Tenang dan Bertangan Dingin

1817 Words
Beberapa lama kemudian pintu ruangan manager diketuk ringan dari luar, Dwiani segera memasuki ruangan setelah Mahes menjawab ketukannya. "Maaf dok, ada pasien kecelakaan lalu lintas. Perdarahan banyak sekali." Dwiani menjelaskan alasan kehadirannya di ruangan itu. Karena ada pasien yang memerlukan tindakan yang harus langsung ditangani sendiri oleh seorang dokter, perawat tidak berwenang. Jun langsung beranjak dari kursinya dengan siaga. "Saya kesana dulu," pamit Jun undur diri. Mahes hanya mengangguk sebagai jawaban, dan Sari memberikan senyuman serta gelagat memberi semangat pada Jun dengan mengepalkan tangannya. Setelah mendapatkan respon dari Mahes dan Sari, Jun segera berlari untuk mengikuti langkah Dwiani ke arah UGD. "Kita lanjutin ya," Mahes melanjutkan penjelasannya setelah Jun dan perawat tadi meninggalkan mereka. Entah mengapa Mahes merasa sedikit risih dengan tingkah Sari pada Jun, masih tidak rela rasanya Sari punya pacar. Apalagi melihat terang-terangan dengan mata kepala sendiri kemesraan diantara keduanya tadi. Ngeselin! Kenapa kamu bisa bertingkah begitu sih sama dia Sar? "Jadi perbedaan utama antara ketiga klinik ini ada pada sumber pendapatan dananya. Untuk klinik BPJS perusahaan jelas dari perusahaan, BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan. Pasien yang dilayani juga murni karyawan dari perusahaan itu saja. Kita terutama harus siap untuk menangani kecelakaan kerja di kawasan perusahaan tersebut." Mahes menjelaskan tentang klinik pertama. "Kalau klinik kedua hanya klinik rawat jalan, enteng kalau yang ini. Dana juga murni dari BPJS kesehatan. Disini kita harus pinter-pinter bermain dengan sitem kapitasi serta kemampuan promosi dan pendekatan kepada perusahaan-perusahaan terdekat." "Semakin banyak perusahaan yang bekerjasama, semakin besar kapitasi yang didapatkan. Nah dana operasional dan gaji karyawan semuanya ditata dari kapitasi." Mahes memberikan kesimpulan untuk klinik kedua yang tadi yang mereka kunjungi. "Yang terakhir yaitu klinik tempat kita berada sekarang. Murni milik swasta, jadi disini kita bisa bermain harga sesuka hati. Mau mainin tarif naik turun juga bisa. Jadi kita bisa habis-habisan dalam menyediakan fasilitas pelayanan baik dari staff medis, obat-obatan serta sarana prasarana. Sebagai imbalannya kita juga bisa menetapkan tarif yang tinggi, menyesuaikan dengan biaya operasional yang kita keluarkan." "Kalau kemahalan emangnya laku Mas?" tanya Sari sedikt ragu, karena dia tahu sendiri bagaimana keadaan sosial ekonomi masyarakat kota Genting ini. "Lho jangan salah, justru orang-orang sekarang semakin pintar. Mereka sekarang sudah bisa memilih klinik atau rumah sakit berdasarkan kualitas. Gak masalah mereka bayar mahal asalkan pelayanan yang didapatkan bisa memuasakan bagi mereka." "Iya juga sih." Sari membenarkan ucapan Mahes. Karena orang jaman sekarang sudah melek teknologi dan informasi. "Jadi gimana? Apa kamu sudah paham? Sementara jalanin saja sesuai ritme dan polaku dulu. Nanti awal bulan kalau kamu mau bikin gebrakan baru silahkan disosialisasikan." Mahes mengakhiri penjelasannya yang panjang kali lebar. "Intinya bagaimana cara untuk menata uang pemasukan berdasarkan sumber dana yang ada. Untuk selanjutnya digunakan sebagai biaya operasional klinik dan gaji karyawan kan?" Sari manggut-manggut mengerti konsepnya. "Ya, inti dari semua badan usaha adalah perputaran uang. Dan semua bisa dikatakan sukses jika jumlah pendapatan lebih banyak daripada jumlah pengeluaran, ini artinya untung." "Meskipun tak bisa dihindari kadang ada kasus-kasus spesial tertentu, namanya juga kita bergerak di bidang kesehatan dan kemanusiaan kadang kita harus bermain dengan hati dan nurani." "Tapi satu hal yang perlu kamu ingat sebagai pemimpin sebuah badan usaha. Pegawaimu juga butuh makan, dan darimana kamu bisa gaji mereka kalau kamu gak dari cari keuntungan? Jadi paling tidak sebelum memikirkan kesejahteraan pasienmu, pikirkan dulu nasib anak buahmu!" Uajr Mahes penuh penekanan. Untuk mengingatkan Sari, khawatir kalau adiknya ini terlalu baik dan tak tega pada pasiennya. "I know," jawab Sari mengangguk mengerti akan ucapan Mahes. Yah memang kita ingin sebanyak-banyaknya menolong orang di bidang kemanusiaan ini. Tapi tetap saja harus profesional juga, gak mungkin lah Sari akan menggratiskan pasiennya. "Pelajari sambil jalan aja, kalau ada yang gak ngerti kamu nanti tanyakan padaku." Mahes mengakhiri sesi penjelasan. Sari hanya mengangguk sebagai jawaban, sambil mencatat beberapa poin penting dari ucapan Mahes di aplikasi notes booknya. "Sudah malam, kita pulang yuk." Mahes mengajak Sari untuk pulang. Sudah selesai sesi perjalanan dinas mereka, sekarang waktunya istirahat di rumah. Dan besok Mahes masih harus kembali ke Banyu Harum pagi-pagi sekali, kejar-kejaran dengan waktu untuk menyelesaikan persiapan pembukaan rumah sakit barunya di sana. Tanpa menjawab, Sari segera mengemasi dokumen-dokumen klinik di atas meja dan menenteng tas jinjingnya. Berdiri serta mengikuti langkah Mahes keluar dari ruang manager. Mahes sengaja berjalan keluar klinik melewati bagian UGD. Dia ingin sedikit melihat-lihat keadaan disana, ingin melihat cara kerja dokter Jun lebih tepatnya. Mahes ingin menilai sendiri kemampuan dan skill medis dari pria itu. Mahes mendekat ke arah bed perawatan pasien, menjaga jarak agar tidak menggangu kinerja tim UGD. Tetapi juga masih cukup dekat untuk bisa melihat jelas apa saja yang mereka kerjakan. Mahes dapat melihat luka mengangah di kaki sebelah kanan pasien, di bagian betisnya. Darah segar mengalir deras dari luka itu tentu saja. Sepertinya perdarahan terjadi karena luka yang mengenai pembuluh darah, menarik. Jun sudah bersiap di sisi pasien dengan kedua tangan yang sudah memakai hand Globes steril. Kali ini Jun melakukan tindakan dengan Dwiani yang bertindak sebagai asisten sekaligus operator alat yang sudah siap sedia di troli. "Torniquet," Jun meminta sebuah alat ikat yang dapat berfungsi untuk menghambat aliran darah. Dengan cekatan Jun memasangnya di bagian paha pasien. Dan setelah itu aliran darah sudah mulai berkurang jauh jumlahnya. Jun mulai mengulaskan antiseptik ke bagian kaki pasien yang terluka. Kemudian Jun menyuntikkan larutan anastesi ke bagian kaki pasien yang akan dijahitnya. Jun menunggu beberapa saat sampai anastesi bereaksi dan pasien tidak dapat merasakan sakit lagi. "Arteri klem," Jun meminta salah satu alat pada asistennya, alat untuk menjepit pembuluh darah arteri. Dan sang asisten langsung menurutinya. Jun memasang klem itu di pembuluh darah pasien untuk menghentikan perdarahan secara total. Setelah itu barulah Jun menjahit pembuluh darah pasien yang terluka untuk memperbaiki, dan menyambung pembuluh darah yang putus itu. Proses ini memerlukan waktu cukup lama karena memerlukan ketelitian dan konsentrasi tinggi. Maklum saja pembuluh darah memiliki ukuran diameter hanya beberapa milimeter. Untung saja klinik Hartanto Husada ini memiliki kacamata mikroskopis, sehingga dapat membantu memudahkan dalam tindakan penjahitan luka. Mahes memperhatikan cara kerja Jun yang terlihat sangat cekatan dan efisien. Dia bahkan sama sekali tidak tremor atau gemetar saat memegang pinset dan needle holder (pemegang jarum jahit) pada proses penjahitan. Sangat tenang, tidak terlihat kalau dia adalah dokter yang masih baru lulus. Bagus, sepertinya dia termasuk dokter yang bertangan dingin dan tenang. "Permisi, dok." Dwiani meminta ijin untuk membantu mengelap keringat di dahi Jun dengan tisue, agar tetesan air itu tidak turun ke mata dan mengganggu penglihatan Jun. Lumayan nih, kapan lagi bisa mengelap keringat dan pegang-pegang dokter ganteng dan masih muda kayak dokter Jun, Rejeki nomplok. Jun hanya mengangguk tanpa menjawab, tetap berkonsentrasi untuk menyelesaikan pekerjaan menjahitnya. Berkutat dengan luka di kaki sang pasien. Sang perawat itu pun dengan cekatan melakukan pekerjaannya. Sari melihat si perawat wanita mengelap keringat Jun dengan sangat kesal. Entah mengapa ada rasa tidak nyaman yang mengusik dirinya. Memang wajar si apa yang dia lakukan sebagai asisten. Tapi kok rasanya gak rela ya? Rasanya tak ingin ada wanita lain menyentuh Jun. Setelah penjahitan pembuluh darah selesai, Jun kemudian melanjutkan menjahit luka di bagian otot dan kulit pasien itu. Sebelum akhirnya menutupnya dengan kasa steril. "Observasi perdarahan dan keadaan umumnya. Jika sudah stabil pindahkan ke ruang bedah." Jun memberi perintah kepada Dwiani. Melepas hand gloves dan membuangnya ke tempat sampah medis. "Kamu benar, dia adalah pria yang tenang dan bertangan dingin. Skillnya juga bagus, cocok untuk dokter UGD." Mahes memberikan komentarnya pada Sari. "Pacarku keren kan?" Sari tersenyum penuh kemenangan mendengar Mahes memuji Jun terang-terangan. Kakaknya yang hebat ini memang jarang sekali merasa puas dan memuji orang lain. Jelas saja, karena dirinya sendiri bisa melakukan segala hal dengan baik. Membuat Mahes ini memiliki standart yang sangat tinggi terhadap segala hal. "Nanti aku ingin ngomong dulu sama dia. Baru bisa kuakui dia sebagai pacarmu." Mahes tidak senang mendengar Sari memuji pria lain di hadapannya. Gak rela adik kecilnya direbut orang. "Iiiihh Mas Mahes mau ngapain sih?" Sari sedikit terkikik melihat reaksi kakaknya. Mau ngapain coba? Interogasi? "Setelah urusan rumah sakitku selesai nanti." Mahes tidak menjawab pertanyaan Sari, malah berlalu dari UGD untuk melanjutkan perjalanan pulang. "Ayo pulang Sar, sudah malam." Mahes menghentikan langkahnya saat menyadari Sari tidak mengikutinya. "Hemmm, aku pulang sama Jun aja," ujar Sari sambil tersenyum kecil. "Haaaa? Gak boleh. Ayo pulang sama aku!" tolak Mahes mentah-mentah. Sudah malam masa mau membiarkan adiknya pulang sama cowok gak jelas. "Mas Mahes...please..." Sari mengeluarkan jurus andalannya dengan memohon dan bermuka memelas. Mahes tentu saja tak akan sanggup untuk menolak kalau Sari sudah mengeluarkan jurusnya ini. Selain itu juga Mahes sadar diri juga kalau Sari sudah dewasa sekarang. Tak bisa lagi untuk dilarang-larang kayak anak kecil. "Yaudah, tapi jangan malam-malam lho yah pulangnya," Mahes akhirnya mengalah dan beranjak pergi. "Dokter Jun, saya boleh nebeng pulang? Tadi dokter Mahes tiba-tiba ingat ada urusan lain. Jadi saya disuruh pulang sendiri." Sari menghampiri Jun, berusaha mencari alasan untuk bisa nebeng Jun dengan nada resmi. Tak ingin menimbulkan gosip dari para perawat yang mendengar mereka. "Dokter Sari? Boleh-boleh." Jun sedikit kaget juga dengan Sari yang menghampiri dirinya. Jun kemudian melanjutkan pekerjaannya berkutat dengan rekam medis pasien tadi. Tak lama kemudian tepat pukul delapan malam dokter Caca, pengganti Jun untuk sift malam tiba. Jun segera melakukan operan sebelum pamit meninggalkan klinik bersama Sari. "Kamu sudah makan?" tanya Jun sambil mereka berjalan ke parkiran motor. "Belum," jawab Sari. "Kita sekalian cari makan ya." "Yuuuk, pas banget lagi lapar." Sari tak menolak. "Tapi aku cuma bawa helm satu," ujar Jun setelah keduanya sampai di parkiran. "Gak pa-pa, kalau malam kan jarang ada razia polisi." "Kamu pakai aja, biar aman." Jun menyerahkan helm satu-satunya yang dibawanya pada Sari. Ternyata bukan masalah polisi yang ditakutkan Jun, melainkan faktor keselamatan Sari. "Lho kan kamu yang nyetir," protes Sari. "Udah pakai aja. Biar kamu gak kelilipan atau kena angin malam." Jun mendahului menaiki motornya. Sari tersenyum bahagia menerima perhatian Jun, segera mengambil posisi duduk di jok belakang motor. Kali ini dia sudah tahu apa yang harus dilakukan. Harus pegangan dimana tangannya, di pinggang Jun. Jun kembali merasakan sengatan listrik yang terasa menyenangkan saat Sari menyentuh pinggangnya. Wah sudah pinter dia gak perlu diajarin lagi harus pegangan dimana. "Pegangan yang erat ya," ujar Jun sebelum melajukan motornya ke arah sebuah warung tenda yang menjual martabak Malabar. "Kamu kok tahu aja sih ada tempat makan enak?" Sari menanyakan pada Jun setelah mereka menyantap menu makan malam mereka. Martabak dengan isian daging kambing lengkap dengan roti mariam. Sajian makanan dengan citarasa Arab kali ini. "Si Roni yang hobi keliling nyari." "Terus kamu nanya ke dia? "Gak usah ditanya dia udah pamer sendiri." Jawaban Jun kontan membuat Sari tertawa membayangkan Roni dengan sikap tengilnya. Memamerkan dimana ada warung makan yang enak, cuma cerita doank tanpa bawain contoh makanannya, asem. "Eh Sar, omongan kamu yang tadi serius gak si?" Jun masih penasaran dengan ucapan Sari pada Mahes tadi. Ingin memastikan. "Yang mana ya?" "Yang kamu bilang aku pacarmu," jawab Jun dengan nada sedikit mendesak, ingin jawaban. Sari terdiam, sejenak memikirkan kata-kata jawaban untuk Jun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD