Bab 3

1077 Words
Sandra menolak diantar pulang meskipun tadi Fajar berusaha membujuknya. Ah, tentu saja ia tidak akan merasa nyaman berada dalam satu mobil bersama pria itu. Ditambah lagi, ia ingin mampir ke minimarket dulu lantaran stok camilannya habis. Selesai membayar menggunakan kartu debitnya, Sandra menerima dua buah tas ramah lingkungan yang sudah terisi penuh dengan camilan dan minuman ringan favoritnya. Sambil menunggu taksi online yang sudah dipesannya, Sandra berdiri di depan minimarket sambil menenteng belanjaannya tadi. Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang tidak asing di seberang jalan sana, tepat di depan karaoke. Ya, letak minimarket dengan tempat karaoke kecil di hadapannya itu memang berseberangan. Sandra berusaha mempertajam penglihatan dan ingatannya, memastikan ia tidak salah lihat. Sampai kemudian wanita itu semakin yakin kalau motor yang terparkir di depan tempat karaoke itu adalah motor milik Romi, pria yang selama tiga bulan ini menjadi pacarnya. Sejujurnya Sandra tidak pernah kepikiran untuk pacaran karena selama ini ia memang lebih suka menjomlo. Namun, teman kuliahnya dulu tiba-tiba mengenalkannya dengan Romi, dan entah bagaimana Romi terus mendekatinya sehingga hubungan mereka pun resmi berstatus pacaran hingga hari ini. Selama berpacaran, mereka memang hanya bertemu seminggu sekali karena yang Sandra tahu, Romi cukup sibuk. Kalau motor di seberang sana benar-benar milik Romi, boleh dibilang ini pertama kalinya Sandra bertemu Romi bukan di akhir pekan. Ah, Sandra menggeleng. Untuk apa ia menemuinya ke sana? Jika benar itu memang Romi, pasti sedang asyik bersama teman-temannya. Meskipun sudah memantapkan diri membiarkannya saja, Sandra malah bertekad untuk menyapa pria itu sebentar. Bukankah Romi juga pasti senang melihat pacarnya yang cantik ini ada di sini? Setelah meminta menunggu sebentar pada sopir yang baru saja tiba, sekaligus meletakkan camilannya di dalam taksi, Sandra kemudian menyeberangi jalan. Kebetulan sekali ia melihat Romi sedang melangkah masuk sambil membawa bingkisan kecil, entah dari mana. Padahal Sandra kira, pria itu berada di dalam. Awalnya Sandra sudah berteriak memanggil Romi, tapi suaranya kalah oleh suara bising kendaraan di jalanan. Sandra pun memutuskan mengikutinya saja. Selesai menyeberang, Sandra langsung memasuki tempat karaoke itu. Ia samar-samar melihat Romi masuk ke salah satu pintu. Ah, ia tidak bisa membayangkan betapa senangnya Romi saat menyadari kehadirannya mengingat belakangan ini pria itu sering mengatakan merindukannya. Membuka pintunya pelan, Sandra bingung sendiri saat mendapati ruangan yang sepi. Sungguh, ia masih mengira Romi sedang dengan teman-teman prianya yang tentunya berjumlah lebih dari tiga. Juga, seharusnya ruangan itu sangat berisik. Kenapa malah sepi sekali? Sandra pun sedikit melebarkan pintunya agar memungkinkannya untuk mengintip. Ia terkejut bukan main saat melihat Romi sedang berciuman panas dengan seorang wanita. Sandra tidak mungkin salah lihat, terlebih matanya masih sangat normal. Akhirnya, ia pun mundur dan langsung pergi meninggalkan tempat itu. Jadi ini yang namanya diselingkuhi. Anehnya, Sandra tidak merasakan sakit hati. Ia malah biasa-biasa saja. Mungkinkah karena ia memang tidak benar-benar menaruh cinta dalam hubungan ini? *** Taksi membawa Sandra ke rumah orangtuanya. Ya, Sandra memang belum memiliki rumah sendiri. Tadi saat di perjalanan ia memang sempat menelepon Romi beberapa kali dan tentu saja tidak diangkat. Begitu taksi hampir sampai, kali ini ponsel Sandra yang berdering. Rupanya Romi yang menelepon balik. Pria itu pasti bingung kenapa Sandra meneleponnya berkali-kali. Tanpa ragu, Sandra pun mengangkat panggilannya. “Iya?” “Sayang, maaf aku lagi ada kerjaan jadi nggak sempat angkat telepon. Ada apa?” “Kamu lagi kerja?” “Iya, Sayang. Mungkin pulangnya agak malam. Kamu kenapa nelepon sampai lima kali? Ada masalah?” “Aku mau kita putus.” Terdengar jelas Romi terkejut. “Apa?” “Kita putus.” “Kenapa tiba-tiba?” “Kita juga pacarannya tiba-tiba. Seharusnya nggak heran kalau putusnya tiba-tiba.” “Tapi aku sayang kamu, Sandra.” “Tapi aku nggak sayang kamu, apalagi jelas banget kamu punya wanita lain. Kamu pikir aku nggak tahu, kalau kamu lagi mesra-mesraan di tempat karaoke siang bolong begini. Sewa hotel bisa, kan?” “Oh, kamu lihat? Kalau begitu aku setuju, sebaiknya kita putus aja.” Setelah mendengar kalimat terakhir Romi, detik berikutnya Sandra langsung menutup panggilannya tanpa mau merespons sepatah kata pun. Dasar buaya! Bersamaan dengan itu, taksi tepat berhenti di depan rumahnya. Sandra pun turun dengan rasa bahagia, seolah baru saja melepaskan beban di pundaknya. Lagi pula, sejak awal Sandra sudah kepikiran untuk mengakhri hubungannya dengan Romi. Ya, menurutnya untuk apa menjalani hubungan yang sudah terlihat bagaimana akhirnya? Sungguh, Sandra sudah berusaha menyukai Romi, tapi tetap saja semua itu tidaklah mudah. Sandra kembali teringat ajakan menikah Fajar, haruskah ia menerimanya saja? Namun, tetap saja, kalaupun ia benar-benar menikah dengan Fajar, bukankah akhirnya juga sudah terlihat? Untuk apa menikah kalau untuk bercerai? Berusaha tidak memusingkan itu, Sandra bergegas masuk ke rumah orangtuanya yang tampak sangat sepi. Sejenak, ia meletakkan belanjaannya tadi di ruang TV lalu bergegas ke pintu samping rumah ini, tempat orangtuanya biasa bersantai di siang hari. Sebelum menghampiri orangtuanya, samar-samar Sandra mendengar pembicaraan mereka. Sandra pun memutuskan sembunyi di dekat pintu demi bisa tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Detik berikutnya Sandra menegang, rupanya orangtuanya sangat berharap ia bisa menikah dengan Fajar. Sandra baru tahu, di depannya mereka seolah-olah tidak memaksa, tapi di belakangnya mereka menyimpan harapan yang begitu besar. Sandra pun pelan-pelan meninggalkan tempat itu dan menuju kamarnya. Dengan hati yang tak menentu, ia sepertinya sudah tidak ragu lagi dengan keputusannya. Selama beberapa saat Sandra menunggu panggilannya tersambung dengan Fajar. “Iya, Sandra?” “Mas Fajar … udah nyampe rumah?” tanya Sandra ragu-ragu. “Belum, saya memang nggak langsung pulang. Ada apa, Sandra?” “Berarti belum bilang ke orangtua Mas Fajar tentang keputusan kita tadi?” “Belum dong. Ada apa, Sandra?” Suara Fajar tampak sangat serius. “Jangan buat saya takut.” “Aku mau samakan jawaban kita yang tadi.” “Hmm … gimana, gimana?” “Tadi kita, kan, sepakat menyamakan jawaban kalau Mas Fajar setuju dengan perjodohan ini, sedangkan aku perlu waktu untuk berpikir. Aku mau mengubah kesepakatannya.” “Jangan bilang kamu berubah pikiran.” “Iya, aku berubah pikiran, Mas.” “Kenapa lagi? Tadi kita udah sepakat kalau-” “Aku juga setuju dengan perjodohannya,” potong Sandra. “Hah? Ulangi, ulangi.” “Keputusan akhirnya adalah, kita berdua sama-sama langsung setuju. Enggak perlu nunggu seminggu buat aku memikirkan jawabannya.” “Kamu serius, Sandra?” “Iya, Mas.” “Bagus. Terima kasih, ya. Aku pastikan kamu nggak akan menyesal dengan keputusannya.” Suara Fajar tampak semringah. “Baiklah, kita akan menikah.” Ya, menikah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD