SATU

1461 Words
SATU Salah satu hal yang paling memalukan, yang pernah dialami oleh Annastasya Abraham, di usianya yang sudah mencapai angka 24 tahun itu, adalah ketika Naufan Zidan Akbar, siswa kelas dua belas SMA Bhakti Bangsa, yang merupakan murid didiknya sendiri menyatakan cinta padanya, di tengah lapangan basket saat pesta perayaan ulang tahun sekolah yang jatuh pada hari ke sebelas bulan Juli. Di tengah-tengah sorakan murid didiknya, Anna yang kepalang malu hanya bisa menutupi wajahnya dengan setangkai bunga yang tadi anak didiknya tersebut beri. Anna sama sekali tidak percaya dengan kejadian yang menimpanya tersebut. Oh ayolah, meskipun Anna sendiri mengakui bahwa Naufan memiliki wajah yang tampan, tapi Anna sama sekali tidak tertarik, lebih tepatnya tidak memiliki harapan memiliki hubungan dengan laki-laki yang lebih muda dari pada dirinya atau yang biasa disebut brondong itu. Demi Tuhan, usia anak itu enam tahun di bawahnya, Naufan lebih cocok menjadi adiknya ketimbang menjadi pacar atau, lebih buruknya lagi kalau menjadi suami Anna kelak. Anna tidak habis pikir, apakah remaja tanggung yang masih setia berjongkok di hadapannya itu, tidak memiliki urat malu atau apalah itu namanya. Bisa-bisanya remaja ini menyatakan cinta pada Anna, yang notabene-nya adalah guru Naufan sendiri di hadapan kurang lebih seribu lima ratus pasang mata, yang berapa di antaranya bukan hanya murid SMA itu saja, melainkan guru-guru dan petugas Tata Usaha juga. Anna benar-benar malu. Ingin rasanya wanita itu menenggelamkan dirinya ke dalam rawa-rawa. Ia seperti tak lagi memiliki muka. Jika Rafa, kakak kandungnya, mengetahui hal ini, bisa-bisa saudara laki-lakinya itu akan mengejeknya habis-habisan. Anna tak bisa membayangkan itu. "Ayolah Bu, kau terima saja itu anak didik kau. Mukanya lumayan, kau masih menjomlo kan?" Suara Pak Gading, laki-laki berusia pertengahan empat puluh dengan logat Bataknya yang kental membuka suara. Membuat Anna diam-diam mendengkus lirih. Ditambah lagi kata 'menjomlo' yang laki-laki itu ucapkan sedikitnya membuat Anna tersinggung. Ia masih setia sendiri, bukan karena tidak ada yang mendekati, melainkan karena hatinya yang belum siap dengan hal-hal yang berbau cinta. Lagipula Adara itu bukan jomlo, melainkan single. Jomlo itu nasib, sementara single adalah pilihan. Lagipula dirinya cantik. Mana mungkin tidak ada yang mau bersanding dengannya? Anna tidak bercanda jika dirinya cantik. Wajah orientalnya membuat wanita itu terlihat seperti perempuan belasan tahun, potongan rambut bob serta poni tipis ala-ala Korea yang menutupi seluruh dahinya, serta cara berpakaiannya yang begitu kekinian membuat orang lain akan mengira bahwa Anna adalah salah satu siswa bukan guru di SMA itu. Belum lagi bentuk tubuh Anna yang berlekuk, semakin menambah daya pikat adik dari dokter kandungan terkenal bernama Rafael Abraham tersebut. Sehingga menjadi hal wajar bila banyak yang menyukai Anna, termasuk muridnya sendiri. "Maaf Naufan, bukankah sudah berkali-kali saya bilang, saya nggak mungkin menerima cinta kamu?" ucap Anna disertai seulas senyum. Terdengar desahan kecewa dari beberapa orang dan tentunya Naufan sendiri. "Bu, saya emang belum bekerja, sama sekali belum ada penghasilan, kerjaan saya hanya main-main. Belajar pun saya jarang, suka menghambur-hamburkan uang orang tua, langganan BP, langganan peringkat terakhir di kelas, tapi setelah kehadiran Ibu di sekolah ini, saya bisa berubah, saya bisa menjadi lebih baik, dari situ saya yakin bahwa Ibu memiliki keterikatan dengan saya. Dan saya yakin, Ibu adalah jodoh saya. Jadi, saya mohon terima pernyataan cinta saya," ujar pemuda itu terdengar begitu berani. Anna mendesah lirih, matanya menatap lekat pada remaja tampan di hadapannya tersebut, "Soal pernyataan cinta kamu, saya memang menerimanya." Mata Naufan berbinar mendengar guru tercintanya itu, menyatakan perasaan terhadapnya. Secepat senyum terbit di wajahnya, secepat itu pula senyum luntur dari wajah laki-laki itu ketika mendengar ucapan Anna berikutnya. "Namun, untuk menjadi pacar kamu, saya rasa itu tidak mungkin. Cinta tidak bisa dipaksakan Fan, takutnya kamu malah akan terluka." "Apa nggak ada harapan buat saya? Saya benar-benat berharap dengan cinta Ibu," kata Naufan memelas. Seluruh orang yang menonton kejadian itu, pun bisa ikut merasakan apa yang Naufan rasakan. Wajah remaja itu begitu menunjukkan keputus-asaannya. "Mungkin, jika kamu bisa mematahkan prinsip dan juga mampu membuka pintu hati saya," jawab Anna apatis. Tanpa banyak berkata, lantaran sudah terlampau malu, akhirnya wanita itu pun segera menjalankan kakinya menjauhi lapangan. Naufan masih terdiam di tempatnya, remaja tampan tersebut tampaknya masih berusaha mencerna ucapan sang guru. "Hah, gue dikasih kesempatan ini ceritanya?" Gumam Naufan yang tak mampu menyembunyikan rasa senangnya. ●●● Anna melihat jam yang melingkar di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Sudah sekitar satu jam ia menunggu datangnya bus berwarna biru yang beberapa bulan belakangan ini selalu setia mengantar jemputnya ketika ia akan menuntaskan tugasnya sebagai guru di SMA Bhakti Bangsa. Semenjak Anna menyelesaikan study-nya di salah satu universitas terkenal yang ada di New York sana dengan mendapat gelar c*m Laude di jurusan ilmu Ekonomi, setibanya di Indonesia Anna memutuskan menjadi tenaga pengajar. Sebelum menjadi guru di SMA Bhakti Bangsa, Anna sempat mengajar di salah satu sekolah negeri, dan enam bulan yang lalu ia dipindahkan ke SMA tersebut. Anna mendesah, bus yang akan ditumpanginya tak kunjung datang. Dan Anna tidak suka menunggu terlalu lama. Anna paling benci dengan yang namanya menunggu. Sebenarnya Anna bisa saja membawa mobil sendiri, namun wanita itu tidak mau bersusah payah menyetir dan pada akhirnya membuat sekujur tubuhnya terasa pegal. Lagipula, dengan tidak membawa mobil sendiri ia bisa mengurangi polusi udara Ibu Kota yang sudah berada di tahap yang mengkhawatirkan ini. Satu lagi, dia bisa menghindari macet. Anna ini tipikal orang penganut paham praktis. Jika ada yang lebih mudah kenapa harus bersusah payah? Anna mendengkus lirih ketika sebuah mobil dengan merek terkenal yang tentunya berharga selangit berhenti di depannya. Tidak lama pemilik mobil itu keluar menampakkan rupanya yang kata orang setampan Dewa Yunani, namun kalau kata Anna sangat biasa. Anna juga tipikal orang yang sering menggunakan kata 'biasa aja'. "Ibu belum pulang?" Tanyanya retoris. Pertanyaan retoris adalah pertanyaan yang sangat Anna benci. Sudah tahu belum pulang, masih saja bertanya. Matanya itu dibuat lihat apa, coba? Anna menggerutu dalam hati. "Menurut kamu?" Ketus Anna. Anna terlalu lelah untuk beramah-tamah. Kejenuhannya membuat Anna yang sudah malas bertambah malas. "Bareng saya aja Bu, lagipula tempat yang akan kita tuju searah." "Saya nggak minat." "Ayolah Bu, jam segini bus emang jarang lewat. Biasanya masih satu atau dua jam lagi baru ada." Lantaran ujian semester satu baru berakhir, sekolah yang biasanya menggunakan sistem full day, hari itu memulangkan murid dan pegawainya lebih awal. Jadilah Anna pulang di luar jadwal biasanya, dan rupanya guru cantik itu lupa bahwa hari itu ia pulang lebih awal. Setelah dipikir-pikir, tawaran Naufan boleh juga. Ia bisa menghemat uangnya. "Ya sudah, ayo." Anna lantas berdiri dari duduknya. Naufan tersenyum puas, pemuda itu bergegas membuka pintu mobilnya untuk Anna. Wanita itu pun segera masuk, namun alangkah terkejutnya wanita itu ketika mendapati tiga anak berbaju sama namun berbeda warna tengah memandanginya dengan mata bulat mereka yang berbinar. "Eh iya, Bu, kita antar keponakan-keponakan saya ke bapaknya dulu ya? Keponakan saya lucu-lucu kok." Naufan tersenyum penuh minta maaf, ketika melihat Anna yang tak mengalihkan tatapannya pada ketiga keponakannya itu. Naufan lupa jika saat itu ia harus mengantar tiga keponakannya balik pada ayah mereka. "Wah, cantiknya, kayak boneka ya Bang, Dek," kata salah satu anak dengan rambut lurus sedikit bergelombang dengan mata yang menatap Anna dengan intens, membuat yang ditatap salah tingkah. Dua anak lainnya mengangguk, sama-sama menatap Anna dengan mata berbinar. Naufan yang melihat itu takjub dengan respon para keponakannya, tidak biasanya para keponakannya "Halo Tante. Namaku Baim, tante cantik banget, sih?" ucap si Anak rambut bergelombang yang berbeda dengan dua lainnya yang berambut lurus. Gaya rambut anak itu sedikit mengingatkannya pada seseorang. "Tante, aku Adam." Yang namanya Adam, si anak berambut lurus itu tersenyum tipis ke arahnya. Anna masih diam lantaran bingung harus dengan apa ia merespon. Berbanding terbalik dengan murid didiknya yang memandang geli. "Tante Cantik, aku Yusup." Satu lagi, si kecil rupawan berambut lurus berponi itu tampak malu-malu mengulurkan tangannya pada Anna. "Yang bener Yusuf Tan, bukan Yusup," ucap Adam langsung menyela. Entah mengapa, Anna merasa hatinya menghangat. Rupa mereka membuat Anna teringat pada sesuatu. Mungkin mereka sudah sebesar ini. Kenapa aku merasa nggak asing sama wajah mereka, ya? Batin Anna. Anna tersenyum lantas menyalami satu persatu tangan mungil tiga anak yang duduk di bangku belakang itu. "Tante cantik, mau nggak jadi Mama balu kita?" Anna sedikit membulatkan matanya mendengar Baim berbicara. "Iya tante. Kita udah lama nggak ada Mama. Temen-temen di sekolah suka pamel apa-apa tentang Ibunya." Yusuf ikut bersuara. "Tante mau ya?" Giliran Adam yang bersuara. "Bentar boys, kalian nggak bisa seenaknya gitu. Tante cantik satu ini bukan calon Mama kalian, tapi calon Mama untuk anak-anak Om." Ketiga anak itu mencebikkan bibirnya mendengar ucapan Naufan. "Belum nikah kan? Janur kuning belum melengkung kan? Kesempatan buat kita masih banyak Om. Lagian ya, kalau janurnya udah melengkung, kita bakal lurusin pake catokan super," kata Adam yang berbicara paling fasih di antara tiga anak itu dengan ketus. Anna tertawa. Lagi-lagi ada perasaan asing yang merambat di hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD