DUA

1054 Words
"Kamu ngidam apa hari ini?" Tanya laki-laki itu dengan senyum manis yang terpatri pada wajahnya. Anna tertegun, wanita itu mengerjap lantas menggeleng lemah. "Aku nggak lagi pengen apa-apa," jawab Anna tersenyum tipis, sedikit enggan menatap laki-laki tersebut. "Kamu jangan sungkan, biar bagaimana pun bayi yang kamu kandung itu anakku. Aku ayahnya." Laki-laki itu mengelus perut Anna dengan gerakan halus, entah mengapa hati Anna bergetar. Usia kandungannya saat itu sudah mencapai usia lima bulan. Selama lima bulan itu Anna sembunyi-sembunyi dari keluarganya. Ketika mereka melakukam video call pun, Anna hanya memperlihatkan wajahnya. Sedikit bingung ketika orang tua atau saudaranya bertanya mengapa ia terlihat lebih gemukan. Ia hanya akan menjawab karena belakangan ini dia jadi suka makan, terlebih lagi makanan yang manis. Beruntungnya, orang tua dan juga saudaranya tak berniat berkunjung ke negeri tempatnya mengenyam pendidikan tingkat tinggi. "Benarkah? Apa kamu nggak bakal marah kalau aku mengatakan apa yang aku mau?" Tanya Anna terdengar hati-hati. Biar pun ia membenci laki-laki di hadapanya ini, tapi ia masih memiliki perasaan untuk menjaga hati laki-laki itu. "Tentu saja. Demi anak itu, anak kita." Laki-laki itu tersenyum saat menjawabnya. Senyum yang terlihat begitu tulus dan semakin membuat hati Anna berdebar tidak karuan. Laki-laki itu memang memperlakukannya dengan sangat lembut, dengan penuh perhatian, dan sangat baik. Anna merasa seperti baru mengikuti lari marathon. Ia terus bertanya-tanya ada apa dengan hatinya. Apa rasa yang tengah ia rasakan kini? Apa gerangan yang membuat jantungnya berdetak cepat. Anna tidak menyangka laki-laki yang dikirinya b******k itu berhati malaikat. Barangkali benar jika kejadian beberapa bulan yang lalu murni karena ketidak-sengajaan, hanya sebuah kecelakaan yang memang harus ia maklumi. Tapi, tetap saja hal seperti itu merupakan hal yang sulit. "Ehm, aku ingin nasi uduk dengan lauk tempe dan tahu goreng. Bolehkah?" Tanya Anna takut-takut. Laki-laki itu terkekeh. Mencari semua itu tidak sulit untuknya, ia bisa dengan mudah mencari nasi uduk serta tempe dan tahu. Sudah banyak kios-kios kecil yang menjual makanan khas Indonesia di Negeri Paman Sam tersebut. Ya meski harganya tidak akan semurah di Indonesia, mungkin lima kali lipat lebih mahal dari pada harga di Indonesia. Tapi semua itu bukan masalah, yang terpenting keinginan ibu dari anaknya bisa terpenuhi. "Baiklah. Aku carikan dulu, kamu santai-santai aja di sini, jangan banyak beraktivitas," ucap laki-laki lantas memberikan kecupannya pada perut buncit Anna. Ngomong-ngomong soal buncit, Anna sedikit heran mengapa di usia kandungannya yang masih menginjak bulan ke lima, sudah sebesar kandungan wanita yang usia kehamilannya mencapai tujuh bulan. *** Anna mengerjap, entah mengapa ingatan masa lalunya tiba-tiba saja terbayang di kepalanya setelah melihat rupa tiga anak yang tengah meributkan entah apa itu. Wajah mereka mengingatkan Anna pada seseorang, dan semua itu membuat emosi Anna mendadak tak terkendali. Air matanya meleleh tanpa sebab. "Enak aja, kalau kalau Tante Anna jadi Mama kita, tidulnya pasti sama Baim." "Sama Yusup dong." "Eh diam. Tante Anna nangis," ucap Adam setengah memekik, membuat perhatian seisi mobil langsung teralih pada Anna. Mobil milik Naufan itu memang belum dijalankan, masih diam di tempat tadi, dan posisi Anna pun masih menghadap ke arah tiga anak tersebut. "Bu, Ibu kenapa?" Tanya Naufan panik, tiga anak kembar itu menatap penuh tanya, terlihat bingung sekaligus penasaran pada Anna. "Tante kenapa?" Adam bertanya. "Nggak dikasih pelmen?" Baim tak mau kalah. "Padahal kalau kita-kita ngambil pelmen temen-temen, temen-temen kita aja nggak nangis loh Tan." Yusuf menyahut dengan polosnya. Anna terkekeh seraya mengusap sudut matanya. "Nggak kok, Tante nangis karena ngerasa kangen sama ponakan Tante. Ponakan tante juga seumaran loh sama kalian, lebih muda dikit sih. Kalian ganteng-ganteng ya? Ayah sama Bunda kalian pasti ganteng dan cantik ya?" "Kalau Ayah emang ganteng Tan, tapi Bunda kita nggak tahu, soalnya belum pelnah liat Bunda," kata Baim dengan tawa lugunya. Anna mendengar itu merasa miris. "Saya kira Ibu kenapa, syukur kalau nggak kenapa-napa." Naufan menghela napasnya. "Saya nggak pa-pa kok, jangan khawatir." Anna melempar seulas senyumnya. *** "Bu, sebentar ya? Saya mau antar tiga curut ini ke bapaknya." Naufan berkata seraya melepas sabuk pengamannya. Mereka sudah sampai di kantor tempat Ayah si Kembar bekerja. Dan saat ini mereka masih berada di parkiran. Anna hanya mengangguk kecil, matanya menatap ke arah gedung pencakar langit yang sepertinya milik ayah tiga anak kembar yang duduk di belakangnya itu. Anna ikut melepas sabuk pengamannya, berniat ikut turun. Tak sampai tiga puluh detik mereka semua sudah turun dari mobil milik anak didik Anna itu. "Tante Cantik, sampai ketemu lagi. Jangan ngelupain Baim, Yusup, sama Bang Adam ya?" Baim menarik tangan Anna supaya wanita itu menyejajarkan tubuh dengannya. Anna mencium gemas pipi Baim, dan hal itu sukses membuat Adam dan Yusuf merasa iri. "Tante, Tante, cium Yusup," Yusuf mendorong tubuh Baim dari hadapan Anna, membuat anak laki-laki berambut bergelombang itu mengaduh. Anna berdecak seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Diciumnya dengan lembut pipi gembul Yusup, belum juga pipi satunya Anna kecup, Adam lebih dulu mendorong tubuh adiknya. Mata Yusuf berkaca-kaca, sudah seperti ingin menangis. Di antara tiga anak itu, Yusuf memang yang paling cengeng, merasa sakit sedikit pasti menangis. "Sakerang cium Adam." Adam menunjuk pipinya. "Jangan Tante, Bang Adam nakal, udah bikin Yusup jatuh!" Yusup dengan suara seraknya berteriak melarang Anna. Anna menggeleng disertai senyuman tipis, "Gini ya anak-anak, kalian nggak boleh dorong-dorongan, kalian itu saudara dan saudara nggak boleh saling menyakiti. Kalian nggak perlu takut nggak kebagian, kalian pasti sama-sama kebagian. Kalau satunya dapat, yang lain harus dapat. Yusuf tadi juga dorong Bang Baim kan? Yusuf, Adam, lain kali nggak boleh kasar sama orang lain. Nanti kalau kalian kasar gitu, kalian nggak bakal dapat teman. Kalian nggak mau kan, nggak punya teman?" Tiga anak itu menggeleng. "Nah, kalian harus saling menyayangi ya?" Tiga anak itu kompak mengangguk. "Adam, mendekat ke Tante." Adam menghela satu langkah mendekat ke arah Anna. Anna menatap anak itu dengan senyum di bibirnya. Kemudian, diciumnya dengan lembut pipi anak itu, mata Adam berbinar siang. "Udah kebagian cium semua kan?" "Belum, saya belum dicium." Naufan langsung mendudukkan dirinya di depan Anna, lebih tepatnya di samping Adam. Mata pemuda itu terpejam, sementara tangan laki-laki itu menunjuk ke arah pipinya. Awalnya Naufan merasa senang mendapati sebuah bibir mendarat di pipinya. Namun rasa senang itu buyar ketika ia mendapati bibir lain yang mengecup pipinya. Dan benar saja, yang menciumnya bukan Anna, malainkan keponakannya yang super nakal itu. Anna tergelak, pemandangan di depannya terasa lucu sekaligus membuat hatinya menghangat. Lagi-lagi Anna bertanya, mengapa ia merasa aneh. TBC Maaf untuk typonya. Dilanjut nggak nih?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD