Chapter 4

1647 Words
"Kamu … Ti … ni?" Ghifan berusaha mengingat nama gadis yang kemarin malam terjebak dengannya di dalam lift. Mata Syarastini membulat kaget bin panik. Dia benar-benar tidak tahu bahwa mobil yang dia senggol ini adalah mobil Ghifan–pria yang sudah lama dia kagumi. Syarastini juga benar-benar tidak mengenali mobil ini, sepertinya mobil yang dibawa oleh Ghifan adalah mobil baru, dilihat dari plat nomor dan model mobil itu bukan mobil yang empat tahun dipakai oleh Ghifan. Syarastini yang tadinya sedang mencari keberadaan mobil Ghifan kini benar-benar diperhadapkan dengan sang empunya mobil. Blush. Memerah. Begitulah yang terjadi pada Syarastini. Wajah yang tadi panik dan ketakutan kini berubah menjadi tersipu malu. Ghifan yang melihat tingkah Syarastini ini agak bingung bercampur geli. Entah apa yang dia lakukan hingga membuat Syarastini memerah seperti ini. "Tini, kan?" tanya Ghifan. Dia hanya ingin memastikan bahwa gadis yang sudah berkali-kali merona di depannya ini adalah benar gadis tadi malam yang terjebak dengannya di lift. Blush. Memerah lagi. Kali ini Syarastini benar-benar tersipu malu karena terlalu senang. Dia kelewat senang karena Ghifan mampu mengingat namanya. "Y-ya … Ghifan k-kamu ingat, yah?" balas Syarastini tergagu. Ghifan tersenyum kecil, tentu saja dia ingat. Mereka dipertemukan belum lama, itu bahkan belum 24 jam. "Baru kemarin malam kita berkenalan, tidak semudah itu aku lupa," ujar Ghifan. Blush. Bertambah merah lah dua pipi Syarastini. Oh Tuhan! jangan malu-malu di sini! jangan di depan Ghifan! batin Syarastini menggila. Apalagi ketika mendengar kalimat Ghifan 'tidak semudah itu aku lupa', bertambah senanglah Syarastini. Melihat wajah Syarastini yang bertambah memerah, Ghifan mengerutkan keningnya, "Ada apa? apakah panas?" tanya Ghifan. "B-bukan, bukan panas. Aah! tidak ada apa-apa!" jawab Syarastini grogi. Darah gadis 24 tahun itu mendidih saat dia merasa bahwa Ghifan terlihat 'peduli' padanya. "Ah, aku pikir kamu kepanasan karena sinar matahari," ujar Ghifan. "Tidak sama sekali. Justru sinar matahari pagi itu sehat untuk tulang dan tubuh," balas Syarastini. "Ya, kamu benar. Sinar matahari pagi itu bagus untuk tubuh. Kamu sepertinya sering olahraga pagi," timpal Ghifan, dia hanya membuat kalimat terakhir sebagai basa-basi. "Ya, aku suka joging! umph-maaf aku berteriak." Syarastini menunduk malu, dia terlalu senang hingga akhirnya dia berteriak senang saat Ghifan mengatakan dia sepertinya suka olahraga pagi. Ucapan Syarastini membuat Ghifan sedikit terperangah, pasalnya, dia juga suka olahraga, dan sama seperti Syarastini, joging. Ghifan tersenyum kecil, senyum standar sopan yang diperlihatkan pada orang terlihat di pandangan Syarastini. "Ah. Ternyata kamu suka joging juga." Syarastini mengangguk sambil tersipu malu, dia sudah tahu bahwa Ghifan ini suka olahraga joging, sebab selama beberapa tahun ini dia joging dari belakang Ghifan. "Iya … kamu suka joging juga?" Syarastini tidak boleh memperlihatkan dirinya secara jelas bahwa dia telah tahu apa yang disukai oleh Ghifan. "Ya, aku suka joging," jawab Ghifan. Syarastini menunduk sambil tersenyum, dia sudah menduga jawaban Ghifan akan seperti ini. "Tini," panggil Ghifan pelan. Ya ampun, Ghifan panggil nama aku lagi. Batin Syarastini senang. Apa mungkin Ghifan mau ajak aku joging bersama? kami satu selera. Alam pikir Syarastini sudah terbang melayang ke mana - mana. Dia telah mencium bau wangi badan Ghifan bercampur dengan khayalannya yang berbunga-bunga. "Ya?" sahut Syarastini dengan penuh semangat membara. "Aku mau masuk ke gerbang perusahaan, itu, mobil kamu sedikit menghalangi," ujar Ghifan. Syarastini, "...." blush. Hanya bisa memerah karena malu. Aaahh! kenapa bisa aku berpikir begini?! Batin Syarastini mengomeli dirinya sendiri. Ghifan ingin tertawa karena dia merasa bahwa wajah Syarastini ini agak lucu di penglihatannya. "I-itu … baik, aku akan mundurkan mobilku," ujar Syarastini, dia ingin naik ke dalam mobil, namun dia berbalik lagi lalu melihat ke arah Ghifan yang juga hendak masuk ke dalam mobil. "Ghifan! ahmp, maaf … maksudku Ghifan, itu mobil kamu lecet." Suara Syarastini yang tadi berseru nama Ghifan kini cepat-cepat menurunkan nada suaranya, Syarastini menunjuk ke kaca lampu bagian belakang kanan mobil, "Kaca lampunya pecah." Ghifan tidak jadi masuk ke kemudi, dia berjalan lalu melihat ke arah kaca lampu mobilnya yang memang pecah akibat senggolan mobil mini dari Syarastini. "Tidak apa-apa, tidak perlu dikhawatirkan, aku akan menggantinya nanti," ujar Ghifan. "Biar aku saja yang ganti rugi!" Syarastini cepat-cepat memberi pertanggung jawabannya. Ghifan tersenyum kecil lalu menggeleng, "Tidak perlu, aku bisa sendiri." "Oh … ya sudah, baiklah …." Suara Syarastini seperti terdengar kecewa dengan respon Ghifan yang tak ingin dia mengganti rugi yaitu dengan memperbarui kaca lampu mobil yang pecah. Syarastini kembali berbalik lalu masuk ke dalam kemudi dan memundurkan mobilnya agar Ghifan dapat masuk ke gedung kantor. Ghifan sempat melihat wajah Syarastini yang agak layu setelah dia menolak tawaran Syarastini, namun Ghifan cepat masuk mobil lalu mobil itu masuk ke dalam gerbang kantor. Syarastini hanya melihat mobil Ghifan menghilang dari balik gerbang gedung Farikin's Seafood menuju tempat parkir bawah tanah. Dia melihat agak lama ke arah gerbang, berharap bahwa Ghifan masih ada di dalam mobil. Syarastini melihat ke arah jalan yang tak sengaja dia menyenggol mobil Ghifan. Ada bekas kaca lampu yang sedikit berserakan di jalan. Dia turun dari mobil lalu mendekat ke arah pecahan lampu mobil. Tangan kanan Syarastini memungut lampu mobil yang pecah itu. Aksinya ini tak sengaja tertangkap di mata Ghifan yang hendak duduk di samping kaca di lantai dua. Setelah melihat Syarastini mengambil pecahan lampu mobilnya, Ghifan melihat Syarastini kembali masuk ke mobil mini lalu berlalu pergi dari depan gerbang gedung Farikin's Seafood. "Pak Ghifan, Anda ternyata sudah datang," ujar seorang pemuda ke arah Ghifan yang sedang menatap keluar jendela kaca. Ghifan menoleh ke arah pemuda itu, "Rino, maaf saya agak terlambat dari waktu yang dijanjikan, ada insiden kecil di depan perusahaan," balas Ghifan. "Baik, Pak, tidak apa-apa." Rino mengangguk mengerti. Tidak ada yang akan marah pada Ghifan jika Ghifan tidak datang ke kantor selain pimpinan perusahaan mereka yaitu Busran Afdal Nabhan. "Saya merasa nyaman di sini, mari kita bahas rencana untuk besok di sini saja," ujar Ghifan, entah mengapa dia tiba-tiba merasa nyaman duduk di dekat jendela kaca. "Baik, Pak Ghifan, di sini juga terasa nyaman bagi saya," balas Rino. "Baik. Kita bahas rencana untuk besok dalam waktu satu jam, setelah itu silakan pulang dan melanjutkan aktivitas masing-masing dengan keluarga," ujar Ghifan. "Baik, Pak Ghifan." Semua terlihat bersemangat. °°° Di dalam kafe, Syarastini melihat lampu mobil pecah yang tadi dia pungut di atas jalan. Ujung pecahan lampu itu tajam di setiap sisi-sisinya. Tidak dapat Syarastini pungkiri bahwa dia tadi cukup kuat menyenggol bagian belakang mobil Ghifan, sebab fokusnya tidak berada di depan, fokus Syarastini berada di tempat lain, dia mencari mobil yang biasa dipakai oleh Ghifan namun tak menemukan mobil itu. Mungkinkah ini suatu keberuntungan Syarastini ataukah dia dan Ghifan berjodoh? Blush. Wajah Syarastini memerah setelah kata jodoh melintas di pikirannya. "Nona, Anda ingin pesan apa?" tanya seorang *pelayan wanita terhadap Syarastini yang sedang berkhayal. Apa aku adalah jodoh Ghifan? Aahh! ya Tuhan! ingin sekali, aku ingin sekali! batin Syarastini menggila. Entah apa yang ada di otaknya, hanya ada nama Ghifan di kepala cantiknya. "Permisi, em, Nona, Nona … halo, Nona." *Pelayan wanita itu terlihat bingung melihat gerak-gerik calon *pelanggan yang tidak seperti biasanya. Seorang wanita merasa agak terganggu karena suara panggilan pelayan kepada Syarastini, jadi wanita itu berbalik belakang dan melihat ke arah Syarastini. Dia langsung terperangah. "Tini," panggil wanita itu. Dia adalah mantan saingan Popy ketika berusaha membuat Ben jatuh cinta padanya. "Em, maaf, apakah Anda mengenal Nona ini?" tanya pelayan ke arah Syarastya. Syarastya mengangguk, "Ya, saya kenal, dia adik saya." "Ah, begitu. Saya memanggil adik Anda berkali-kali namun tak merespon," ujar pelayan. Syarastya menoel tangan kanan Syarastini, "Tini." "Ah?!" Syarastini tersadar dari khayalannya bersama Ghifan. Khayalan jodoh putus karena panggilan dari perempuan yang merupakan kakaknya. "Kak Tia." Syarastini tersadar. "Kamu kenapa bengong?" tanya Syarastya. "Em, itu, itu … maaf, aku tidak enak badan." Syarastini memberi alasan. "Kamu sakit?" tanya Syarastya, dia menaikkan sebelah alisnya. Teman yang berada di sebelah Syarastya melirik ke arah Syarastini. "Tini, mari duduk bersama kita," tawar teman Syarastya. Syarastini melirik ke arah kakaknya, terlihat Syarastya mengangguk. "Ya." Syarastini berdiri lalu berpindah tempat ke salah satu kursi di meja yang sama dengan Syarastya dan teman kakaknya. "Apa kamu ingin aku pesankan makanan yang sama dengan punyaku? kami ingin memesan tart stroberi, ah, itu aku. Kakak kamu itu tidak ingin makan lemak, dia ingin tetap langsing, heehehe." Teman Syarastya terkekeh sambil menghalangi mulutnya dengan jari tangan. Syarastini melihat ke arah sang kakak, wajah kakaknya terlihat agak cuek, sama seperti ketika di rumah. "Iya, aku ingin makan kue tart stroberi saja sama seperti yang ingin Kakak Ika makan." "Ok, tart stroberi dua. Tia, kamu ingin makan apa?" tanya Ika. "Cappucino," jawab Tia singkat. "Baik, dua tart stroberi, dua jus jeruk dan satu cappuccino," ujar Ika ke arah pelayan. "Baik, Nona." Pelayan mengangguk mengerti sambil mencatat pesanan. "Nona, pesanan akan datang lima menit lagi," ujar pelayan. "Ok." Ika mengangguk mengerti. Pelayan pergi meninggalkan tiga perempuan itu di meja. "Tia, aku mengajakmu ke sini karena aku sedang kesal pada suamiku," ujar Ika. "Dia kenapa?" tanya Syarastya. "Hum, jarang pulang," jawab Ika. Tiba-tiba Ika sadar bahwa ada adik Syarastya dengan mereka. Masalah pribadinya tidak perlu sampai ke telinga orang, meskipun adik dari Syarastya ini terlihat pendiam dan tidak banyak bicara. Toh Ika berani menjamin bahwa masalah yang dia ceritakan ini tidak akan memberi tahu siapapun, namun tidak baik banyak orang yang tahu. "Ehm, ah, Tini, kamu tahun ini sudah umur berapa? baru masuk kuliah?" tanya Ika, dia memilih untuk mengubah topik pembicaraan sebab dalam pandangan Ika, Syarastini terlihat kecil. "Aku umur dua puluh empat tahun, Kak Ika," jawab Syarastini. "Apa?!" Ika melotot. "Ah, aku tidak percaya, umur kamu yang dua puluh empat tahun ini seperti anak baru lulus SMA," ujar Ika tidak percaya, dia melirik bergantian ke arah Syarastya, "Tia, kamu sudah tiga puluh tahun ini-" Ika buru-buru menutup mulut setelah dia melihat tatapan tajam Syarastya. "Ika, sepertinya kamu lebih membutuhkan Tini daripada aku, aku pergi." Syarastya berdiri dari kursi lalu tanpa lama meninggalkan Ika dan Syarastini. "Loh?! Tia! aah, dia marah." °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD