Tanda dan Peringatan

1135 Words
Selamat datang dan selamat menikmati .... *** Dita menemukan sebuah piring pecah di lantai. Ia melirik kanan-kiri untuk memastikan binatang atau apa yang menyebabkan piring tersebut pecah. Gadis itu lumayan merasa beruntung tatkala di dapur, masih terdapat perabotan yang layak dipakai. Meskipun terlihat kotor dan ya, bau. Akan tetapi, itu bukan masalah. Masih bisa dicuci dengan sabun. Eh, tapi kenapa piringnya bisa tiba-tiba pecah? Siapa yang menjatuhkannya? Pertanyaan itu masih belum terjawab. Bahkan sampai dering dari telepon genggamnya berbunyi. Suara itu berasal dari kamar. Dita bergegas. "Halo, Ren. Kenapa?" "Enggak, hehe. Aku cuma ngerasa gak enak aja, sih. Soal kamu tinggal sendirian di sana. Gak apa-apa, kan?" "Gak apa-apa. Ya ampun. Aku kan bukan anak kecil lagi. Lagian kalau aku butuh apa-apa, aku bisa ke rumah pamanku. Ya, kan?" "Iya, oke-oke. Eh kamu masih di rumah apa lagi di luar, sih?" "Di luar? Maksudnya?" "Kok rame banget." "Hah? Rame? Aku masih di kamar, kok. Sendirian." "Hah?" "Ehm, gak apa-apa. Suamiku udah mau pulang kayaknya. Lanjut di chat aja, ya." "I ... iya." Dita menutup teleponnya. Matanya melihat sekeliling kamar. Rame? Bukannya di kamar itu ia sendirian? Mana bisa terdengar keramaian? Di luar juga tidak ada apa-apa. Apakah Rena salah dengar? Karena rasa penasaran itulah, Dita mengirim pesan kepada Rena. [Ren, maksud kamu apa tadi? Jujur, ya. Aku lagi gak di tempat rame. Emang di sana kedengeranya kayak gimana?] Beberapa saat kemudian, dengan cepat, Rena membalas pesan Dita. [Iya, tadi aku kayak denger dua orang ngobrol. Gak jelas, sih. Tapi aku beneran denger orang lain ngobrol, selain kamu.] [Mungkin, kamu salah dengar, Ren.] Dita lelah. Ia juga tidak ingin memikirkan hal-hal ganjil yang belum jelas kebenarannya. Apalagi, ini masih hari pertama ia tinggal di rumah peninggalan kakeknya itu. Namun, beberapa saat kemudian, Rena membalas pesan Dita lagi. Kali ini, Dita merasa cukup heran. [Iya, kayak dua orang itu mungkin pasangan suami-istri yang lagi ngomongin anak mereka. Aku samar-samar dengernya. Apa dulunya rumah itu pernah ditinggali sama orang lain, selain kakek atau keluarga kamu?] Dita terdiam. Ia kembali merebahkan dirinya di atas kasur. Aroma debu yang membuat pengap tak lantas membuatnya beranjak. Ia sangat lelah. Bahkan meskipun perutnya meminta untuk kembali diisi, ia malas. Ia ingin terpejam saja, berharap kantuknya menyusul. Apakah sebelumnya ada orang yang pernah tinggal di rumah ini? Selain keluarga kakek? Pertanyaan itu berputar di dalam kepala Dita. *** Sebuah ketukan pintu terdengar. Mulanya pelan, tapi lama-lama semakin kencang. Lebih lama lagi, ketukan itu berubah jadi gedoran yang mengerikan. "DITA! KELUAR KAMU! Suaranya terdengar seperti suara laki-laki dan suara perempuan yang menyatu.. "DITA! KELUAR KAMU!" Dita melangkah cepat menuju pintu. Ia tidak tahu siapa itu yang menggedor dan berteriak, tapi alangkah baiknya ia segera membuka pintunya. Krakk .... Tepat ketika pintu dibuka .... Kosong. Tak ada apa-apa. Tak ada siapa-siapa. Dita terdiam dan merasa ketakutan. Sambil terus melihat ke halaman rumah, napasnya pun semakin memburu. Ketika hendak berbalik, sebuah tangan yang dingin mendarat tepat di pundaknya. "Kakek?" Kakek mencekik Dita. Brak! Suara pintu terbuka menyatu dengan suara dering ponsel milik Dita. Dita membuka matanya. Ia melirik layar benda mungil itu dan pintu kamarnya bergantian. Pukul dua dini hari dan ada angin yang cukup kencang masuk melalui pintu kamarnya. Gadis itu menenangkan dirinya sendiri sebelum mengangkat telepon itu. Semua itu hanya mimpi. Ya, mimpi buruk yang menyeramkan. Dan yang membuat Dita heran adalah, wajah kakeknya. Dita rasanya tidak akan pernah bisa melupakan itu. Lehernya pun terasa sakit. Mimpi itu terasa sangat nyata. Dita beranjak dari ranjang. "Halo, Ren?" "Ta, kamu gak kenapa-napa, kan?" "Ha?" Mendengar itu, Dita jelas merasa tak enak hati. Ada apa dengan Rena sebenarnya? Kenapa ia bisa begitu mengkhawatirkan dirinya, padahal mereka sedang berjauhan. "Ren, udah, dong. Aku gak apa-apa. Lagian, kamu tuh harus banyak istirahat. Kasihan bayi kamu." "Iya, aku tahu. Aku cuma ngerasa gak enak aja semalaman. Apalagi, aku mimpi buruk. Serem pokoknya." Deg. "Mimpi buruk? Maksudnya, mimpi kayak gimana? Kamu masih inget, gak? Bisa kamu ceritain?" "Dengerin, ya. Horor banget tau mimpiku ini. Jadi aku tuh mimpi ada orang yang gedor-gedor pintu rumah aku keras-keras." Dita menghela napas panjang. Apakah mimpi Rena akan sama dengan mimpi miliknya? "Terus, Ren? Kamu buka pintunya?" "Iya, ceritanya aku buka pintunya, dong. Eh, horor banget yang datang di mimpi aku!" "Si ... siapa?" tanya Dita terbata. Mustahil rasanya kalau kakeknya yang mendatangi Rena. Rena mungkin tidak pernah bertemu dengan kakeknya Dita. "Mantan aku, Ta!" Sejurus kemudian, Dita menghela napas lega. "Mantan kamu? Terus gimana? Ya ampun, kupikir apaan. Hantu atau apa." "Loh, ini horor juga kan, Ta. Gimana sih, kamu." "Iya-iya. Itu horor banget." "Hihi, aku gak bakalan bisa tidur lagi, nih." "Eh, jangan gitu. Udah sana, paksain. Kamu istirahat yang banyak. Duh, aku juga hoaaaammz, ngantuk nih ...." Dita pura-pura mengantuk, tak ingin sahabatnya itu terus saja membuka mata. Dita cemas dengan Rena. Rena pun menutup teleponnya. Dita menggaruk lehernya, gatal. Pandangannya tertuju pada cermin besar yang kotor sekali. Gadis itu mendekat, mengambil tisu dan mulai menggosok kacanya. Beberapa kali dilap, cermin itu mulai menampakkan tampilan dirinya sendiri. Perlahan, wajahnya mulai terlihat. Dan semakin Dita menajamkan penglihatannya, lehernya dengan jelas menampilkan guratan merah yang melingkar. Bekas cekikan. Dita terjatuh, terduduk lemas. Masih memandang cermin besar itu. Tangannya yang gemetar, mencoba melakukan panggilan telepon. Ia hendak menelepon pamannya, tapi sesaat kemudian, ia mengurungkan niatnya itu. Ini pukul dua pagi. Mungkin, pamannya masih tidur pulas. Dita menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Mencoba mencari pembenaran demi pembenaran atas apa yang mungkin sudah terjadi kepada dirinya. Ya, mungkin aku mencekik diriku sendiri. Ada banyak kasus di mana orang-orang yang bermimpi sangat dalam, melakukan hal-hal ekstrim yang tak terduga, batin Dita meyakinkan. Ia bangkit, melangkah dengan pelan keluar dari kamar. Menyalakan lampunya, karena belum sempat ia nyalakan sejak ketiduran. Menyusuri ruangan, hingga ke dapur. Dan Dita mematung mendapati seekor kucing hitam dekat rak piring. "Ah, kamu pelakunya!" teriak Dita girang. Ia merasa lega kali ini. Benar, sekarang pembenaran atas semua yang terjadi mulai mendapat titik terang. Ah, mungkin ia terlalu terbawa perasaan. Makanya, hal-hal yang biasa dan kebetulan demi kebetulan jadi terasa mengerikan. Kucing itu balas menatap Dita untuk kemudian mengeong. Dita mengelus bulunya. "Bagus. Sekarang, aku punya teman baru." *** Keesokan harinya, paman Dita datang. Pamannya menawarkan Dita untuk memberi bantuan membersihkan rumah, sekaligus membujuknya untuk tidak menjual rumah tersebut. "Gak apa-apa, Paman. Aku bisa bersihin rumah ini sendiri, kok. Aku gak mau merepotkan. Lagian, Paman juga, kan punya kerjaan." Pamannya mengangguk. Di depan mereka, lempok durian, makanan khas Lampung tersaji. Dita mulai melahapnya. "Apa, kamu yakin mau menjual rumah ini?" tanya pamannya lagi. "Yakin, Paman." "Tapi, ada yang harus kamu perhatikan. Ada satu hal yang tidak boleh kamu lakukan." "Apa? Apa itu, Paman?" "Kamu tidak boleh membuka garasi rumah ini. Jangan pernah membukanya." "Ha? Kenapa?" Pamannya hanya menggeleng. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD