Keberadaan 'Mereka'

1081 Words
Jangan pernah berpikir untuk membukanya .... *** Sepeninggal pamannya dari rumah, Dita mulai kembali beres-beres. Ia membersihkan setiap sudut. Beberapa saat kemudian, Dita merasa ada yang aneh. Ada sesuatu yang hilang. Ya, sambil terus mengelap bagian demi bagian salah satu lemari, ia melirik ke arah dapur. Kakinya perlahan menginjak lantai dingin dapur. Pandangannya tertuju kepada rak piring. Tidak ada. Tidak ada apa-apa di sana. Maksudnya, bahkan rak piringnya juga tidak ada. Ke mana gerangan? Bukannya dari kemarin, rak piring itu tidak ia pindahkan ke mana pun? Dita melihat sekitar. Pandangannya dengan hati-hati menyisir setiap inchi ruangan. Akan tetapi, hasilnya nol. Ia tidak menemukan rak piring itu, atau bahkan ingat ke mana kira-kira rak piring itu berpindah. Dita yang kebingungan berinisiatif untuk menelepon pamannya. Sisi lain dari pikirannya memintanya untuk tetap tenang dan berpikir rasional. Dita menelepon pamannya. Jarinya mengetuk-ngetuk permukaaan meja dengan gugup sambil menunggu teleponnya diangkat. "Halo, Paman." "Iya, Dita? Kenapa?" Dita berusaha merangkai kalimat yang tepat untuk bertanya tentang rak piring. Terdengar konyol dan sepele, tapi itu sangat mengganggu pikirannya. "Apa tadi, Paman memindahkan rak piring dari dapur?" tanya Dita dengan ragu-ragu. Hening beberapa saat. "Ehm, i ... ya. Paman mungkin lupa. Mungkin tadi, raknya memang paman yang pindahkan. Tapi paman lupa." "Oh, begitu." Setelah itu, telepon pun ditutup. Dita merasa sangat heran. Pamannya lupa? Sejak kapan pamannya lupa? Ini mulai tidak masuk akal. Oke, ada yang tidak beres. Jadilah Dita bukan beres-beres. Ia malah sibuk mencari rak piring. Akan tetapi, tak ada hasilnya. Apa pamannya mencuri rak piring miliknya? Beserta piring-piring yang tertata di dalamnya? Aih, itu tak masuk akal. Dengan kesal, Dita masuk ke dalam kamar. Ia langsung merebahkan diri di atas kasur. Akan tetapi, gadis itu segera menyadari sesuatu. Rak piring itu .... Ada di kamarnya! Siapa yang menaruhnya? Pamannya? Ini konyol! Mana ada rak piring ditaruh di kamar! Dita benar-benar kesal. Ia pun berjalan cepat keluar dari rumah. Dari halaman, ia memerhatikan rumah peninggalan kakeknya itu. "Rumah aneh! Bikin pusing tahu!" Dita mengumpat keras-keras. Ia meluapkan semua kekesalan yang ia simpan semenjak datang ke rumah tersebut. "Please, deh! Aku lagi butuh duit! Buat hidup. Jangan nyusahin gini, dong. Kalau pun emang ada penguninya, bisa gak kita kerja sama aja? Hah?!" Dita melirik kiri-kanan, takut ada orang yang melihat tingkah konyolnya. Akan tetapi, sekali lagi, lokasi rumahnya ini cukup jauh dari keramaian. Bahkan rumah tetangganya saja berjarak cukup jauh. Luar biasa, pikirnya. Ia bahkan tidak ingat sewaktu kecil pernah bermain ke rumah kakeknya. Dita menghela napas. Capek juga marah-marah tidak jelas, batinnya. Ia pun berusaha mengalihkan pikiran. Matanya tertuju pada garasi belakang. Dengan langkah pelan, kaki Dita menuju ke sana. Percakapan dengan kakeknya pun kembali terngiang. "Apa, kamu yakin mau menjual rumah ini?" tanya pamannya lagi. "Yakin, Paman." "Tapi, ada yang harus kamu perhatikan. Ada satu hal yang tidak boleh kamu lakukan." "Apa? Apa itu, Paman?" "Kamu tidak boleh membuka garasi rumah ini. Jangan pernah membukanya." "Ha? Kenapa?" Pamannya hanya menggeleng. "Kenapa? *** Dita menatap keseluruhan garasi yang sudah usang itu dengan sedikit meremehkan. "Garasi? Memang ada apa di dalamnya? Jangan-jangan ada harta karunnya? Atau justru ada rahasia mengerikan?" guma Dita pelan. Ketika Dita mulai mencoba mencari cara untuk membukanya, tiba-tiba seseorang yang tak dikenal berdiri di depannya. Seorang laki-laki tua. Dita kaget. Orang itu menatapnya. Sorot matanya yang tajam, membuat Dita mundur beberapa langkah, tak ingin terlalu dekat. "Jangan, jangan pernah berpikir untuk membukanya ...." Dita terkesiap, tubuhnya merinding. "Anda siapa?" "Jangan pernah membukanya ...." Tangannya malah mencengkram tangan Dita dengan kuat. Gadis itu meringis, ketakutan. "Jangan pernah berpikir untuk membukanya ...." Lagi, lelaki tua itu mengucapkan kalimat tersebut dengan suara yang mengerikan, matanya melotot dan Dita tak bisa berhenti menatap lelaki tua itu. Pikirannya kacau seketika. "Tolong!" Akhirnya, kata itu keluar juga dari mulut seorang Dita. Lelaki itu melepaskan cengkeramannya. Melihat kiri-kanan dan lari begitu saja. Dita masih membeku. Terpaku menatap jauh lelaki yang berlari pontang-panting menuju salah satu rumah. Jadi, apakah tadi itu tetangganya? Luar biasa. Lengkap sudah penderitaan Dita. Dita melihat sekeliling, mencari tahu apa ada yang membuat laki-laki itu ketakutan. Akan tetapi, tidak ada apa-apa, atau siapa-siapa. Gadis itu masih penasaran dengan garasi tua. Hanya saja, nalurinya mengatakan kalau saat itu bukanlah waktu yang tepat. Segera saja ia masuk kembali ke dalam rumah. Suasana rumah yang sepi membuat Dita memikirkan sesuatu yang baru. Ya, mungkin saja rumah peninggalan kakeknya memang berhantu. Mungkin saja, lelaki tadi juga adalah tetangga aneh yang mengerikan. Akan tetapi, Dita kembali mengingat tujuan awalnya. Bahwa ia membutuhkan uang untuk masa depannya nanti. Bahwa ia membutuhkan jaminan untuk kehidupannya di masa yang akan datang. Sekarang, ia hanya harus merenovasi dan membersihkan rumah secepat mungkin, kemudian menjualnya. Tak apa, pikir Dita. Ia akan baik-baik saja, jika ia tak melakukan sesuatu yang ceroboh. Jika ia tak macam-macam. Tentang tetangganya, Dita berencana untuk mengadukannya kepada sang paman. Benar, semuanya akan segera teratasi. "Oke, perkenalkan, aku Dita. Aku minta ijin untuk tinggal di rumah ini. Dan karena aku agak takut sekarang, aku akan menyetel musik. Gak apa-apa, ya?" tanya Dita sambil melihat sekeliling. Dita merasa lucu, tapi sekaligus merasa lega. Dita mulai beres-beres lagi sambil bermain musik. Kali ini, dengan lebih bersemangat. Musiknya membuat pikiran buruk cukup teralihkan. Ya, meskipun Dita harus mengunci seluruh pintu dan menutup jendela rapat-rapat, karena masih ketakutan dengan tetangga aneh yang tiba-tiba muncul di hadapannya tadi. Ketika sedang asyik dengan bersih-bersihnya, musik dari ponsel Dita berhenti. Dita terdiam. Ada yang menelepon. Siapa lagi kalau bukan, Rena. "Halo, Ren. Aku baik-baik aja, asli." "I ... iya. Aku tahu." "Terus, kenapa nelpon?" "Ih, emang gak boleh, ya? Aku kangen." "Ya ampun. Ini kan, baru beberapa hari. Kamu juga tiap hari nelpon berapa kali, coba? Terus kita juga sering chattingan. Mending kamu istirahat, manjanya sama Bebeb kamu tuh. Aku lagi bersih-bersih." "Oke-oke." Dita hampir menutup teleponnya, tapi ia keburu ingat sesuatu. "Bentar, Ren. Aku mau tanya dulu." "Tanya apa?" "Apa sekarang kamu denger suara lain selain aku?" "Ada, Ta. Anak kecil. Tetanggamu? Maksudku, suaranya kayak di luar, deh. Agak jauh. Atau suara ... hantu? Kayak yang di kamar kamu kemaren?" "Haha, kamu kemaren salah denger, Ren. Aku lagi nonton film kemaren itu. Terus, emang bener, kok. Di luar ada anak-anak, hehe." Mata Dita melihat sekilas ke halaman depan, di sana tepat sekali ada seorang anak lelaki kecil menatapnya. "Oh, jadi kemaren kamu ngeprank aku? Dasar jail. Kukira beneran hantu." "I ... iya." Udah dulu, ya, Ren." Dita menutup teleponnya. Ketika ia kembali melihat ke halaman, anak itu sudah tidak ada. Siapa sebenarnya anak itu? Apa barusan ia melihat hantu? []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD