh tadi. “Ada apa?” tanya Yasmin di ambang pintu, tak mau masuk lebih dalam. “Di mana kertas yang aku taruh di ranjang?” Yasmin menggeleng, “Aku tidak tahu!” Rama balas menggeleng, “Pasti kamu buang, kan? Ayo ngaku!” “Tidak, sungguh!” bela Yasmin. “Itu daftar revisi proposal. Kalo hilang aku harus mencari tanda tangan lagi. Kamu pikir membuat janji dengan klien itu mudah?!” “Sunggu aku tidak tahu, kak.” “Tidak tahu bagaimana?!” Rama mondar-mandir tak karuan sembari mengacak-acak ranjang, “Kamu sendiri yang bilang membersihkan apartemen tadi!” “Iya tapi-“ Rama sudah berjalan lebih dulu dan menarik Yasmin untuk masuk ke kamar lebih dalam. “Kalau kamu tidak suka dengan pernikahan ini, ayo kita bercerai. Aku tidak sudi punya istri bodoh seperti mu. Gara-gara kamu, impianku hancur. Harusnya kamu mati saja dengan ibumu waktu itu!” Yasmin menatap tajam Rama. Dia tak habis pikir dengan apa yang baru saja Rama katakan. Yasmin memang anak pendiam tapi kalau diganggu dia juga akan marah. “Jaga mulutmu! Ibuku meninggal karena papa kamu yang menabraknya!” “Kalau saja ibumu tidak hamil anak gadis sepertimu, dia tidak mungkin meninggal. Kamu hanya gadis pembawa sial.” Mungkin Yasmin bisa tahan jika dikatai jalang sekali pun, tapi dia paling tidak bisa mendengar kata perempuan atau anak pembawa sial. Anak pembawa sial sama dengan hukuman mati untuknya. “CUKUP!" Teriaknya lantang, "Kamu tidak berhak menilaiku seperti itu!” “Terserah.” Rama mundur tiga langkah, "Aku berhak untuk itu." Yasmin menunjuk Rama tajam, “Kamu!” “Apa?!” tantang Rama saat melihat amarah yang tercetak jelas di mata Yasmin. Yasmin ingin pergi, tapi Rama menahan pergelangan tangannya. “Le—pas!!!” tolak Yasmin. Rama menyeringai, “Kamu istriku, dear!” “Le—pas!!” ronta Yasmin semakin menjadi-jadi saat melihat senyuman miring di bibir Rama. Rama menggeleng, “Aku akan memberimu pelajaran!” Yasmin semakin berontak. Rama mengunci pintu, dan Yasmin membelalakkan matanya. “Mau apa kamu?” “Menurut mu?” Rama berjalan mendekati istrinya ini, entah pelajaran macam apa yang akan dirinya berikan. Dunia seperti berhenti beberapa saat di antara mereka. Atmosphere yang terjadi begitu sulit untuk dijelaskan. "Jangan mendekat atau aku akan melukaimu!" Peringatnya. Yasmin tidak main-main akan perkataannya. Mungkin, Rama memang suaminya, lelaki itu punya hak atas dirinya. Hanya saja, Yasmin bukan gadis bodoh yang diam saja saat diperlakukan semena-mena. Demi Tuhan, lelaki itu benar-benar keterlaluan. Belum satu hari tinggal berdua saja dia sudah memperlakukan Yasmin seperti itu. Bagaimana kalau nanti, besok dan seterusnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD