Bab 2

966 Words
"Saya nggak bisa menolak permintaan orangtua saya. Sedangkan saya juga nggak mungkin mengakhiri hubungan dengan Nadia, wanita yang sudah saya pacari tiga tahun ini." "What? Mas pasti bercanda. Aku nggak habis pikir Mas Fajar berpikir segila ini." "Saya serius, Sandra." "Mas ... daripada Mas menjalani perjodohan ini dengan terpaksa, mendingan Mas Fajar bujuk orangtua Mas supaya merestui hubungan dengan ... siapa tadi? Nadia, ya?" tanya Sandra. "Maaf, maksudnya Mbak Nadia," koreksinya. "Kamu pikir saya belum melakukannya? Sudah, Sandra. Bahkan sudah berkali-kali dan hasilnya nihil. Orangtua saya bersikeras ingin kamu yang menjadi istri saya." "Maaf, Mas. Pernikahan bukan permainan. Lebih baik perjodohan ini stop sampai di sini daripada lanjut dengan cara yang aneh." Sandra bingung. Kenapa orangtua Fajar bisa-bisanya memaksa padahal putranya itu sudah memiliki pilihan sendiri. Terlebih hubungan Fajar dengan pacarnya itu sudah terjalin selama tiga tahun. Ya, tiga tahun tanpa restu? Sangat berbeda dengan orangtua Sandra yang menyerahkan segala keputusan pada Sandra. Sandra awalnya sangat pasrah dengan perjodohan ini. Ia bahkan sudah mencari cara untuk memutuskan Romi, pria yang genap tiga bulan ini menjadi kekasihnya. Ya, terhitung singkat memang, itu sebabnya Sandra nyaris saja lebih memilih melanjutkan perjodohan daripada melanjutkan hubungannya dengan Romi. Namun, seperti inikah sifat Fajar yang orang bilang sempurna? Tanpa ragu menganggap enteng pernikahan. "Sandra, saya serius ... saya ingin pernikahan kita tetap dilaksanakan. Saya nggak perlu cinta kamu, dan kamu pun nggak perlu mencintai saya, yang penting harapan orangtua kita terlaksana." Fajar bahkan menyentuh lembut jemari Sandra. "Aku nggak tahu tujuan Mas apa sampai-sampai berpikir hal sekonyol ini, tapi yang pasti aku nggak setuju. Lebih baik kita nggak usah menikah dan perjodohan resmi dihentikan," balas Sandra seraya melepaskan tangannya dari genggaman Fajar. "Tenang aja, aku nggak akan menyinggung masalah ini ke orangtuaku. Aku bakal bilang kalau kita stop karena sepakat nggak cocok," lanjut wanita itu. "Satu tahun." Sandra tampak terkejut. "Apa?" "Hanya satu tahun, Sandra. Setelah itu kita akan hidup masing-masing. Jadi, selama setahun pernikahan ini ... kita akan hidup selayaknya pasangan sempurna di hadapan orangtua kita." Sandra lalu menenggak minumannya. Ia butuh energi lebih untuk menyadarkan bahwa yang Fajar katakan itu sangatlah tidak masuk akal. "Aku rasa Mas Fajar udah nggak waras. Aku nggak se-gila itu buat menerima perjodohan sinting ini. Satu tahun? Maaf, aku nggak mau mengorbankan statusku dengan pernikahan palsu lalu menjadi janda setelahnya. Enggak akan!" Ya, menurut Sandra, Fajar bisa-bisanya begitu tega menjandakan seorang wanita hanya demi pernikahan palsu yang tidak jelas tujuannya apa. Lagi pula Sandra merasa, dirinyalah pihak yang nantinya paling dirugikan. Sandra bahkan merasa tidak memiliki alasan untuk menerima pernikahan ini. "Saya tahu ini gila, tapi kita memang harus menikah." "Oke, orangtua Mas Fajar mungkin mendesak. Tapi jangan samakan dengan orangtuaku yang nggak masalah kalau ini batal." "Kata siapa? Orangtuamu bahkan sangat mengharapkan kita menikah, bedanya mereka nggak jujur di hadapan kamu. Bertindak seolah kamu bebas memilih, padahal jauh di dalam hatinya menginginkan saya yang jadi menantunya." Tidak, Sandra yakin Fajar pasti berbohong. Mana mungkin orangtuanya seperti itu? "Pada akhirnya kita memang pasti menikah." "Kenapa kamu seyakin itu, Mas?" "Karena sejak kamu lahir, mereka sudah menetapkan kalau kamu harus menjadi istri saya. Saya tahu ini terdengar konyol, tapi beginilah kenyataannya. Orangtua saya bahkan bersikeras meskipun saya berusaha menolak dan mengatakan kalau saya sudah punya pacar. Dalam kata lain, keputusan kedua orangtua kita nggak bisa diganggu gugat," jelas Fajar. "Itu sebabnya saya menyerah dan memilih menuruti keinginan mereka. Menikahi kamu," lanjut Fajar. "Tapi Mas-" "Saya pastikan kamu bahagia dan nggak menyesal menikah dengan saya." "Orangtuaku pasti langsung menghentikan perjodohan ini setelah aku menceritakan obrolan kita sekarang." "Sandra ... mungkin pernikahan kita berdua adalah kebohongan untuk semua orang, terutama orangtua kita. Tapi, saya pastikan di antara kita berdua hanya akan ada kejujuran. Itu sebabnya sejak awal saya jujur tentang pacar. Saya membebaskan kita memiliki orang yang sebenarnya kita cintai, yaitu pacar masing-masing," terang Fajar. "Padahal bisa aja saya menyembunyikan tentang pacar saya. Toh, kamu juga awalnya setuju-setuju saja dengan perjodohan ini. Tapi saya lebih memilih jujur. Saya mau pernikahan ini terasa nyaman dan menguntungkan kedua belah pihak sehingga nggak ada satu pun di antara kita yang menderita atas pernikahan ini. Ingat, jika kita menikah ... orangtua kita akan merasa bahagia sekaligus tenang karena merasa perjanjian mereka lunas atau terlaksana," sambung Fajar. Sandra masih terdiam. Fajar kembali berbicara, "Jadi, tolong pikirkan dengan matang. Saya jamin, pernikahan ini nggak akan mengikatmu. Bahkan sejak awal saya sudah menekankan, bukan? Bahwa kamu bebas menjalin hubungan dengan siapa pun." Bukan ... sungguh, bukan pernikahan seperti ini yang Sandra inginkan. Ia kira, cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu meskipun pernikahannya berawal dari perjodohan. Namun, jelas ini benar-benar di luar dugaan Sandra. "Maaf, aku nggak bisa." Hanya itu yang bisa Sandra jawab. "Satu Minggu. Saya kasih kamu kesempatan untuk berpikir paling lama seminggu dari sekarang. Saya harap kamu mendapatkan keputusan yang tepat." "Mas Fajar itu-" "Satu tahun, Sandra. Pernikahan kita hanya akan berlangsung selama satu tahun," potong Fajar. "Oh, maksud Mas Fajar pernikahan kontrak, begitu?" "Mungkin lebih tepatnya ini pernikahan sementara." "Apa bedanya?" sungut Sandra. "Kalau pernikahan kontrak ... sesuai namanya, ada kontraknya yakni hitam di atas putih dan ditandatangani langsung oleh kedua belah pihak. Sedangkan pernikahan sementara ya sementara, nggak bergantung sama isi perjanjian secara tertulis karena memang nggak ada perjanjiannya. Dan untuk pernikahan sementara kita, saya rasa satu tahun cukup. Itu kesepakatannya." Sandra menggeleng. Masih tidak habis pikir dengan jalan pikiran Fajar. "Tolong pikirkan dulu, Sandra. Setidaknya seminggu. Kamu juga bisa bicarakan ini dengan pacarmu dulu." "Mas Fajar pasti beneran gila." "Saya tunggu kabar baiknya seminggu yang akan datang," balas Fajar, tak menghiraukan ucapan Sandra. "Ah iya satu lagi ... mari samakan jawaban. Saya yakin sepulang dari sini, orangtua kita pasti menanyakan hasilnya. Mari sama-sama jawab kalau saya setuju dengan perjodohannya, sedangkan kamu perlu berpikir sebentar. Karena memang faktanya begitu, bukan?" sambung Fajar. Tunggu ... apa-apaan ini?! batin Sandra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD