2-Sembunyi

1620 Words
Pukul sepuluh pagi, Rensha baru datang ke kantor. Dia lalu berjalan lesu ke kubikelnya. Rensha meletakkan tas pink berisi Macbook ke atas meja. Dia duduk lantas dan menelungkupkan kepala di atas meja. Semalam dia tidak bisa tidur. Bagaimana mau tidur, ada hal yang mengganggu pikirannya sejak pertemuannya dengan Tirta. Semalam, setelah melihat Verza berciuman dengan Tirta, Rensha langsung pulang ke rumah, bukan ke apartemennya. Wanita itu sengaja menghindar. Dia tahu kalau Verza pasti mencarinya ke apartemen dan pasti menanyakan kenapa pulang dulu. Oke ini mungkin besar kepala, tapi Rensha sudah hafal sifat sahabatnya itu. “Ugh!!” Rensha melenguh. Dia menangkat wajah dan tersentak melihat Ika—editor di tempatnya berkerja tengah menatapnya. “Kenapa?” tanya Ika to the point khas wanita itu. Rensha menggeleng lalu mulai mengeluarkan Macbook-nya. Satu tangannya meletakkan tas pink favoritnya di bawah meja. “Cover-nya udah kelar, Mbak,” ucapnya ingat dengan proyek yang dia kerjakan. Varensha Adimanda adalah desainer grafis di sebuah penerbitan terkenal. Dia bekerja sejak lulus SMA, lalu dia sambi dengan kuliah. Atas kerja kerasnya, dia menjadi desainer grafis terbaik di penerbitan tempat dia bekerja. “Kirim ke aku ya,” kata Ika sambil menatap Rensha yang mulai sibuk menatap laptop itu. “Kirim ke Mora juga nggak?” “Biar aku saja.” Rensha mengangguk, terkadang dirinya yang membantu Ika mengirim desain cover ke salah satu penulis. Saat ini dia sedang menggarap tulisan Mora, gadis periang yang beberapa kali dia temui. “Kurang tidur, Ren?” tanya Ika menatap mata memerah Rensha itu. Diberi pertanyaan seperti itu, Rensha menghela napas. Mau tidak mau dia ingat apa yang membuatnya tidak bisa tidur. “Ya gitulah, Mbak.” “Soal Verza?” Rensha tersenyum kecut. Sudah bukan rahasia lagi kalau orang di kantor tahu kedekatannya dengan pria itu. Itu semua disebabkan karena Verza sering ke tempat Rensha bekerja. “Mau sampai kapan kalian kayak gini terus? Teman seusia kalian udah pada nikah. Bahkan udah pada punya anak,” ingat Ika akan usia Rensha yang sudah menginjak 27 tahun, dan Verza yang sudah menginjak 28 tahun. “Kalau belum ketemu jodoh kan juga bisa apa, Mbak,” ucap Rensha pasrah. Ika mengangguk menyetujui. Dia mendekat dan mengusap pundak Rensha. “Semangat, ya.” Rensha hanya diam menatap fotonya dan Verza saat tahun baru kemarin. Dia menumpuk kedua tangan yang terkepal, lalu menumpukan dagunya. Mata cokelat pekatmya mengamati wajah Verza yang minim penerangan, tapi tetap terlihat tampan itu. Drt!! Getar ponsel yang mengenai kayu terdengar cukup nyaring. Rensha menunduk, ingat dengan ponselnya yang masih di dalam tas. Dia mengangkat tas, mengambil ponsel dan melihat panggilan yang sejak semalam berkunjung ke ponselnya itu. Rensha meletakkan Iphone X-nya ke atas meja. Dia hanya menatap benda persegi panjang itu tanpa berniat menjawab. Selang beberapa detik, benda itu berhenti bergetar. Namun, getaran singkat itu membuatnya kembali terganggu. 1 messages. Ibu jari Rensha menggeser layar seketika bola matanya membulat. Dia beranjak dari kursi dan buru-buru ke lobi. Bibir Rensha bergerak memaki sebisanya atas tingkah Verza yang selalu datang ke kantornya tanpa memberi tahu dulu. Tak sampai lima menit, Rensha sampai di lobi. Dia menoleh ke meja resepsionis dan melihat Verza tengah menggoda resepsionis itu. Rensha berjalan mendekat, lalu menepuk pundak pria itu. “Ngapain?” Verza menoleh lalu tersenyum melihat wajah sebal Rensha itu. Verza mendekat, mencium bibir Rensha seperti biasanya. “Nyari lo lah,” jawabnya setelah menyudahi kecupannya. Wajah Rensha memerah, perpaduan antara marah dan malu. Rensha berbalik, berjalan ke sofa, dan duduk di sana. Di belakangnya, Verza mengikuti lalu duduk di samping Rensha. “Semalem ke mana? Kok tiba-tiba aja pulang?” Rensha tidak kaget mendengar pertanyaan itu. Dia menarik napas panjang. Gue nggak bakal pulang kalau nggak liat lo sama Tirta ciuman! “Nanti aja, deh, dibahas. Gue lagi banyak kerjaan,” ucap Rensha sambil berdiri. Melihat wanita di sampingnya itu berdiri, Verza tidak tinggal diam. Dia mencekal pergelangan tangan Rensha lalu ibu jarinya mengusap punggung tangan itu menenangkan. “Marah, ya, gue nyamperin lo ke sini?” Verza tahu sahabatnya itu tida suka disamperi saat jam kerja. “Tapi gue khawatir ke lo. Gue nggak mau lo kenapa-napa,” lanjutnya. “Gue baik-baik aja kok,” jawab Rensha sambil menarik tangannya. Verza menghela napas berat. Dia berdiri dan menarik pundak Rensha, agar wanita itu menghadapnya. “Nanti malem gue tunggu, ya. Gue mau curhat.” “Gue sibuk!” jawab Rensha cepat. Wanita itu merasa Verza akan curhat tentang Tirta. Demi Tuhan, telinga Rensha panas jika harus mendengar Verza menceritakan wanita lain, apalagi wanita yang mungkin masih dicintai pria itu. “Gue bakal nunggu sampai lo nggak sibuk,” jawab Verza tak menyerah. Verza lalu menarik Rensha ke dalam pelukan. Pria itu mencium kening Rensha, setelah itu melepas pelukannya. “Semangat bekerja, Piggy!!” ucapnya setelah itu berjalan keluar lobi. Rensha masih di posisinya dan merutuki hatinya. Kenapa hatinya bahagia karena Verza mengkhawatirkannya? Rensha membuang napas. Dia selalu menjadi wanita bodoh jika berhadapan dengan Verza.   ***   Suara kunyahan keripik singkong terdengar cukup nyaring. Sejak sepuluh menit lalu tidak ada suara hanya suara kunyahan Verza barusan yang terdengar. Dia melihat jam Rolex di pergelangan tangan, pukul sebelas malam. “Ck!” Verza berdecak. Dia hampir dua jam menunggu Rensha, tapi wanita itu tidak kunjung datang. Jika tahu akan menunggu selama ini, Verza lebih memilih ke kelab dulu. Baru akan mendatangi Rensha seperti sebelumnya. Ceklek! Saat sedang dipikirkan, Rensha datang, membuat Verza berdiri dan menatap wanita itu menyelidik. “Dari mana? Gue udah nunggu lo dari tadi!” Rensha memijit leher yang terasa kaku itu. Dia berjalan masuk, tanpa menghiraukan kehadiran Verza. Rensha memang sengaja pulang larut. Dia tadi berlama-lama di restoran, karena enggan bertemu dengan Verza. “Ren. Lo kenapa, sih? Nggak biasanya lo kayak gini!” Verza mengikuti sahabatnya itu ke kamar. Dia melihat wanita itu berbaring di ranjang. Dia mendekat dan duduk di samping Rensha. “Oke gue tahu lo capek. Tapi gue pengen curhat!” Tidak ada respons, tapi Rensha mendengar suara Verza. Rensha memejamkan mata, menyiapkan mental mendengar pria itu menceritakan soal Tirta. “Semalem setelah lo ngomong sama Tirta lo ke mana? Gue cari lo ke mana-mana!” Sontak Rensha menoleh. Dia bergerak, mengubah posisi menjadi duduk bersandar di kepala ranjang. “Lo nyari gue? Padahal setahu gue kalian lagi ciuman.” Verza menunduk ingat saat Tirta menciumnya. Dia yang saat itu sedang mabuk seolah kehilangan akal dan membalas ciuman itu. “Cuma ciuman. Nggak lebih,” jawabnya. “Oh, ya? Gue ngelihatnya lo lagi nikmatin itu. Makanya gue milih sama yang lain. Soalnya lo udah sama Tirta.” “Maksud lo sama yang lain?” tanya Verza dengan pandangan menyelidik. Rensha mengangkat bahu, sengaja menjawab seperti itu. Tidak mungkin juga dia menjawab “gue semalem patah hati ngeliat lo ciuman sama Tirta”. “Terus lo tadi nggak pulang, nginep sama, tuh, cowok?” “Menurut lo?” Verza sontak bergerak menyentuh pundak Rensha. “Bener? Lo ngapain aja?” Kedua tangan Rensha terangkat. Berusaha menjauhkan tangan Verza, tapi tidak ada hasilnya. Pasrah, Rensha memilih diam menatap Verza. “Jawab kalian udah ngapain!!” “Sama kayak yang lo lakuin sama teman kencan lo.” “Nggak mungkin!” kata Verza sambil menggeleng tegas. Verza mendekat menatap wajahnya Rensha yang berubah sendu itu. “Terus kenapa lo sekarang pengen nangis?” Rensha mendongak menghalau air mata nakal yang hendak keluar itu. “Gue seneng aja. Akhirnya lo sama Tirta bersatu lagi.” Lo ngomong apa sih!! batin Rensha bingung. Saat ini dia tidak tahu harus menjawab apa. Rasa sakit yang dia rasakan kembali terasa. Satu alis Verza terangkat. Dia melihat Rensha yang tersenyum, tapi todak sampai ke mata itu. “Gue nggak seperti yang lo omongin,” jawabnya. Perlahan Verza menjauhkan kedua tangannya dari pundak Rensha lantas berbaring. “Tirta udah mutusin gue dan milih pria lain. Terus sekarang dia deketin gue. Lo pikir gue apaan? Gue bukan persinggahan doang,” ucapnya sambil menatap Rensha dari samping. “Kalau cuma singgah, nggak perlu bawa cinta. Bikin orang jadi terluka,” lanjut pria itu. Rensha menunduk. Entah dia harus memercayai yang mana, ucapan Tirta semalam atau ucapan Verza barusan. Rensha hanya takut melihat kebahagiaan Verza sedangkan dia sendiri tetap mengharapkan cinta pria itu. “Ren!” panggil Verza saat tidak ada yang bersuara. Perlahan Rensha menoleh. Dia menatap pria berhidung mancung yang berbaring di ranjangnya itu. “Tirta balik lagi buat dapetin hati lo, Ver!” Verza mengalihkan pandang lebih memilih menatap langit-langit kamar. Dia sudah tahu itu, Tirta telah mengaku semuanya. “Tapi gue berat sama dia lagi. Gue nggak percaya cinta.” Dan itu bikin gue takut nyatain perasaan gue ke lo, jawab Rensha dalam hati. Dia lalu turun dari ranjang, ingin mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Kepalanya terasa panas karena perbincangan ini. “Ren!” panggil Verza menyadari wanita itu menjauh darinya. Rensha menoleh menatap Verza yang duduk di tengah ranjang ifu. “Kenapa?” “Lo tetep sama gue, kan?” Diberi pertanyaan seperti itu Rensha kebingungan. Dia menggeleng tidak mengerti. “Maksud lo?” Verza turun dari ranjang lalu berdiri di depan Rensha. Kedua tangannya lalu berada di pundak Rensha. “Gue nggak tahu kedepannya kayak gimana. Saat nanti gue bingung soal perasaan gue ke Tirta, lo harus ada di samping gue. Nyadarin perasaan gue kayak gimana.” Hati Rensha tercubit. Tidak ada permohonan yang menyedihkan dan menyakitkan dari ini. Dia menarik kedua tangan Verza lalu menjauh. “Iya. Lo tenang aja,” jawabnya dengan satu air mata lolos dari mata indahnya. Mendengar jawaban itu Verza jadi lega. Jujur kedatangan Tirta membuatnya takut merasakan patah hati yang kesekian kalinya. “Ren! Gue nginep sini, ya!!” Di dalam kamar mandi, Rensha mendengar teriakan itu. Dia memilih tidak menjawab karena air mata telah jatuh membanjiri pipinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD