Rev 4. Mari Bersandiwara

2841 Words
Yasmin mencoba menata hatinya kembali. Mengedepankan kebencian hanya akan membuatnya semakin tersiksa. Lagi pula, papa mertuanya sudah dihukum dengan kematian istri tercintanya, tepat tiga hari setelah menabrak ibunya. Sudah impas, bukan? Meskipun tidak bisa diukur dengan semua itu, tapi Yasmin merasa kalau ya sudah, memang ini yang terbaik. Mau diapakan lagi karena sudah berlalu cukup lama juga. “Yas, kamu maafin papa, kan?” Pak Ilham kembali bertanya entah ini sampai yang keberapa. Dia hanya ingin memastikan kalau Yasmin benar-benar memaafkannya. Dia hanya takut kalau kemarin Yasmin baik kepadanya karena dia sedang sakit. “Iya, Pak. Tidak ada gunanya juga menyimpan dendam.” Pada akhirnya, Jani berujar pelan yang disambut senyuman tulus oleh Pak Ilham. “Terima kasih.” katanya. “ Dan soal pernikahan-“ “Tidak apa-apa, Pak. Sudah terjadi, mau bagaimana lagi?” potong Yasmin lebih dulu. Pak Ilham menghela napas panjang, dia tahu kalau sebenarnya Yasmin kecewa, tapi dia berpikir kalau ini adalah keputusan terbaik dari yang paling baik. “Meskipun terkesan cuek, Rama anak yang baik. Papa percaya dia juga bisa menjadi suami yang baik buat kamu. Dia memang begitu dengan orang baru.” Orang baru? Yasmin meringis pelan, menertawai hidupnya sendiri. Nama lengkap suaminya saja dia tidak tahu. Itu bukan lagi orang baru, tapi benar-benar orang asing yang dipaksa hidup bersama. Dan sepertinya tidak akan mudah untuk menjalani pernikahan ini. “Maafkan keegoisan papa karena memaksakan pernikahan ini. Tapi papa tidak punya pilihan lain lagi. Papa ingin ada yang menjagamu. Dan papa hanya bisa percaya dengan anak papa sendiri, Rama.” Kata Pak Ilham. Yasmin terdiam cukup lama. Dia tidak tahu apakah ini benar atau salah. Tapi yang pasti, Yasmin merasa perlu untuk mengungkapkan keinginannya. Dia tidak ingin pernikahan yang Pak Ilham ciptakan. “Tidak bisakah kami berpisah saja? Bapak tidak perlu melakukan semua ini. Saya bisa hidup dengan baik tanpa bantuan kalian.” Jujur, jika ditanya dari mana Yasmin bisa berkata demikian maka dia pun tidak tahu jawabannya. Yasmin hanyalah gadis yang umurnya saja masih 18 tahun. Dia tidak pernah memikirkan pernikahan apalagi memimpikannya. Kalau lah suatu hari nanti Yasmin akan menikah, dia ingin belajar dulu untuk memperdalam ilmu agamanya agar pernikahannya berkah dunia akhirat. Namun sekarang, jangankan belajar, mau mengambil napas saja rasanya Yasmin harus izin dengan orang-orang baru di sekitarnya ini. Yasmin belum banyak mengerti. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana dalam hubungan ini. Pak IIham mematung di tempatnya. Jantungnya mulai memompa darah melewati batas normal lagi sejak Yasmin mengatakan kata bercerai. Dan Yasmin panik sendiri saat melihat Pak Ilham kembali kesakitan seperti hari lalu. “Tolong!” teriaknya. Beruntung Bi Ijah langsung memanggilkan dokter dan Rama ikut masuk bersamanya. Beberapa saat menunggu, akhirnya dokter keluar juga dan mengatakan keadaan Pak Ilham kepada mereka semua. “Tolong jangan membuat Pak Ilham merasa tertekan. Jantungnya dalam kondisi tidak baik untuk saat ini. Semakin dipaksa untuk berpikir keras, kinerja jantungnya juga semakin berat. Tolong pengertiannya, pasien tidak boleh berpikiran berat karena bisa memperburuk keadaannya.” Rama mengangguk kaku, “baik, terima kasih, Dok.” Yasmin hanya diam menatap Pak Ilham. Dia menjadi merasa bersalah sendiri. Apa iya dia terlalu egois dengan memaksakan kehendaknya. Tapi, apa baik juga jika dia tetap meneruskan pernikahan dadakan ini? Dia takut kalau seterusnya akan bertambah rumit saja. Yasmin hanya ingin menanggulangi semuanya dari sekarang dari pada semakin kacau ke depannya. Tapi nyatanya, yang dia harapkan tidak terjadi semestinya. Perlahan, Yasmin mengalihkan tatapannya dari Pak Ilham ke Rama—suaminya. Dan Rama yang sadar akan tatapan Yasmin memilih memalingkan wajah dan keluar dari ruang rawat itu begitu saja. Yasmin mendesah pelan, kenapa hidupnya jadi rumit begini. Padahal, dua hari yang lalu dia masih disiksa seperti biasa oleh ayahnya sendiri. Dia merasa asing di sini. Rasanya benar-benar aneh. Dalam sekejap mata, dia jadi istri diusianya yang baru menginjak 18 tahun. Kalau ini cerita novel, Yasmin tidak akan mempermasalahkannya, tapi ini hidupnya. Dia sendiri yang menjadi tokoh utama dalam alur cerita ini. Entahlah, Yasmin tak tahu bagaimana alur akan mempermainkan-nya nanti. Tapi yang pasti, dia merasa tak bahagia berada di sini. Berada di tengah-tengah orang asing yang menjelma jadi saudara terdekat, bahkan suami. Itu bahkan tak pernah ada dalam mimpinya sekalipun. *** Pagi ini Yasmin tengah berkutat di dapur, membantu Bi Ijah memasak untuk menyambut kedatangan Pak Ilham yang hari ini sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Pak Ilham dirawat kurang lebih tiga hari. Dan selama itu juga, Yasmin selalu mengunjunginya walau hanya di pagi hari. Selama ini juga, dia selalu berpikir saat sendirian. Semuanya sudah terjadi. Dia sudah menikah, itulah yang Yasmin sadari sedari awal. Sekali lagi, menolak pun, tidak akan mengubah kenyataan yang ada. Justru hanya akan menambah sesak di d**a jika Yasmin terus saja menolak semua yang sudah digariskan oleh Tuhan. Selama ini pula, Yasmin tak pernah bicara pada Rama. Baik Rama maupun Yasmin tak pernah berusaha untuk berbicara. Mereka terlalu canggung dalam satu ruangan berdua. Apalagi Yasmin seperti menyadari kalau Rama juga tidak menginginkan pernikahan ini. “Jangan ngalamun, Non. Nanti tangannya terpotong!” peringat Bi Ijah dan sukses menyadarkan Yasmin saat itu juga. “Non tau tidak, Non? Sejak Non ada di sini, Bibik merasa ada temennya. Sebelum Non datang, rumah ini seperti rumah hantu. Sepi sekali, bahkan lebih ramai kuburan di kamping Bibi.” Yasmin menyerngitkan keningnya bingung kemudian tertawa saat mendengar penuturan Bik Ijah. Ada-ada saja, pikirnya. “Tuan pergi pagi buta dan pulang tengah malam. Kalau Den Rama pergi pagi, pulang, dan setelah itu pergi lagi kalau tuan pulang. Mereka seperti tidak ingin bertemu. Bibik bingung sama mereka. Bibik pengen tanya tapi tidak berani.” jelasnya. Dari cerita Bik Ijah, Yasmin tahu kalau keluarga kaya raya ini tidak bahagia. Bahkan, Yasmin mulai berpikir untuk menerima semua ini. Lagi pula, Pak Ilham tidak bisa diajak kompromi. Perkataan Yasmin yang belum menyakiti hatinya saja sudah membuat jantung lemahnya kambuh. Apalagi kalau sampai melukai hatinya, bisa langsung serangan jantung mendadak yang ada. Kalau sampai meninggal? Yasmin bisa-bisa dibenci lagi. “Non, Non tidak berpikir untuk pergi dari sini, kan?” tanya Bi Ijah hati-hati. Walaupun statusnya di sini hanya asisten rumah tangga, tapi Bi Ijah sudah menganggap keluarga tuannya seperti keluarga sendiri. Apalagi Bi Ijah sebatangkara di sini, tak punya sanak keluarga. Keluarganya ada di kampung semua. Yasmin menerawang jauh ke depan sebelum menjawab pertanyaan Bik Ijah, ada sesak yang merongrong rongga dadanya. “Mau bagaimana lagi, Bi? Apa aku bisa pergi?" “Karena kami kaya?” Yasmin dan Bi Ijah kompak menoleh untuk melihat siapa yang bicara. Dan ternyata, orang itu adalah Rama. “Dasar tidak tahu malu!” cibir Rama dan langsung naik ke lantai atas. Bi Ijah mengusap bahu Yasmin lembut. “Jangan dengarkan omongan orang yang sedang emosi, Non.” Yasmin tersenyum kecil dan mengangguk pasti. Bi Ijah benar, tidak akan ada habisnya jika meladeni orang yang sedang dikuasai amarah. Lagi pula, dia tidak mempermasalahkan omongan Rama sama sekali. Kalau yang dikatakannya tidak benar, kenapa harus marah? “Assalamualaikum.” Yasmin dan Bi Ijah kembali menoleh untuk melihat siapa yang datang lagi. Ternyata Pak Ilham sudah pulang. Dia duduk manis di kursi roda yang didorong oleh supirnya. Yasmin langsung menatap atas, di mana kamarnya berada. Bagaimana bisa pemuda itu pergi begitu saja dan membiarkan ayahnya sendiri dibantu orang lain padahal dia tidak ada kesibukan sama sekali. Pak Iiham benar-benar sudah dihukum. Yasmin menghela napas panjang dan berjalan pelan untuk menghampiri Pak Ilham. Tanpa aba-aba, dia langsung mencium tangan papa mertuanya. Pak Ilham terpaku, dia tak percaya dengan apa yang baru saja ia rasakan. Sejak istrinya meninggal, Rama tak pernah mencium tangannya. Dan sekarang, setelah 18 tahun ada yang mencium tangannya lagi. Itupun dari seorang gadis yang sudah ia renggut ibunya. Gadis itu mendongak karena mendengar isakan. Dia bingung melihat papa mertuanya yang menangis tergugu. “Bapak sakit lagi?” tanya Yasmin panik. Pak Ilham menggeleng, “ boleh minta tolong?” tanya Pak Ilham, Yasmin langsung mengangguk pasti. “Bisa memanggil saya, papa?” Yasmin terdiam dalam lamunannya. Bicara soal papa, dia merindukan ayahnya. Memang benar selama ini Hendrawan selalu menyiksanya. Tapi tak dipungkiri kalau Yasmin merindukan ayahnya itu. Dia sangat merindukannya. Selama ini dia tak pernah jauh dari ayahnya. Walaupun ayahnya selalu menyiksa, tapi yang namanya ayah tetaplah ayah. Yasmin tidak akan pernah melupakannya. Kalau dibilang haus kasih sayang, Yasmin mengakuinya. Mana ada anak yang tak menginginkan kasih sayang orang tuanya sendiri? Pak Ilham menepuk bahu Yasmin pelan hingga membuat gadis itu tersentak dari lamunannya dan mengangguk pasti. Yasmin bisa dengan jelas melihat air mata yang jatuh dari pelupuk mata mertuanya ini. Untuk sesaat, Yasmin merasa kalau ada yang mengharapkannya, ada yang bersyukur atas kelahirannya setelah belasan tahun ini dia hanya tahu kebencian orang-orang atas dirinya. Rama yang memperhatikan dari lantai atas menatap jengah drama yang tengah terjadi. Dia muak dengan semua ini. *** Yasmin berjalan gontai memasuki kamarnya saat malam sudah bertahkta. Dan pertama kali yang dia lihat adalah Rama yang tertidur dengan berbagai kertas yang berserakan di atas ranjang. Perempuan ini menghela napas lemah dan bergegas mengemasi semua kertas. Ya memangnya Yasmin harus bagaimana lagi? Kepalanya pusing melihat ruangan yang berantakan. Jantungnya saja berdebar tidak karuan harus memasuki kamar laki-laki yang bahkan tak dirinya kenal ini. Dan apa iya Yamsin harus membuat drama dengan tidak mau masuk kamar atau tidur di kamar lain. Oh ayolah ini bukan sinetron. Saat mencoba mengambil kertas yang ditindih oleh Rama, Rama pun terjaga dan langsung menatap Yasmin garang. “Ngapain kamu?! Jangan sentuh!” Rama langsung bangkit dan menarik paksa kertas yang Yasmin genggam sampai ada yang sobek. “Mau kamu apa, sih!” pria itu langsung turun dari ranjang, berdiri, mengusap wajahnya kasar dan menatap Yasmin tajam, marah-marah lagi. “Aku hanya membereskan saja.” bela Yasmin kepada dirinya sendiri. Benar, kan? Kan bisa saja Rama berganti posisi menindih kertas yang lain sampai lecek atau lebih parahnya sobek. Rama tak menggubris pembelaan yang Yasmin berikan, yang ada dia langsung pergi menuju kamar mandi. Lelaki itu berpegangan pada sisi wastafel, menatap datar wajahnya sendiri dari cermin. Saat mengingat pernikahannya dengan Yasmin, kepalanya ingin pecah. Karena tak mau berpikir tentang hal tak berguna seperti itu, Rama bergegas mencuci wajah dan keluar setelahnya. Saat keluar dari kamar mandi, Rama tak mendapati Yasmin dimana pun. Dia tak peduli, bahkan kalau sampai Yasmin kabur pun, dia tak peduli. Akan lebih baik kalau waktu aksi bunuh diri perempuan itu benar-benar mati. Tapi sayang, itu semua tidak terjadi. Perempuan itu masih sehat walafiat sampai sekarang. Rencana Tuhan memang ajaib. Oh Tuhan tolong ampuni pemikiran Rama yang salah kaprah mendoakan istrinya sendiri meninggal. Tak mungkin juga berbagi kamar dengan perempuan asing, Rama memutuskan untuk keluar dari kamar. Ah, bukan dari kamar saja tapi keluar dari rumah lebih tepatnya. Yasmin yang ternyata sembunyi di ruang ganti langsung keluar saat mendengar pintu kamar tertutup keras. Dia menatap nanar pintu yang baru saja digunakan seorang pemuda untuk keluar. Jujur, butuh keberanian besar untuk masuk kamar tadi. Dadanya bergemuruh hebat. Dia takut bertemu dengan Rama, suaminya sendiri. Apalagi di ruangan serba tertutup seperti ini. Gadis ini tak pernah tahu apa yang akan terjadi padanya esok. Dia juga tak tahu bagaimana nasib pernikahannya nanti. Pernikahan yang mereka jalani ini terlalu dini. Yasmin bahkan masih berpikir kalau ini semua hanyalah mimpi. Tapi dia sadar, memang inilah kenyataannya. Terlepas dari itu semua, dia akan mencoba untuk menerima semua ini. Lagi pula semua sudah terjadi. Tidak dijadikan pemuas napsu saja dia sudah bersyukur. Sebenarnya, dia juga bingung harus bersikap bagaimana saat hanya berdua dengan Rama. Ini bukan pernikahan pada umumnya, seperti laki-laki dan perempuan yang saling menyukai, tapi ini justru kebalikannya. Yasmin hanya lah ABG yang semestinya masih hahahihi menikmati masa-masa akhir SMK-nya. Dia sudah bermimpi akan bekerja keras saat PKL nanti. Mengingat SMK, Yasmin jadi rindu kedua temannya. Ingin sekali dia memberi kabar, tapi tak punya alat komunikasi. Yasmin yakin, Imas sudah menjual gawainya untuk mendapatkan uang. Dan mengingat Imas, Yasmin jadi ingat ayahnya. Apa ayahnya khawatir karena dia menghilang? Ah--sepertinya tidak. Mungkin malah syukuran karena Yasmin yang dibencinya telah pergi. Namun sekali lagi Yasmin yakin, ayahnya akan merindukannya. Karena bagaimanapun, sejahat apapun ayahnya, Hendrawan tidak pernah mengusir Yasmin dari hidupnya. *** Suara azan yang begitu merdu membangunkan Yasmin dari tidur panjangnya. Dia langsung menunaikan kewajibannya sebagai seorang Muslim untuk salat. Saat selesai, dia bergegas turun untuk menyiapkan sarapan pagi. Yasmin bersyukur. Selama ini, ayahnya selalu menyuruhnya untuk memasak. Karena itu dia jadi bisa memasak. Bicara soal Rama, Yasmin tak melihatnya sama sekali sejak semalam. Ada rasa syukur yang Yasmin Langitkan. Tapi dia sadar, hari bicara berdua dengan Rama pasti akan datang. Pada akhirnya, Yasmin Kembali menerawang jauh ke depan. Jika di rumah, dia pasti sudah siap untuk berangkat sekolah dengan jalan kaki demi menghemat pengeluaran. Jadi, bersyukurlah kalian yang sekolah masih dibiayai orang tua. Namun sekarang, Yasmin bahkan tak tahu bagaimana caranya keluar dari rumah. “Selamat pagi,” sapa Pak Ilham dengan senyum sumringah saat masuk ke dapur. Bi Ijah ikut tersenyum, untuk pertama kali dia melihat tuannya kembali ceria seperti 18 tahun yang lalu. “Pagi,” balas Yasmin seadanya. Dia ingin diam saja, tapi takut kalau Pak Ilham tertekan atau bagaimana. Entahlah, semoga gerak-geriknya seperti diawasi, Yasmin merasa tidak leluasa dalam bersikap. “Masak apa, Yas?” “Bubur.” Pak Ilham mengerti. “Rama mana?” tanyanya lagi sembari celingak-celinguk mencari keberadaan putranya. Yasmin yang ditanyai terdiam cukup lama, dia mana tahu? Yasmin tak biasa dengan keadaan seperti ini. Dia benar-benar canggung dan tidak tahu harus menjawab apa jika ditanyai soal Rama. “Dia-“ “Ada apa, Pa?” tiba-tiba terdengar suara disusul dengan kedatangan Rama dari pintu masuk. Tanpa sadar, Yasmin menghela napasnya lega. Tanpa sengaja, Rama menyelamatkan dirinya dari pertanyaan yang mertuanya lontarkan. Terima kasih untuk Rama. “Dari mana?” tanya Pak Ilham. “Jogging.” Rama. “Besok-besok Yasmin diajak keliling kompleks. Ayo sarapan dulu." Yasmin membantu Bi Ijah untuk menata makanan di meja makan segera. Setelah itu mereka makan dalam keheningan. Selesai makan, Yasmin langsung membereskan meja makan. “Jangan pergi dulu!” cegah Pak Ilham saat Rama bangkit dan ingin pergi. Mendapat peringatan seperti itu Rama langsung mendudukkan tubuhnya kembali. “Yasmin sini, Nak.” Yasmin yang dipanggil turut menoleh dan bergegas menghampiri papa mertuanya. “Iya?” “Duduk dulu.” titah Pak Ilham. Gadis yang memakai kerudung ini tentu saja duduk di samping Rama, memang mau dimana lagi. “Papa tahu kalian berdua tidak nyaman dengan pernikahan ini. Kalian masih sangat muda, apalagi Yasmin. Kamu harus jaga napsu kamu, Ram!” Rama mendelik tak percaya dengan apa yang baru saja papanya katakan. “Dan kamu, Yas.” Pak Ilham beralih menatap Yasmin. “Sekarang kamu sudah menjadi seorang istri. Papa menikahkan kalian karena papa percaya anak papa bisa menjaga kamu. Papa mohon, coba buka hati kalian untuk menerima satu sama lain. Papa percaya kalian bisa hidup berdampingan.” Rama diam saja karena dia tidak ingin kalau papanya sampai kambuh lagi. Walaupun ada rasa benci dalam dirinya pada sosok papanya ini, tapi Rama masih ada rasa sayang pada papanya. Bagaimanapun juga, papanya tetaplah papanya. Beliau yang membesarkannnya sampai sebesar ini. “Papa istirahat saja, biar aku yang ke kantor!” Kata Rama yang sudah bangkit dan berlalu pergi menuju kamar. Yasmin diam sedari tadi, bahkan saat Rama sudah pergi sekali pun. Dia tak tahu harus bersikap bagaimana. Sekali lagi, dia merasa aneh dengan semua ini. Ada yang mengganjal di hatinya. Dia merasa tak pantas untuk menerima semua perhatian baik ini meskipun dia sebenarnya pantas mendapatkan yang lebih dari ini. Selama ini, dia selalu diperlakukan buruk. Jadi dia bingung harus bagaimana saat ada orang baru yang memperlakukannya sebaik ini. “Yas?” “Ah, iya.” perempuan itu gelagapan sendiri, tidak sadar sudah melamun sejak Pak Ilham menerangkan tentang pernikahan mereka. “Susulin suami kamu, siapkan keperluannya pergi ke kantor. Celana, kemeja dan dasi.” kata Pak Ilham. “Baik, Pa.” Pada akhirnya, Yasmin memang harus bergegas pergi ke kamarnya. Saat masuk, dia tak melihat siapa pun tapi mendengar gemericik air dari kamar mandi. Yasmin langsung membuka lemari. Dia mengambil jurusan tata busana, jadi sekurang-kurangnya dia bisa menilai cocok tidaknya suatu pakaian jika dipakai seseorang. Dia memilihkan kemeja berwarna dark grey dan dasi berwarna hitam senada dengan celananya. Kemudian pintu kamar mandi terbuka. Yasmin menoleh dan mendapati Rama telanjang d**a dengan handuk yang melilit bagian bawah tubuhnya. Refleks, Yasmin langsung memalingkan wajah. Dia berjalan kaku kemudian meletakkan pakaian yang sudah dipersiapkannya di ranjang dan berlalu pergi. “Tunggu!” cegah Rama saat Yasmin menuju pintu luar. Langkah Yasmin terhenti dengan jantung yang berdetak tak karuan, seolah apa yang akan dikatakan oleh Rama akan menentukan hidup dan matinya. “Bersikaplah layaknya suami istri di depan Papa.” Rama menatap punggung Yasmin datar. Hanya itu? Baiklah, tanpa menjawab, Yasmin langsung keluar dari kamar. Rama tak peduli dan mengambil pakaian sendiri di lemari. Tak mau memakai pakaian yang Yasmin pilihkan. Sedangkan Yasmin sendiri memegangi dadanya yang bekerja tak normal. Tadi, dia sempat berpikir yang tidak-tidak. Takut jika diapa-apakan atau mungkin dirinya saja yang terlalu percaya diri. Menurut Yasmin, dirinya masih sangat kecil diumur 18 tahun sudah menikah. Bahkan sudah beberapa saat berlalu pun, Yasmin tidak tahu umur suaminya sendiri. Meresahkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD