3-Penasaran

1630 Words
Jarum jam berdetak cukup nyaring dengan jarum pendek masih bertengger di angka dua, bukan waktu manusia untuk terjaga dan memulai aktivitas. Namun, pria bertelanjang d**a justru itu telah terjaga, berbaring miring menghadap wanita yang terlelap di sampingnya. Verza menatap wajah Rensha: kulit putih bersih dengan hidung mungil tapi mancung. Alis Rensha tebal dan rapi, tanpa melewati sulam alis atau sebagainya. Bibir tipis berwarna pink Rensha juga tampak alami. Bibir yang sering Verza kecup, bahkan setiap hari. Secara keseluruhan Rensha berparas cantik apalagi mata bundar dan hitam, membuat Verza gemas setiap kali bola mata itu berbinar. Dia mendekat, menyentuh kening Rensha yang mengernyit itu. “Ren,” panggilnya yang tentu tidak mendapatkan jawaban. Rensha bergerak dalam tidurnya. Dia mendekat ke sesuatu yang hangat, bersandar di d**a Verza lalu terlelap. Melihat tindakan itu, Verza terkekeh lalu memeluk Rensha erat. “Gue bersyukur punya sahabat sebaik lo, Ren. Mungkin cuma lo orang yang tulus mau temenan sama gue.” Verza memejamkan mata. Tanpa diminta ingatan saat di kelan berputar. Tatapan Verza sejak tadi tertuju ke arah kepergian Tirta dan Rensha. Pria itu melihat jam, sudah lebih dari sepuluh menit dua wanita itu pergi. Verza berdiri, saat itulah dia melihat Tirta berjalan ke arahnya. Verza kembali duduk, menunggu Rensha kembali di sisinya. Saat melihat Tirta, dia tidak melihat kedatangan Rensha. Verza lalu berjalan ke arah Tirta. “Mana Rensha?” tanyanya tajam. Tirta mendongak, menarik tangan Verza menjauh dari kerumunan. Tirta memilih di pojok ruangan lalu menjawab pertanyaan pria itu. “Dia udah keluar duluan. Gue kira udah sama lo.” Mendengar jawaban itu, Verza mulai panik. Dia hendak berbalik saat pelukan dari belakang itu begitu kencang. “Ver. Gue minta maaf!” Tubuh Verza menegang. Dia menunduk melihat kedua tangan Tirta melingkar di perutnya. Verza melepas pelukan itu lalu berbalik. “Minta maaf?” tanyanya bingung. “Setelah lo ninggalin gue baru sekarang lo minta maaf?” Air mata Tirta turun. Dia menunduk sambil menutup mulut todak ingin tangisnya terdengar meski sebenarnya dia tidak perlu khawatir, karena musik yang berdentum terdengar kencang. “Gue emang salah. Gue sekarang nyesel. Ternyata nggak ada pria yang lebih baik dari lo.” Satu alis Verza terangkat. “Gue nggak baik. Lo tahu itu.” “Tapi menurut gue lo baik!” teriak Tirta sambil mengangkat wajah menatap Verza sendu. “Gue bakal perbaiki semuanya, Ver.” Verza terdiam ingat jelas saat Tirta memutuskannya dan memilih pria lain. Dia membuang muka lantas menjawab. “Gue nggak bisa.” “Gue nggak perlu persetujuan lo!” Sontak Verza menoleh, tindakannya yang tiba-tiba itu membuat hidungnya bersentuhan dengan pipi Tirta. Tirta memang sengaja berjinjit, ingin mencium pria itu. Tidak ingin menunggu waktu lama wanita itu mencium Verza lembut. Kedua tangan Verza terkepal di sisi tubuhnya. Dia ingin mendorong, tapi tubuhnya kaku seolah ada yang menghalangi niatannya itu. Verza memilih diam, menerima ciuman Tirta. Namun, sisi prianya bekerja, nyatanya dia tidak bisa diam saja. Dia membalas ciuman Tirta dengan brutal seolah menyampaikan kemarahannya selama ini. Diam-diam Tirta tersenyum, masih hafal karakter Verza. Tirta melingkarkan kedua tangan menarik pria itu semakin dekat dengan tubuhnya. Tidak hanya itu, dia semakin memperdalam ciumannya. Rasa lipstiknya, mirip kayak punya Rensha, batin Verza ditengah aksi ciumannya. Saat mengingat nama Rensha, dia seketika menghentikan ciumannya. Dia mendorong Tirta dan mundur beberapa langkah. “Verza. Kenapa?” tanya Tirta bingung. “Mana Rensha?” Tirta mendengus tidak suka saat Verza selalu mencari Rensha disetiap kesempatan. “Dia udah pergi. Sama pria lain.” “Ke mana?” tanya Verza ingin tahu. “Ke hotel kali. Gue juga nggak tahu.” Kedua tangan Verza terkepal. Apa, sih, mau sahabatnya itu tiba-tiba memilih pergi? Dia lalu berbalik ingin mencari tahu ke mana perginya Rensha. Bola mata Verza terbuka, ingat dengan kejadian semalam. Dia melepas pelukan lalu menatap Rensha penasaran. Apa benar sahabatnya itu pergi dengan pria lain? Tidak ingin menahan lama rasa penasarannya, Verza mengguncang pipi Rensha hingga wanita itu membuka mata. “Gue tanya. Lo semalem pergi sama siapa?” tanyanya menginterogasi. Informasi dari Tirta dan Rensha sama. Itu artinya Rensha memang pergi dengan pria lain. Rensha yang baru sadar tidak tahu apa yang diucapkan sahabatnya itu. Dia hanya mengucek mata, lantas berbaring terlentang. “Rensha!!” panggil Verza tak sabaran. Pria itu berguling, membuat mata wanita itu terbuka. Alarm di pikiran Rensha bekerja. Wanita itu mendorong tubuh di atasnya, tapi tindakannya tidak membuahkan hasil. “Apa, sih, mau lo?” tanya Rensha marah. “Bener lo udah ngelakuin sama pria lain? Lo nyoba-nyoba atau gimana?” Sampai saat ini Rensha belum mengerti apa yang dikatakan Verza. Dia masih mengantuk dan ingin melanjutkan tidur. “Coba-coba!” jawabnya sekenanya. “Kenapa nggak sama gue?” tanya Verza marah. Dia tidak ingin sahabatnya yang polos diapa-apakan pria lain.   ***   I don't wanna touch you, i don't wanna be Lagu End Game dari Taylor Swift Featuring Ed Sheeran and Future terdengar cukup kencang. Wanita yang masih terlelap itu seketika terjaga. Dia mengusap wajah setelah itu bergerak ke nakas mengambil benda yang masih berbunyi. Rensha mengernyit mendapati orang rumah yang meneleponnya. Dia mengangkat panggilan, sambil menguap pelan. “Halo,” sapanya. “Halo, Ren. Lo cepet ke rumah. Papa serangan jantung!” Suara Renga—kakaknya—terdengar panik. Rensha sontak turun dari ranjang. “Gue bentar lagi ke sana!” Tanpa mendengar jawaban Renga, Rensha memutuskan sambungan dan melempar ponsel ke ranjang. Dia bergegas ke kamar mandi hanya untuk sikat gigi dan mencuci muka. Lima menit kemudian Rensha keluar. Dia berganti pakaian dengan cepat setelah itu menyambar ponsel dan kunci mobil. Jantung Rensha berdetak lebih cepat, di pikirannya diliputi pikiran yang aneh-aneh. Dia berharap papanya baik-baik saja saat dia sampai rumah nanti. Selang beberapa menit, pria berkaus hitam dengan celana cokelat itu keluar menuju apartemen sebelahnya dengan beberapa pakaian di dekapan. Dia ingin mengisi lemari Rensha dengan beberapa pakaiannya. Tadi sebenarnya Verza ingin mandi, tapi dia ingat jika di apartemen Rensha tidak ada perlengkapan untuk pria. Atas dasar itu Verza kembali ke apartemen untuk mengambil keperluan pribadinya. Verza berjalan masuk menuju kamar dengan pintu yang telah terbuka, tidak seperti tadi saat dia meninggalkan kamar. Dia mengernyit, mendapati ranjang kosong hanya selimut yang berantaka, membuatnya ingat dengan kejadian semalam. “Ren!! Lo di kamar mandi?” tanya Verza dengan suara kencang. Hening, hanya jarum jam yang terdengar. Verza meletakkan kemeja dan celananya di lemari milik Rensha setelah itu duduk di ranjang. Dia menatap ranjang sambil geleng-geleng, ingat dengan kejadian beberapa jam lalu saat melakukan hubungan dengan Rensha. Atau lebih tepatnya sedikit memaksa wanita itu. Sampai sekarang Verza tak habis pikir mengapa bisa berbuat seperti itu. Mungkin gue cuma penasaran, batinnya. Namun, karena penasarannya dia jadi tahu kalau ternyata Rensha berbohong. Wanita itu tidak pernah berhubungan lebih dengan pria lain. “Wait! Tapi dia semalem sama gue,” gumam Verza. Verza mengacak rambut, itu sama saja dia mencurangi Rensha. “Ah semoga Rensha nggak marah. Atau bahkan nggak tahu!” Tadi pagi, Verza sangat hati-hati bahkan memakaikan kembali gaun tidur Rensha. Entah apa yang ada di pikiran Verza saat itu. “Ren!!” teriak Verza ingat dengan wanita yang dari tadi tidak menampakkan diri itu. Verza berjalan ke kamar mandi dan mengintip. Namun, di kamar mandi tidak ada seorangpun. Dia yang mulai panik berjalan keluar kamar menunju balkon. Saat sampai, pintu balkon masih tertutup rapat. “Piggy!! Lo di mana!!!” Verza melangkah ke dapur, ruangan itu juga kosong. Dia mengambil ponsel yang tergeletak di meja lalu melakukan sambungan ke Rensha. “Ren!! Lo ke mana sih,” gumamnya kala panggilannya tidak kunjung dijawab. Pria itu berjalan mondar-mandir mencoba menebak ke mana perginya Rensha pagi ini. Verza lalu kembali ke kamar, melihat tas punggung pink pemberiannya yang masih tergeletak. “Dia belum berangkat kerja. Terus ke mana?” Rasa yang kemarin dia rasakan kembali muncul. Entahlah kenapa dia begitu panik saat Rensha pergi tanpa pamit kepadanya. Padahal selama enam tahun mengenal wanita itu, Verza tidak pernah merasa panik seperti sekarang ini.   ***   Cit!! Rensha turun dari mobil lalu bergegas lari ke pintu utama. Saat hendak masuk, dia dikejutkan dengan pria berbadan besar yang mengeluarkan guci koleksi peninggalan mamanya. “Hei!! Kenapa dibawa?” tanyanya bingung. Wanita itu merasa ada sesuatu yang terjadi. Rensha lalu berlari ke kamar papanya di lantai satu. Air matanya turun melihat papanya berbaring dengan alat bantu pernapasan. “Kak. Papa kenapa?” tanya Rensha sambil berjalan mendekat. Renga menoleh, melihat rambut adiknya yang berantakan itu. Dia menebak kalau adiknya buru-buru datang ke mari. Pria berusia tiga puluh dua tahun itu mendekat, menarik adiknya ke dalam pelukan. “Kita bangkrut, Ren,” bisiknya dengan suara serak. Rensha memeluk kakaknya erat, tidak menyangka usaha periklanan papanya bangkrut. “Terus gimana, Kak?” tanyanya sambil melepas pelukan. “Pesaing papa nyita barang berharga kita. Kita dikasih waktu sebulan buat ngelunasi.” “Berapa hutangnya?” Renga menarik napas panjang lalu menggeleng pelan tidak ingin memberi tahu berapa nominalnya. “Intinya banyak. Kira-kira kita butuh dua tahun buat bayar.” Mendengar jawaban itu Rensha merasa kalau hutangnya pasti banyak. Dia mendekat ke ranjang lalu memeluk papanya erat. “Pa. Papa harus sembuh. Kita bisa ngelewati ini, Pa,” bisiknya. Rensha kemudian menoleh menatap Renga yang berdiri dengan wajah sendu itu. “Berapa hutangnya? Gue juga mau bantu, Kak.” Renga mendekat, duduk di samping adiknya dan mengusap rambut panjang Rensha pelan. “Lima belas milyar.” Mendengar nominal yang tidak sedikit membuat Rensha menelan ludah. Wanita itu tidak punya tabungan sebanyak itu. “Terus gimana? Kita harus cari uang di mana?” Satu tangan Renga menggenggam tangan adiknya. “Om Wino mau bantuin kita.” Bola mata Rensha berbinar. Dia tahu Om Wino, sahabat papanya. “Ya udah kita minta bantuan Om Wino aja.” Renga menggeleng membuat Rensha mengernyit bingung. “Om Wino mau lo nikah sama anaknya, Ren. Win win solution.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD