"Besok hari senin, kantor berjalan seperti biasa, bagaimana perkembangan harga saham kita?" anggota keluarga Tinar yang paling tua yang buka suara di meja makan. Dia adalah Jihat Tinar kakek dari Syarastya dan Syarastini yang tahun ini berumur 82 tahun.
"Semua berjalan lancar, Pa. Harga saham Tinar Group stabil, naik secara berkala, aku dan Tia sering memantau permainan harga di pasar saham," jawab Badar.
Jihat mengangguk, namun dia terlihat belum puas.
"Jika saja ada anak laki-laki dari kamu, mungkin Tinar Group bisa diperintah oleh tangan laki-laki," gumam Jihat.
Setelah gumaman dari Jihat ini, suasana di meja makan terasa sunyi. Syarastya terdiam seolah dia tidak mempunyai selera makan lagi. Sang kakek selalu saja membahas anak laki-laki di keluarga Tinar.
"Papa, anak perempuan juga apa salahnya? cucumu Syarastya ini bahkan memiliki pengalaman yang cukup banyak, dia bisa menaklukan tiap kali ada tender, karena cucu perempuanmu inilah, Tinar Group bangkit." Shanti Wina buka suara. Dia tidak tahan di setiap percakapan keluarga, atau bahkan makan malam, ayah mertuanya mengungkit mengenai anak laki-laki. Sejujurnya dia juga kesal karena seolah ayah mertuanya ini tak pernah menghargai dia yang sudah memberikan usaha terbaik nya agar ada cucu di sekitarnya.
"Kamu tahu apa? biarpun Tia itu banyak pengalaman, tetapi perempuan tetaplah perempuan, anaknya nanti tidak ada yang membawa nama Tinar, tidak bisa menjadi pimpinan keluarga Tinar di masa depan," sanggah Jihat.
Mulut Shinta Wina kelu, dia tidak lagi membalas ucapan sang ayah mertua. Tak dapat dia pungkiri bahwa ucapan ayah mertuanya itu ada bener nya, sebab memang anak perempuan tidak ada yang membawa marga keluarga.
Badar hanya diam. Dia dengar saja apa yang dibicarakan oleh sang ayah, toh dia tidak mau pusing-pusing, sang ayah sudah tua, tahun ini 82 tahun, untuk apa sibuk mengurusi anak yang dia lahirkan bukan laki-laki? yang penting kemampuan Syarastya di luar sana tidak memalukan.
Jihat melirik ke arah Syarastya, "Umurmu sekarang tiga puluh tahun, kapan kamu akan memperkenalkan laki-laki di depan kakek agar bisa secepatnya menikah?"
Sangat menyayat hati Syarastya.
Syarastya hanya bisa diam dengan wajah menahan marah.
"Jika ingin mengambil alih perusahaan, kamu harus menikah lalu harus memberikan kita anak laki-laki," ujar Jihat.
"Papa-"
"Jangan memotong ucapanku!" Jihat menegur sang anak.
Syarastini hanya diam, dia tidak mengeluarkan suaranya sedikitpun, dia diam-diam makan makanannya, Syarastini berusaha untuk menghabiskan makanannya secepat mungkin.
"Memangnya kenapa aku menyuruh dia untuk segera menikah? dia sudah waktunya untuk menikah. Umurnya sudah tiga puluh tahun, dan matamu bisa lihat sendiri, tidak ada cucu di sekitarmu, aku masih hidup, aku sebelum mati, aku ingin melihat calon penerus keluargaku!"
Badar diam, sang ayah ini banyak maunya. Sedangkan Shinta Wina tak tahan, dia ingin segera berdiri dari kursi dan pergi ke tempat lain, kuping nya sudah panas keluar asap.
"Apa kamu masih berharap pada pria yang sudah menjadi suami orang itu? buka matamu, pria itu bahkan rela menjadi b***k bagi perempuan yang dia nikahi, jangan terlalu bermimpi lagi kamu bisa punya kesempatan bersamanya, lagi pula aku bilang apa dari awal? aku berikan kamu kesempatan, tapi kamu sia-siakan, orang lain lebih dulu mengambil dia daripada kamu," cecar Jihat.
Wajah Syarstya merah. Bukan merah karena tersipu malu, tetapi merah karena menahan amarah.
"Kakek, tidakkah Kakek hargai perasaanku di meja makan?" suara dingin Syarastya terdengar.
"Berani membalas ucapanku, kamu merasa sudah hebat?" Jihat menaikan sebelah alisnya.
Bibir Syarastya terbuka, dia ingin membalas ucapan sang kakek, namun suara sang kakek yang lebih dulu dia dengar.
"Ini demi kebaikanmu. Di masa depan harta, warisan, perusahaan dan semuanya kamu yang pegang, jadi jangan membantah kakekmu."
Mendengar suara sang kakek, Syarastini sedikit mengangkat pandangannya ke arah kakeknya. Sudah dia dengar beberapa kali dari ibunya bahwa perusahaan akan diturunkan pada sang kakak, namun baru kali ini dia mendengar langsung ucapan itu keluar dari mulut sang kakek bahwa harta, warisan dan semuanya akan dipegang oleh sang kakak. Entah kenapa ada sedikit rasa sesak di dadanya, namun rasa sesak itu cepat digantikan oleh argumen yang selama ini dia pertahankan bahwa dia juga disayang oleh orangtuanya, maka dari itu orang tuanya tidak ingin dia bekerja.
Shinta Wina yang tadinya ingin berdiri dari kursi, kini duduk kembali, dia merasa puas setelah mendengar ucapan dari ayah mertuanya.
Shinta melihat ke arah wajah Syarastini, dia menarik napas lalu menghembuskannya, setelah itu dia mengambilkan lauk untuk Syarastini, "Tini, makan yang banyak, badan kamu kecil, itu kurus."
Syarastini tersenyum, dia mengangguk, badannya tidak kurus, dia saja yang terlihat pendek di mata orang tinggi, dia tak keberatan ada tambahan makanan di dalam piringnya. Syarastini dengan sopan memakan makanan itu.
Jihat melirik ke arah cucunya yang lain. Dia memandangi lama sang cucu bungsu menunduk makan.
"Tini, pergilah berlibur sekali-kali. Ayahmu tidak berhak melarangmu pergi ke mana-mana. Kamu juga sudah besar," ujar Jihat, suaranya terdengar serak, seperti menahan sesuatu.
Syarastini sempat terdiam kaku, lalu dia mengangkat kepala dan melihat ke arah sang kakek, senyum di bibir manisnya terlihat, "Baik, Kakek."
"Um." Jihat melanjutkan makan.
Selama makan malam berlangsung, suasananya diam dan damai, tidak lagi ada pembicaraan di meja makan hingga suara Jihat terdengar lagi.
"Tini."
"Um, ya, Kakek?" Syarastini menyahut panggilan sang kakek setelah dia meneguk air mineral satu gelas.
"Jika kamu ingin membuka bisnis kecil-kecilan, silakan. Bukankah kamu sudah cukup lama lulus dari kuliah? pergilah membuka toko atau kafe, biayanya akan Kakek tanggung," ujar Jihat.
Suasana sunyi lagi setelah Jihat mengatakan itu. Syarastini melirik ke arah Badar dan Shinta, mereka juga diam, sedangkan Syarastya melirik ke arahnya.
"Itu awal yang bagus untuk Tini, Pa." Badar menyetujui ucapan sang ayah.
"Tini masih terlalu muda untuk membuka bisnis sendiri," ujar Shinta.
"Aku membangun Tinar Group ketika umurku baru dua puluh dua tahun, hal apa dia terlalu muda? Tia saja dari umur dua puluh tahun sudah terjun di dunia bisnis," sanggah Jihat.
"Aku setuju jika Tini membuka usaha, tapi jangan terlalu lelah, dia mudah sakit dari dulu. Susah menyembuhkan sakitnya jika kambuh," ujar Shinta.
Matanya terlihat susah diartikan ke arah Syarastini. Syarastini dapat melihat mata ibunya memerah.
"Aku katakan tadi, usaha kecil, bukan membuka perusahaan besar yang akan membuatnya kerja rodi. Perusahaan besar sudah ada Tia yang urus. Untuk apa dia yang urus? aku tahu kesehatan tubuhnya dari kecil, jadi tidak perlu mengajari aku," balas Jihat.
"Tini anakku, aku juga tahu tentang dia," ujar Shinta, namun suara ini terdengar pelan. Meskipun pelan, Syarastini dapat mendengar. Dia tersenyum kecil.
"Badar, panggil pengacara dan notaris, lalu urus surat-surat dan apa saja yang diperlukan untuk membuka usaha legal setelah Tini menjawab apa yang dia suka, dia ingin usaha apa," ujar Jihat.
"Baik," sahut Badar.
Badar melihat Syarastini yang menunduk melihat piring kosong yang telah habis makanan, dia tersenyum kecil lalu mengusap rambut Syarastini, "Pikirkan apa yang ingin kamu mulai untuk usaha itu, masih banyak waktu, jika sudah mantap, bicarakan pada Papa, kamu tidak perlu khawatir tentang kemampuan atau pengalamanmu kurang, ada senior di Tinar Group yang akan mengajari kamu dari awal."
"Baik, Papa," sahut Syarastini menurut.
°°°
Ketika Syarastini masuk ke kamarnya, dia meraih ponsel lalu mengirim pesan pada sang teman yang bernama Rinoi.
'Rin, besok jadwal kerja kalian seperti biasa, kan?'
Kali ini Syarastini tak butuh waktu lama untuk mendapat balasan dari teman, dalam satu menit, pesan balasan masuk.
'Jadwal seperti biasa, kenapa? kamu ingin menyemangati orang yang kamu suka secara langsung?'
Blush.
Setelah membaca pesan balasan dari Rinoi, wajah Syarastini berubah memerah tersipu malu.
Dia hanya membalas emoji dua pipi memerah.
Lalu ada pesan lagi dari Rinoi.
'Apakah tadi kamu melihat pria yang kamu sukai?'
Syarastini tersenyum setelah membaca pesan sang teman. Tentu saja dia melihat pria yang dia sukai.
'Ya, aku melihatnya. Dia sangat tampan hari ini.'
Beberapa detik kemudian ada balasan lagi dari Rinoi.
'Kamu masih tidak ingin memberitahu aku siapa pria yang kamu suka di tempat kerjaku?'
Syarastini tersenyum kecil.
Mana bisa dia mengungkapkan pada orang lain bahwa dia menyukai Ghifan sudah lama?
'Rahasia.'
Balas Syarastini pada Rinoi.
'Ya ya ya, sudah dari empat tahun lalu kamu bilang itu adalah rahasia. Setidaknya ceritakan sedikit ciri-ciri pria yang kamu suka, pria yang pertama kali kamu bertemu di toko sepatu anak-anak, aku mati penasaran. Jika tidak, aku akan menanyakan pada semua temanku, apakah mereka pergi ke toko sepatu itu untuk membeli sepatu anak-anak.'
Syarastini membulatkan matanya panik. Jangan sampai temannya itu benar melakukan apa yang dia ketik di pesan ini.
'Jika sudah waktunya, aku akan memberitahu kamu.' Emoji senyum terlihat.
Rinoi hanya membalas 'Ok. Aku menunggu.'
Setelah itu tidak lagi ada pesan yang saling berkirim.
Syarastini membaca pesan Rinoi bahwa dia ingin menanyakan semua temannya apakah mereka pergi ke toko sepatu anak-anak empat tahun lalu.
Toko sepatu anak-anak.
Sepertinya Syarastini sudah memutuskan apa yang dia mau.
Syarastini membuka informasi tentang toko sepatu anak-anak. Dia tersenyum ketika melihat bentuk imut dan warna yang indah dari model sepatu anak-anak.
Tak terasa sudah satu jam Syarastini mencari tahu tentang toko sepatu anak-anak, dia memutuskan untuk beristirahat saja.
"Besok saja baru aku lanjut. Aku sudah mengantuk," gumam Syarastini. Dia mematikan ponsel lalu mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur. Syarastini meraih selimut dan dia tidur.
Sementara itu di kamar Badar dan Shinta.
Shinta melirik ke arah suaminya yang sedang melihat beberapa majalah yang memuat tentang usaha untuk pemula. Dari mulai toko bunga, toko pakaian, bahkan tempat jahit.
"Kamu benar ingin melepas Tini buka usaha sendiri?" tanya Shinta.
"Kenapa?" tanya Badar, dia tidak menjawab pertanyaan dari sang istri.
"Maksud aku, Tini bisa berdiam diri saja di rumah. Papa juga punya warisan rumah untuk dia di masa depan, jadi hidup Tini akan tetap terjamin di masa depan tanpa perlu bekerja," ujar Shinta.
"Sudah cukup kamu melarang Tini untuk tidak bekerja di perusahaan. Biarkan dia mencoba sesuatu yang baru, jika gagal, dia akan kembali berdiam diri di rumah saja," balas Badar.
"Yah baiklah. Apa yang kamu bilang itu benar. Jika gagal, Tini di rumah saja. Aku mau tidur."
Shinta menaikkan selimut lalu membelakangi Badar yang sedang bersandar di kepala ranjang.
"Matikan lampunya."
Badar melirik ke arah istrinya yang sudah menutup mata. Dia menutup halaman majalah lalu mematikan lampu kamar.
°°°