Acara Selesai

1009 Words
Jenazah Suamiku Bab 8 : Acara Selesai "Udah puas belum jalan kakinya? Ayo naik!" Tiba-tiba terdengar suara pria kejam itu di sampingku. Aku menghentikan langkah sambil menyeka keringat di dahi, kesal dan sakit hati beradu jadi satu tapi pastinya aku takkan berani marah kepadanya. "Mau naik atau saya tinggal?!" katanya sambil mengulurkan helm ke arahku. Aku menarik napas panjang dan menatapnya yang kini duduk di atas motor gede berwarna hitam. Nah, 'kan ... Hitam lagi. Apa nggak ada yang warna merah, pink, hijau, biru, coba? "Pertanyaan terakhir, mau naik atau tidak?!" katanya lagi. Tanpa sempat berpikir lagi, segera kutarik helm dari tangannya lalu memasangnya ke kepala. Kuhembuskan napas kasar, lalu naik ke boncengan belakang pria kejam, kasar, arrogant, gila, kurang waras, dan segala umpatan deh untuk dia. Motor mulai melaju dengan kecepatan sedang, aku sengaja duduk agak pinggir agar tak bersentuhan dengannya. Yakin deh, dia ini pasti banyak virusnya, jadi aku takut tertular. Taklama berselang, motor Si Tuan Kejam telah memasuki sebuah perkarangan bangunan sederhana dengan papan tulisan "Yayasan As-Salam." "Turun, udah sampai!" ujarnya ketus. Ya Allah, nih orang nggak bisa apa kalau ngomongnya nggak kasar bin ketus gitu! Aku segera turun dan membenarkan gamis pinjaman dari Nyonya Hera yang ternyata kembaran dengan anggota keluarga yang lainnya. "Ayo, saatnya kamu kerja! Cepatan jalannya!" ujarnya garang sambil melangkah mendahuluiku. Sumpah, Si Tuan Restu ini bikin kesal. Nih orang selevelan sama Bang Wahyu, yang kerjanya marah-marah terus dan paling hoby memarahiku setiap saat. Kalau mereka adu jotos, kurasa akan 1-1 nilainya. Taklama kemudian, kami telah tiba di sebuah ruangan besar di mana ada banyak anak-anak di sini. "Amin ya rabbal 'alamin. Al-Fatiha." Terdengar suara Ustaz yang duduk paling depan, sepertinya dia sedang memimpin acara doa bersama ini. "Wulan, akhirnya kalian sampai juga." Nyonya Hera menyambutku. "Ibu .... " Winka menyapaku dengan melambaikan tangan, ia sedang duduk di dekat wanita tua yang dipanggil Oma tempo hari. Ia tersenyum ramah kepadaku. Aku tersenyum ke arah mereka, lega saja putriku baik-baik saja. "Restu, Wulan, ayo bantu Mama membagikan makanan dan bingkisan untuk mereka," ujar Nyonya Hera sambil menggandeng tanganku menuju tumpukan nasi kotak dan kantong bingkisan. Aku menurut, ternyata ini kerjaan yang dimaksud itu. Ini mah kecil, kirain bakal disuruh nyapu dan ngepel Yayasan ini. "Mama duduk saja di dekat Oma dan Tante Rani, biar Restu dan Wulan yang membagikan semua ini kepada para anak panti," ujar Si Tuan Rentenir, nada datar dan tanpa ekspresi. "Ya sudah kalau begitu, Mama akan antar punya Ustaz dan Ustazah saja. Kalian selesaikan pembagian untuk anak-anak, ya!" ujar Nyonya Hera sambil mengusap bahuku dan kemudian berlalu dari hadapan kami sambil membawa kantong makanan kedua tangannya. Aku hanya mengangguk dan menurut. Kini hanya tinggal aku dan Si Tuan sadis di sini, di hadapan para anak-anak yang disebut anak panti tadi. Jadi, ini adalah sebuah Panti Asuhan, begitulah dugaanku. "Wulan, saya yang bagikan makanan, sedangkan kamu bagikan bingkisan ini!" Dia mulai memerintah dan aku lagi-lagi hanya mengangguk. Di sini posisinya, aku adalah pembantu sedangkan dia adalah Tuan. Okelah, setidaknya nominal hutang almarhum Bang Wawan sedikit berkurang dengan pekerjaan ini. "Terima kasih, Ibu," ucap seorang anak saat aku mengulurkan tas bingkisan itu. "Iya, sama-sama, Nak," jawabku sambil tersenyum ramah dan mengusap bahu mereka. Tanpa terasa, pekerjaan mudah ini sudah hampir selesai. Antrian anak-anak sudah tinggal sedikit lagi saja. Diantara anak-anak yang kubagikan kantong bingkisan tadi, ada yang langsung membukanya isinya tak jauh dariku. Aku berusaha memanjangkan leher karena penasaran akan isinya. Eh, isinya seperti buku diary dan di depannya terdapat sebuah foto. Kira-kira apa, ya, itu? Karena tak bisa menahan rasa penasaran akan isi tas bingkisan ini, aku mencoba mengintipnya dahulu saat hendak memberikannya pada anak yang berdiri di depanku. "Hey, buruan kasih!" tegur Si Tuan Garang sambil menyikutku. Astaga, sudah berani main sikut dia dan aku hanya bisa meliriknya jengkel. "Kerja yang benar!" omelnya lagi. "Baik, Tuan, maafkan saya." Aku menatapnya bengis dengan kata maaf yang tak tulus kuucapkan ini. Dia hanya melengos, dan kami melanjutkan pekerjaan masing-masing. *** Akhirnya selesai juga. Usai makan bersama, doa penutup pun sudah selesai dibacakan. Anak-anak yang memenuhi ruangan tadi berangsur pergi. "Terima kasih, Bu Hera. Anak-anak sangat senang sekali." Terdengar suara Ustazah yang berbicara dengan Nyonya Hera yang berbicara tak jauh dariku berada. "Sama-sama, Ustazah." "Semoga almarhum husnul khotimah." "Amin." Aku menyipitkan mata, berusaha mempertajam pendengaran tapi nada bicara Nyonya Hera dan Si Ustazah semakin tak terdengar saja. Setelah acara pamitan selesai, rombongan keluarga Nyonya Hera melangkah menuju mobil. Ternyata hari sudah hampir mau masuk waktunya magrib, sudah sore sekali. "Kalian naik motor, Restu?" Wanita yang dipanggil Tante Rani itu bersuara saat Si Tuan Rentenir mendekati motor gedenya. Nyonya Hera yang sedang merangkul Winka terlihat menahan senyum. Sedangkan Si Putra yang ia panggil Restu itu hanya melengos. Semua anggota keluarga masuk kembali ke dalam mobil, Winka juga sudah digandeng Si Nyonya. Mereka mempelakukan putriku dengan sangat baik, aku senang melihatnya. "Mau pulang jalan kaki?" Suara Pria Arrogant itu terdengar merusak telinga. "Nggak!" jawabku ketus sambil naik ke motornya. Sepeda motor mulai melaju, hati ini mendadak susah karena sebentar lagi masuk waktunya malam. Sedangkan aku dan Winka harus pulang ke rumah. Bagaimana ini? Bayangan bakal mabuk kendaraan mulai memenuhi kepala. Huhh ... Aku benci kendaraan mewah ala orang kaya itu. Aku tidak suka. "Sudah sampai!" Suara ketus itu kembali terdengar dan aku kembali tersadar ke alam nyata. "Iya, terima kasih." Aku segera turun dan melangkah cepat menuju rumah. "Selamat datang, Mbak Wulan. Dik Winka sudah ada di kamar." Yani menyambutku di depan pintu. "Bu Yani, udah mau malam loh ini, terus ... Saya dan Winka kapan diantar pulang?" Aku mendekat ke arahnya. "Hmm ... Bukannya Mbak Wulan dan Dik Winka akan tinggal di sini," jawabnya yang membuat mataku melotot sempurna mendengarnya. "Apa?! Jadi ... Saya bakalan dikontrak selamanya jadi pembantu di rumah ini untuk menebus hutang almarhum? Dan kami nggak dipulangkan lagi? Terus ... Makam suami saya gimana? Katanya ... Cuma bantu-bantu pas acara tadi saja?" Aku memegangi kepala dengan hati yang mendadak susah. Yani--Si Kepala Asisten Rumah Tangga terlihat kebingungan, ia menggaruk dahi. Mungkin dia bingung akan jawaban pertanyaan bertubi dariku. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD