1-Seseorang Dari Masa Lalu

1676 Words
Sinar matahari masuk menembus gorden tipis berwarna putih. Seorang wanita yang terlelap bergerak di ranjang, lengannya terangkat menutupi mata menghalau sedikit sinar matahari yang mengenai wajahnya itu. Dia hendak terlelap, saat kepingan-kepingan kejadian semalam berputar. Saat Verza datang dan meminta bantuannya, saat dia mengusir teman kencan Verza dan saat Verza mengendongnya ke kamar lalu dia terlelap. Rensha membuka mata, menoleh ke kanan dan mendapati sisi ranjang sebelahnya kosong. Wanita itu mendongak, menatap jam dinding berwarna putih yang menggantung di atas tv, pukul tujuh. Waktu yang cukup pagi, setidaknya itu menurutnya. Setelah beberapa menit hanya berbaring, dia beranjak turun dari ranjang dan bergegas menuju dapur. Dia seolah sudah hafal rutinitas Verza saat pagi hari, membuat kopi jam enam pagi lalu pukul delapan kembali tidur. “Udah bangun?” Suara serak itu menyambut Rensha saat baru dua langkah masuk ke dapur. Dia mengucek mata lalu duduk di samping Verza, menatap dua cangkir berwarna putih polos di depannya. Melihat wanita di sampingnya yang masih mengantuk itu, membuat Verza gemas sendiri. Dia mendekat, mencium bibir Rensha singkat lalu mengerling jail. “Belum sikat gigi.” Rensha memutar bola matanya. “Ya kali ada sikat gigi gue di apartemen lo.” Verza mengacak rambut Rensha gemas. Dia lantas ingat dengan minuman yang telah dia buat. “Nih, s**u vanilla dengan sedikit madu.” Tangan kanan Rensha terulur, mengambil s**u buatan Verza. Lalu dia membawanya ke dalam dua genggaman lantas berdiri. Tindakan itu membuat Verza mengernyit bingung. “Mau ke mana?” “Balik!” jawab Rensha tanpa menoleh. Verza mengekor lalu berjalan lebih dulu ke arah pintu menghalangi langkah Rensha. Kedua mata kecokelatannya mengamati wajah lesu di depannya itu, mata Rensha tampak berkantung dan memerah. “Masih kurang tidur?” tanyanya retoris. Rensha mengurut pelipis. Dia bukan tipe orang yang gampang tidur, untuk memulai tidur saja dia perlu waktu satu jam atau lebih. “Udah deh minggir, gue pusing. Apalagi semalem kena jambak teman kencan lo.” Diam-diam Verza tersenyum, ingat bagaimana beringasnya Rensha saat mengusir Yola yang tak kalah beringas. Verza menunduk memiringkan wajah, mencium pelipis Rensha lembut dan lama. “Semoga pusing lo cepet ilang.” “Ciuman lo nggak bikin pusing gue ilang.” “Oh, ya? Mau lebih?” Rensha mendorong kening Verza, membuat pria itu terkekeh karena berhasil menggoda sahabatnya itu. “Udah, deh, minggir gue mau balik.” Verza bergeser dan membuka pintu untuk Rensha. Tanpa menunggu waktu lama, wanita itu keluar dari apartemen. Saat di luar Rensha tersenyum, dia masih merasakan hangatnya bibir Verza mengenai bibir dan pelipisnya. “Ugh! Memalukan!” gerutunya atas respons tubuhnya yang berlebihan. Sesampainya di apartemen, Rensha duduk di ruang tamu. Dia menatap secangkir s**u vanilla yang masih dia pegang. Rensha tersenyum lalu menyeruput minuman itu pelan. Sebenarnya rasanya tidak ada yang spesial hanya saja minuman itu spesial karena buatan Verza. Brak! Suara pintu yang dibuka kencang membuat kegiatan Rensha terganggu. Dia mendongak, melihat Verza berdiri dengan rahang mengeras itu. Seolah merasa ada sesuatu, Rensha berdiri meletakkan cangkir ke atas meja lantas berdiri di depan pria itu. “Kenapa?” tanyanya sambil mengusap rahang Verza. Mata kecokelatan Verza berkilat lalu menarik Rensha ke dalam pelukan. Informasi yang baru dia dapat membuat mood-nya berubah cepat. “Nanti lo harus temenin gue,” bisiknya tajam. Kedua tangan Rensha mengusap punggung lebar Verza naik turun. Perlahan dia melepas pelukannya dan menatap pria tampan di depannya itu. “Temenin ke mana?” “Ke kelab,” jawab Verza cepat. Dia lalu mengalihkan pandang ke arah lain. “Gue dapet undangan. Wanita itu juga.” Sekarang raut Rensha berubah. Dia seolah membayangkan apa yang pernah terjadi setahun lalu. Saat Verza bertemu wanita di masa lalu, bahkan Rensha juga. Rensha bergidik tidak ingin melihat Verza yang kembali kacau. Rensha menangkup pipi Verza dengan kedua tangan lalu menarik pria itu agar menatapnya. Dapat dilihat ada amarah yang masih menguasai Verza. Rensha mendekat, mencium kening Verza menenangkan, seperti yang sering pria itu lakukan kepadanya. “Gue bakal bantuin lo,” jawabnya mantap. Mendengar hal itu Verza lega. Dia mendekatkan wajah lalu mencium Rensha lembut. Verza tidak tahu apa jadinya kalau tidak ada Rensha. Mungkin dia akan terlihat bodoh dan mengenaskan di depan wanita masa lalunya. Verza lalu memejamkan mata. Kedua tangannya mengeratkan pelukan di pinggang Rensha. Tak lama pria itu melepas pelukannya. “Makasih. Lo selalu ada buat gue.” Rensha mengangguk singkat. Dia memeluk Verza cepat menyembunyikan air mata yang hendak turun itu. Berada di samping Verza memang selalu membuat Rensha sakit hati. Namun, dia lebih sakit kalau melihat pria itu sendirian. Gue selalu ada buat lo. Sampai lo yang minta sendiri gue harus ngejauh dari lo, Ver.   ***   “Sesak!!” “Udah, deh, diem aja!!” Kepala Rensha bergerak hendak menjauh dari dekapan Verza. Namun, pria itu selalu menarik kepalanya mendekat. Rensha mendongak melihat bibir Verza yang tersumpal rokok itu. “Lo tahu gue nggak suka asap rokok,” jawab Rensha sambil menutup hidung. Verza mengangguk tahu sahabatnya itu memang tidak suka asap rokok. Dia menunduk, sengaja mengeluarkan asap tepat di depan wajah Rensha membuat wanita itu seketika terbatuk. “Lo mau bikin gue mati?” tanya Rensha sambil memukul punggung Verza. “Asap rokok nggak langsung bikin lo mati, Sayang,” bisik Verza menggoda. “Kalaupun lo mati, gue pasti ikut.” “Kenapa gitu?” tanya Rensha ingin tahu. Dia menyandarkan kepala di d**a Verza. Tatapannya tertuju ke lantai dansa yang semakin penuh sesak itu. Verza mematikan batang rokok yang telah pendek. Kedua tangannya berganti memeluk Rensha erat. Pria itu lalu menyandarkan kepala di atas kepala Rensha. “Kalau lo mati gue nggak punya sahabat sebaik lo. Jadi mending gue mati juga.” Ada sebagian rasa senang, ada sebagian rasa kecewa. Andai kata sahabat tidak keluar dari mulut Verza, pasti Rensha akan merasa bahagia. Ah, tapi terlalu dini untuk membahas bahagia disaat pria yang dia cintai tidak pernah tahu perasaannya. “Ehm!!” Dehaman kencang itu membuat tubuh Verza dan Rensha menegang. Mereka saling tatap sejenak, lalu menoleh ke sumber suara. Di hadapan mereka berdiri wanita dengan rambut berwarna merah menatap keduanya bergantian. “Oh hai, Tirta!!” sapa Rensha. “Hi,” sapa Verza tanpa menatap lawan bicaranya. Dia mengeratkan pelukan lalu mencium puncak kepala Rensha berkali-kali. Tirta tersenyum miring, melihat dua orang di depannya yang seperti enggan berjauhan satu sama lain itu. Dia mendekat ke Rensha lalu berkata. “Bisa gue bicara berdua sama lo?” Rensha dan Verza menatap Tirta kaget. Verza yang lebih dulu menguasai diri langsung menggeleng tegas. “Lo nggak lihat gue pengen berduaan sama Rensha?” jawabnya tak suka. “Sebentar. Lima menit. Bahas masalah wanita.” Jawaban Tirta membuat Rensha penasaran. Wanita berambut panjang itu mengangkat wajah menatap Verza sedangkan yang ditatap menggeleng tegas. Rensha lalu mendekatkan bibir ke telinga Verza. “Bentar, ya. Gue penasaran dia mau ngomong apa.” “No!!” balas Verza tegas. Tirta menghela napas sambil menatap Verza dengan raut sendu. Andalannya dulu saat meruntuhkan kekeraskepalaan Verza. “Cuma bentar. Lima menit. Setelah itu kalian boleh mesra-mesraan lagi.” Verza menatap Rensha butuh diyakikan. Setelah beberapa detik Verza mengangguk. Dia melepas pelukannya dan menatap Tirta. “Jangan lama-lama.” “Oke!” jawab Tirta. “Ayo, Sha!!” ajaknya ke Rensha. Rensha mengusap pipi Verza sekilas. Wanita bergaun biru itu melangkah mengikuti tubuh semampai di depannya itu. Tirta berbalik, setelah sampai di toilet. Dia menatap Rensha yang malam ini cukup sexy dengan mini dress berwarna biru itu. Di bagian bahu, dibiarkan terkespose memperlihatkan bahu Rensha yang mulus dan indah. “Gue minta lo ke sini, mau ngomong satu hal,” ucap Tirta membuka percakapan. “Gue mau lo jauhin Verza.” Bola mata Rensha membulat. Dia menatap Tirta sambil menggeleng tegas. “Lo udah buang dia. Terus kenapa lo mau ambil dia lagi?” tanyanya tajam. “Karena gue masih cinta sama Verza. Dan Verza juga.” “Lo terlalu percaya diri.” Sudut bibir Tirta tertarik ke atas. Dia maju selangkah dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. “Gue butuh waktu dua tahun buat dapetin Verza. Dia tipe pria yang nggak gampang jatuh cinta,” ucap Tirta. “Jadi selama tiga tahun gue tinggal, gue rasa hati dia masih buat gue.” Rensha mengalihkan pandang, baginya Tirta terlalu percaya diri. Andai Tirta tahu kalau Verza telah membenci mati-matian. “Lo terlalu percaya diri.” “Ya emang. Daripada lo suka sama Verza tapi dia nggak peka sama sekali.” Tubuh Rensha seketika menegang. Dia menatap Trita yang tersenyum puas itu. Rensha tidak percaya mantan teman sekantornya itu tahu kalau dia punya perasaan lebih ke Verza. Rensha membuka mulut hendak menyela, tapi Tirta lebih dulu bersuara. “Mending lo mundur. Daripada usaha tapi hasilnya percuma.” Setelah mengucapkan itu Tirta berjalan keluar. Baru tiga langkah dia berbalik. “Verza masih cinta sama gue!” ucapnya dengan senyum penuh kemenangan. Air mata seketika Rensha turun. Bahunya bergetar. Kenapa dia harus mengalami ini? Mencintai sahabat sendiri dan harus bersaing dengan mantan temannya di kantor. Jika hati buatan manusia, mungkin sudah sejak lima tahun yang lalu hatinya patah tidak berbentuk. Lima tahun lalu, saat Tirta mengatakan mencintai Verza. Lalu Verza mengatakan jika tertarik dengan Tirta. “Huh!!” Rensha menghapus sudut matanya. Dia lalu berbalik, tak ingin terlalu lama berdiam diri di toilet dan membuat Verza curiga. Wanita itu mencoba tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa seperti sebelum-sebelumnya. Rensha kembali ke tempatnya dan Verza. Saat sampai dia tidak menemukan pria itu menunggunya. Panik, Rensha menoleh ke kanan dan kiri. Dia berjalan ke arah lantai dansa, tahu jika sahabatnya sering ikut berjoget saat di kelab. Tapi Rensha todak menemukan pria dengan kemeja kotak-kotak itu. Wanita itu berbalik lalu melangkah ke sudut ruangan. Langkahnya seketika terhenti saat melihat Verza sedang mencium Tirta. Hati Rensha seolah diremas, apa yang dikatakan Tirta sepertinya benar. Verza masih mencintai Tirta. Mata Rensha terasa panas. Dia buru-buru berjalan keluar kelab, tidak ingin sahabatnya itu tahu kalau dia menangis juga tidak ingin sahabatnya tahu perasaan yang selama ini dia pendam. Harusnya memang Rensha sadar sampai kapanpun, dia tidak akan memiliki Verza. Hanya sebatas sahabat, seperti yang sering pria itu ucapkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD