Dia mengangguk semangat.
"Berarti besok Ghifan masuk kerja seperti biasa."
Syarastini tersenyum senang, menurut pesan balasan yang dia baca, Ghifan–pria yang baru dia temui di dalam lift dan terjebak bersama selama setengah jam itu besok pergi ke kantor.
"Ah, besok hari minggu, tapi kenapa Ghifan pergi ke kantor?" gumam Syarastini.
Dia kembali mengetik pesan untuk dikirimkan ke temannya.
"Rin, besok hari minggu, manager kamu pergi ke kantor juga? tapi dalam rangka apa? bukankah seharusnya itu hari libur dan tidak ke kantor seperti hari ini kamu bilang bahwa hari ini libur?"
Pesan terkirim.
Tak berapa lama pesan balasan masuk dari nama 'Rinoi'.
"Besok memang termasuk libur tapi besok kita ada persiapan untuk gladi resik rapat bersama perwakilan dari perusahaan Hongkong, manager kami juga masuk termasuk beberapa eksekutif perusahaan."
Setelah Syarastini membaca pesan balasan, dia benar-benar yakin bahwa matanya tidak buta dan memang benar besok Ghifan pergi ke kantor.
Syarastini tidur terlentang di atas ranjang, dia melihat palfon kamar dengan perasaan berbunga-bunga. Lalu dia melihat telapak tangan kanannya. Telapak tangan itu bersentuhan langsung bahkan berjabat tangan dengan Ghifan.
"Ini adalah kali kedua … kedua … aku dan Ghifan saling sentuhan tangan aahhh!" Syarastini menutup wajahnya. Kentara sekali ada warna merah di pipi karena merona.
"Hari ini ake berkenalan resmi dengan Ghifan, aaahh! ya Allah, dadaku detaknya nggak karuan hiii padahal dia udah nggak di dekat aku lagi."
Syarastini tetap merasa sangat malu-malu. Dia masih mengingat insiden terjebak di dalam lift.
"Um … sapu tangan Ghifan harum … ahh!"
Blush.
Merona lagi dan tentu saja itu tersipu.
Syarastini merasa bahwa ingin rasanya waktu berhenti saja tadi lalu dia lebih punya banyak waktu bersama dengan Ghifan. Tapi tak apalah, mungkin besok dia bisa bertemu dengan pria itu lagi. Dalam hati, Syarastini selalu berdoa agar selalu dipertemukan dengan Ghifan.
Malam ini sepertinya Syarastini tidak akan bisa tidur nyenyak, sebab bayang-bayang ketika di lift dan hangatnya telapak tangan Ghifan selalu tergiang di ingatannya.
Sementara itu di kediaman Busran Nabhan.
Gerbang pintu rumah terbuka, Ghifan mengendarai mobilnya masuk ke dalam kawasan rumahnya. Dia memberhentikan mobilnya di depan pintu masuk lalu keluar dari mobilnya, sementara itu sang bodyguardnya yang menggantikan Ghifan untuk memarkirkan mobil majikannya itu ke bagasi. Sedangkan bodyguard yang lainnya membukakan pintu rumah agar tuan muda mereka masuk.
Sesampainya di dalam rumah, Ghifan dapat mendengar suara tv yang sedang diputar, setelah Ghifan berjalan ke arah ruang nonton dan santai, rupanya dua pasangan saling merangkul pasangan mereka masing-masing sambil nonton flim di televisi. Sang ayah merangkul ibunya sedangkan kakak kembarnya memeluk istri yang hampir dua bulan ini dia nikahi.
Ghifan dengan serius melihat para pasangan itu menghabiskan waktu bersama. Mereka terlihat bahagia sepanjang hari, senyum satu sama lain pada pasangan mereka. Ghifan yang selama umur dia hidup sudah 27 tahun ini yang tidak pernah merasakan bagaimana mempunyai pacar atau gadis disukai itu merasa bahwa sepertinya dia merasa agak kesepian.
Ya, agak kesepian. Namun, hal itu hanya dirasakan selama beberapa detik saja, Ghifan berpikir mungkin karena dia melihat betapa mesra ayah dan kakak kembarnya merangkul pasangan mereka masing-masing.
"Eh, kamu udah pulang? ngapain berdiri di situ?" Gea merasa bahwa ada yang melihat dirinya, dia berbalik dan menemukan sang anak nomor dua.
Ghifan tersenyum.
"Iya, Ma. Ghifan baru pulang kok," balas Ghifan.
"Halah bohong, udah dari tadi Ghifan berdiri di situ, Ma. Cuman dia nggak enak hati aja gabung di sini karena kan secara dia jomblo sejati nggak ada pasangan untuk rangkul-rangkul macem kita, Pa, Ma," celetuk Gaishan. Deretan gigi Gaishan terlihat bangga dia tunjukkan ke arah sang adik. Beruntung gigi-gigi Gaishan itu berwarna putih bukan kuning.
Ghifan mencebikkan bibirnya ke arah kakak kembar. Kakak yang pernah nongkrong bersama selama sembilan bulan di kandungan sang ibu ini suka sekali mengompori orang dan membuat orang naik darah. Jika saja Ghifan tidak ingat persaudaraan mereka, mungkin sudah dia smack-down sang kembaran.
"Satu hari saja coba kamu diam." Suara balasan dari Fathiyah terdengar.
"Heheeh, ok cintaku, aku imut jadi aku diam," balas Gaishan setelah cengengesan tak bersalah ke arah sang istri.
"Aku lagi ngidam," ujar Fathiyah.
Mendengar kata ngidam, telinga Gaishan dan Gea berdiri, mereka segera melihat ke arah Fathiyah.
"Kamu ngidam apa sayang?" ucap Ghifan dan ibunya bersamaan.
Busran juga ikut melirik ke arah menantu, jarang-jarang menantunya bilang dia ngidam setelah satu minggu pemeriksaan kehamilan menantunya itu.
Fathiyah melihat wajah Gaishan serius, "Aku ngidam malam ini nggak mau tidur bareng kamu."
Lah?
Mata semua orang terbelalak.
"Hei, mana bisa seperti itu, Sayangku? suami istri itu harus tidur seranjang, macam kita yang tidur terus, nempel nggak ilang-ilang," ujar Gaishan.
"Tapi gimana dong? akunya ngidam kayak gitu." Wajah Fathiyah terlihat susah.
"Ya sudah ya sudah, malam ini kamu nggak usah tidur sama Gaishan," ujar Gea.
"Hei, Ma-"
"Jangan banyak bicara, istri baru hamil kayak gini, maunya ini itu sangat wajar. Apalagi sekarang Tia hamil muda jadi memang mood suka berubah-ubah," potong Gea ke arah anak sulung.
"Ma-"
"Pa, dulu waktu Mama hamil Gaishan dan Ghifan, Mama ngidam apa?" tanya Gea ke arah Busran. Hal ini memotong ucapan Gaishan yang bahkan belum mengeluarkan sekatapun kalimat.
"Banyak, salah satunya ingin tidur dengan Momok …," jawab Busran lalu dia melirik ke arah sang menantu, "itu … ngidamnya pengen tidur sama siapa?"
Ketika Busran bertanya, tiba-tiba ada firasat buruk menghampirinya.
"Mau tidur dengan Mama Gea."
Hening.
Busran berusaha untuk mencerna ucapan sang menantu.
"Ok, sekarang sudah jam tidur, cukup lama kita nonton. Ayo Mama Gea temenin Tia tidur malam ini." Gea berdiri dari sofa santai lalu menarik tangan Fathiyah memasuki kamar tidur Fathiyah dan Gaishan.
Busran dan Gaishan, "...."
Lah? jadi mereka tidur bagaimana?
"Sayang, lalu aku tidur bagaimana?" tanya Busran.
"Ya tidurlah, tinggal tutup mata kan jadi," jawab Gea.
"B-bukan itu, maksudnya-"
"Bus, aku udah mengantuk. Ayo Tia, kita tidur." Gea memotong ucapan Busran.
Busran dan Gaishan ditinggalkan oleh istri-istri mereka.
"Hahahaha!" terdengar suara tawa. Ternyata itu adalah suara tawa dari Ghifan.
Ghifan melirik ke arah ayah dan saudara kembarnya, dia tersenyum senang tanpa beban, mungkin karena malam ini dua orang pria di depannya itu akan merasakan hal yang sama dengan dia, yaitu kesepian.
"Pa, Shan, aku masuk ke kamar, ah, Papa dan Gaishan mau Ghifan temenin tidur? biar nggak kesepian gitu." Ghifan memberi tawaran.
"Tidur saja sendiri!" Busran dan Gaishan menolak mentah-mentah ajakan dari Ghifan.
"Heum!" dua pria Nabhan beda generasi itu pergi masuk ke kamar lalu tidur.
"Pfftt!" Ghifan merasa bahwa malam ini adalah malam berkah. Dia berjalan naik ke kamarnya.
Kamar bujang Gaishan tidak lagi dipakai oleh Gaishan, kamar itu sekarang kosong, sebab semenjak Fathiyah dinyatakan hamil oleh dokter tepat satu minggu yang lalu, Gaishan dan Gea tidak mau Fathiyah turun naik tangga, mengingat Fathiyah hamil muda dan peristiwa beberapa bulan lalu, kamar Gaishan dan Fathiyah berpindah ke lantai satu. Sebenarnya banyak kamar di lantai satu, ada sekitar enam kamar, namun anak-anak Busran dan Gea tidak suka tidur di kamar bawah, mereka lebih senang tidur di kamar atas.
Ghifan menutup pintu kamar, dia merasa gerah karena tadi sempat mandi keringatnya sendiri ketika terjebak dengan seorang gadis yang baru saja berkenalan dengannya di dalam lift.
"Panas," gumam Ghifan.
Dia masuk ke kamar mandi lalu mulai membuka bajunya. Terlihat otot yang terbentuk dari latihan gym yang dia tekuni satu bulan satu kali, Ghifan sebenarnya tak terlalu suka gym, dia melakukan gym satu bulan satu kali hanya karena dia bisa dekat dan akrab dengan karyawan-karyawan dan eksekutif lainnya di Farikin's Seafood. Dia lebih suka joging atau hiking untuk memperkuat otot kakinya. Postur badannya tak terlalu kekar seperti Gaishan yang rajin latihan beladiri bersama bodyguard Nabhan, namun untuk standar pria maskulin, Ghifan sudah termasuk di atas rata-rata.
Setelah membuka pakaian, Ghifan menyalakan shower, tetesan-tetesan air mulai mengguyur badannya mulai dari atas kepala.
"Um … airnya enak, tidak terlalu dingin," gumam Ghifan sambil menutup mata. Dia menikmati aktivitas mandi malamnya.
Ghifan tak tahu bahwa di lain tempat ada seorang gadis yang tak bisa tidur karena memikirkan bau badan ah, tepatnya bau keringat dirinya.
Hanya butuh waktu tiga menit, Ghifan keluar dari dalam kamar mandi berbalut handuk di pinggang sampai lutut.
Rambutnya masih turun butiran air, aroma shampo yang dipakai oleh Ghifan masih tercium segar di dalam kamar pria berusia 27 tahun itu.
Ghifan melihat ke arah ponselnya yang bergetar. Dia berjalan ke arah nakas yang berada di samping ranjang tidur miliknya.
Ghifan meraih ponsel lalu melihat bahwa ada pesan pengingat dari sang sekretaris yang memberitahukan bahwa besok adalah jadwal untuk mempermantap pertemuan dengan perusahaan makanan dari Hongkong.
'Sekretaris Rino'
Begitulah yang tertulis di nomor yang mengirimkan pesan pengingat.
Ghifan membalas pesan dari sekretsrisnya.
'Baik.'
Setelah membalas pesan dari sang sekretaris yang sudah satu tahun bekerja di bawahnya, Ghifan meletakan kembali ponselnya lalu berjalan ke arah ruang ganti dan mengambil baju tidur yang tergantung rapi di lemari.
Jika diperhatikan, isi lemari dari Ghifan sepuluh kali lipat lebih rapi dibandingkan kakak kembarnya sewaktu bujang–Gaishan.
Isi lemari Gaishan terlihat campur aduk, itu yang menyebabkan palayan bolak balik masuk setiap hari di dalam kamar Gaishan untuk sekedar merapikan lemari pakaian Gaishan, namun berbeda dengan Ghifan, dia adalah anak rapi dan tidak terlalu suka barang pribadinya dipegang oleh orang. Ghifan sudah dari kecil mandiri dengan cara melipat dan mengurus pakaiannya sendiri.
Setelah memakai pakaian, Ghifan meletakan kepalanya di atas bantal empuk yang biasa dia pakai untuk tidur.
Tak lama kemudian mata Ghifan tertutup dan Ghifan dibawa ke alam mimpi.
°°°
"Tumben kamu pagi-pagi begini stand by duduk di kursi makan?" tanya Gaishan, matanya masih penuh lengket dengan kotoran mata.
"Gaishan, pergi cuci muka dan mandi, kalau tidak mandi, selamanya aku tidak mau tidur dengan kamu." Terdengar suara mengancam dari istri tercinta Gaishan.
"Aye aye, siap cinta!" Gaishan buru-buru mandi pagi.
Ghifan hanya menggelengkan kepalanya saja. Dia sudah biasa dengan otak gesrek dari kakak kembar itu. Seharusnya dia yang bertanya pada sang kakak bahwa terlalu tumben pagi begini dia masih dengan muka bantal ke meja makan.
"Loh, kamu rapi. Apa hari ini mau pergi jalan-jalan bareng Liham lagi?" tanya Gea ke arah Ghifan.
"Nggak, Ma. Hari ini Ghifan ada pertemuan kecil di kantor. Khusus untuk eksekutif dan manager saja," jawab Ghifan.
"Oh begitu. Ya udah, sarapan lalu ke kantor," ujar Gea.
"Sayang, kamu kurang memperhatikan aku." Suara serak Busran terdengar.
"Udah tua. Aku ngurus kamu dari Gaishan dan Ghifan belum ada di dunia ini," balas Gea.
"Heheheh." Busran cengengesan.
°°°
Mobil Ghifan menuju gedung perkantoran Farikin.
Namun, di saat dia hendak berbelok untuk memasuki gerbang, sebuah suara terdengar.
Brak!
Ghifan langsung memberhentikan mobilnya. Mobil yang dia kendarai disenggol dari arah kanan belakang mobil.
Terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah Ghifan, Ghifan sendiri hendak turun.
"Maaf, maaf, maaf. Saya benar-benar tidak melihat, saya benar-benar tidak tahu bahwa mobil Anda ingin belok ke kanan!" suara perempuan terdengar takut.
Ghifan melihat orang yang tidak sengaja menyenggol mobilnya.
"Kamu … Ti … ni?"
°°°