Jalan Kaki

1156 Words
Jenazah Suamiku Bab 7 : Jalan Kaki "Mbak Wulan, acaranya akan dimulai pukul 15.30. Ini pakaian ganti dari Nyonya, kita akan berangkat pukul 15.15, setelah sholat ashar." Yani masuk ke dalam kamar istirahatku bersama Winka. "Jadi, acaranya bukan di rumah ini, Bu Yani? Lalu kapan saya disuruh kerjanya? Kok malah disuruh rebahan di kamar saja? Terus ... Kok disuruh ganti pakaian segala? Apa ini pakaian khas pelayan rumah ini?" Aku yang baru saja terkejut dari tidur segera melontarkan pertanyaan bertubi kepada wanita bertubuh ideal itu, walau usianya tak lagi muda. "Hmm ... Bisa jadi ... Kurang lebih ... Demikianlah .... " Bu Yani menjawab dengan menahan senyum. Ah, semua orang di rumah ini semakin aneh saja. Masa jawabnya begitu, hadeehh. "Saya permisi dulu, Mbak Wulan!" Yani--Si Kepala Asisten Rumah Tangga melangkah menuju pintu. Aku membuang napas kasar dan menatap Winka yang masih tertidur. Duh, untung aja ada selimut tebal, kalau nggak ... Kami bisa mati kedinginan kami. Heran juga, nggak di mobil ... Di rumah ... Kok hawanya dingin begini. *** "Bu, kita dapat baju baru?" tanya Winka senang saat kupakaikan baju ganti dari Nyonya. "Cuma dipinjamkan, Nak. Oh iya, nanti kalau Ibu udah sibuk kerja nanti, kamu jangan jauh-jauh dari Ibu dan ... Jangan dekat siapa-siapa ... Terutama orang jahat itu .... " ujarku kepadanya. "Siapa, Bu, orang jahat?" tanyanya cepat dengan alis yang menyatu. "Itu ... Tuan yang selalu pakai kacamata hitam, dia orang jahat yang sangat galak. Ibu nggak mau ... Kalau kamu sampai diapa-apakan sama dia," ujarku lagi sambil memegang pundaknya, menatap manik cokelat keturunan almarhum ayahnya. "Oh ... Om Restu ... dia baik kok, Bu. Malahan ... Winka nggak sengaja manggil dia Ayah ... Dia nggak marah dan bilang ... Kalau Winka boleh manggil dia apa saja. Asal jangan dipanggil kakek aja katanya ... Soalnya kakek-kakek nggak ada yang seganteng dia katanya ... haha ... Dia lucu, Bu." Winka mulai bercerita dengan antusias tentang Tuan Rentenir yang aneh itu, yang ternyata menganggap dirinya itu ganteng. Isshh ... Seram iya, gantengan juga almarhum Bang Wawan ke mana-mana. "Bu, Om Restu ... Kalau dia buka kacamata hitamnya ... Dia benar-benar mirip banget sama Ayah loh .... " Winka kembali mengoceh tentang orang itu. Hati terasa nyeri mendengarnya, rasanya tak rela saja ... Ada orang jahat yang mirip almarhum suamiku. Dia orang baik, sedangkan Tuan Rentenir itu, dia sangat arrogant dan kasar. Mentang-mentang saja orang kaya. Tiba-tiba terdengar bunyi pintu kamar diketuk dari luar lalu masuklah Yani dengan wajahnya yang selalu tersenyum ramah itu. "Mbak Wulan, Dik Winka, sudah siap 'kan, ya? Ayo kita berangkat, semua anggota keluarga Nyonya Hera sudah menunggu," ujar Yani sambil menatap kami. Aku mengangguk dan segera menggandeng tangan Winka, lalu mengekor di belakang Si Kepala Asisten Rumah Tangga yang sanggulan rambutnya selalu rapi itu. Taklama kemudian, kami sudah berada di halaman rumah megah itu, dan ternyata para orang kaya itu sudah berdiri di dekat mobil mereka. "Wulan, Winka ... Ayo!" Wanita baik hati yang bernama Nyonya Hera itu menyambutku ramah. "Naik mobil lagi, Nyonya?" tanyaku dengan menelan ludah, kukira takkan naik kendaraan orang kaya yang bikin mabuk itu lagi tapi nyata, aduuuh ... Jadi berkeringat dingin. "Iya. Emang kenapa, Wulan? Kamu takut mabuk kendaraan lagi? Perjalanan dekat kok, kayaknya kamu nggak akan mabuk deh," ujar Nyonya Hera sambil mengusap bahuku. "Saya naik ojek ajalah, Nyonya, biar Winka--putri saya aja yang naik mobil sama Nyonya," ujarku, karena aku tahu Winka suka sekali naik mobil jadi aku sendiri saja yang naik ojek. "Duh ... Wulan, kok mau naik ojek sih? Atau gini aja ... Kamu minum obat anti mabuk kendaraan dulu. Insyallah nggak akan mabuk kok. Yani, bawa obatnya!" ujar Si Nyonya lagi. Taklama kemudian, Yani sudah berdiri di sebelahku dengan membawa segelas air putih dan sebiji obat. Aku menghela napas berat, biar sudah minum obat, aku akan tetap saja mabuk. Hanya saja, mata jadi mengantuk jadi efek mabuk takkan begitu terasa. "Ayo, Wulan, cepat diminum obatnya!" ujar Si Nyonya lagi sambil memindahkan gelas dan obat di tangan Yani ke tangannya sendiri. "Nyonya, kalau saya minum obat ini ... Maka saya akan tertidur dan takkan bisa bekerja jika kita sudah sampai di tempat acara nanti .... " Aku meringis. "Hmm ... Gitu ya .... " Si Nyonya terlihat bingung. Taklama berselang, Si Tuan Rentenir malah turun dari mobil dan melangkah ke arah kami. Wajahnya terlihat sangat sangat. Tebak gaes, lagi-lagi dia berpakaian serba hitam. Eh, dia pakai baju koko tapi tetap saja warnanya hitam. Apa dia tak punya warna lain, ya? Isshhh .... "Ma, kapan berangkatnya kalau cuma ngobrol di sini?" katanya dan seperti biasa, nadanya ketus bin sengit. "Restu, Wulan takut mabuk lagi kalau naik mobil. Kalau minum obat anti mabuk, nanti malah ngantuk. Gimana, ya, solusinya?" Si Nyonya menatap Si Tuan Rentenir. "Dekat kok, cuma 10 menit perjalanan, nggak akan mabuk." Si Tuan terlihat melengos kesal. "Saya ... Mau minta dicariin ojek ajalah, Tuan. Biar putri saya aja yang ikut mobil Nyonya." Aku berusaha tersenyum dan bersikap santai walau dalam hati dongkol melihat sikap jutek pria bernama Restu itu. "Di sini nggak ada ojek, Wulan." Dia terlihat membuang napas kasar. "Ya udah, saya jalan kaki saja kalau gitu," jawabku pelan sambil meliriknya. "Mama dan Winka masuk mobil aja dulu, kalian berangkat aja duluan ke sana. Soalnya ini udah mulai acaranya." Si Tuan Restu berkata dengan suara berat sambil menatap jam di pergelangan tangannya. "Terus ... Wulan gimana?" Si Nyonya bertanya. "Restu yang akan urus, Mama buruan ajak Winka ke mobil!" Nada perintah itu kembali terdengar. "Ibu .... " Winka menatapku. "Winka pergi sama Nyonya, Ibu nyusul belakangan ... Naik ojek saolnya Ibu nggak kuat nanti sakit kepala lagi kalau naik mobil. Winka nggak mau lihat Ibu sakit 'kan, ya? Nurut, ya, Nak!" Kupegang pundaknya dan Si Nyonya Hera langsung menggandeng tangannya. "Wulan, saya dan Winka duluan, ya. Kamu sama Restu--putra saya, dia baik kok orangnya. Kamu tenang saja!" Nyonya Hera menepuk pundakku dan membalikkan badan, lalu menggandeng Winka masuk ke dalam mobil mereka. Si Tuan Rentenir terlihat berbicara dengan rombongan di dalam dua mobil di hadapan kami, lalu melambaikan tangan saat mobil itu mulai tancap gas keluar dari perkarangan rumah mewah ini. "Katanya mau jalan kaki, buruan ikuti rombongan dua mobil itu!!!" katanya bengis saat menghampiriku. Dasar gila! Kukepalkan kedua tangan, menatap tajam ke arah Si Tuan Arrogant yang kini berkacak pinggang di hadapanku. Aku masih berusaha menahan kata-kata kasar dari mulut ini, soalnya aku juga sih yang tadi bilang mau jalan kaki. Ya elah, kalau nyasar gimana? Aku kan nggak serius juga mau jalan kaki, setidaknya dipanggil ojek kek. "Jalan aja lurus ke depan! Kalau pakai mobil 'kan 10 menitan, kalau jalan kaki bisa 1 jam-an. Kalau ketemu kumpulan orang ramai-ramai, nah ... Di situlah tempat acaranya," ujarnya lagi sambil melangkah pergi. Ya ampun, ternyata aku serius disuruh jalan kaki. Kejam amat sih tuh orang! Dengan sesekali menoleh belakang, aku mulai melangkah menuju pagar tinggi di depan sana sambil berdoa dalam hati semoga saja nggak nyasar. Bersambung .....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD