6-Berkenalan

1560 Words
Pelukan erat di pinggang membuat pria berselimut tebal itu perlahan terjaga. Dengan mata setengah tertutup, dia memperhatikan ruang sekitar, ruangan bernuansa putih remang-remang menyambutnya. Verza menutup matanya sejenak, ingat jika dia sedang di hotel. “Lo udah bangun?” Perlahan Verza berbalik setelah mendengar bisikan lembut di belakangnya. Dia langsung berhadapan dengan wajah Tirta. Verza mendesah lalu kembali menatap ke langit-langit kamar. “Masih terlalu pagi. Lo mau ngapain sebelum kita check out?” Tirta mendekat, menyandarkan kepala di d**a hangat Verza. Wanita berambut merah itu tersenyum, ingat saat semalam Verza mengajaknya keluar. Mereka seolah mengulang masa-masa dulu, saat pergi ke diskotik dan bersenang-senang. “Gue harus balik!” ucap Verza setelah beberapa menit diam. Verza hendak beranjak tapi dengan cepat Tirta memeluknya. “Lo nggak biasa check out sebelum matahari terbit,” bisik Tirta. “Gue udah nggak kayak dulu lagi!” balas Verza tak suka. Dia menyentuh pundak Tirta dan menariknya menjauh. Setelah itu Verza berdiri, mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan memakainya dengan cepat tak peduli dengan Tirta yang menatapnya tak suka. “Lo nggak serius pergi, kan?” tanya Tirta kala melihat Verza sedang mengancingkan kancing kemeja. Tirta mengambil cardigan panjang di samping ranjang. Dia memakai dengan cepat lalu mendekati Verza. Lo ninggalin gue?” tanyanya tak suka. Verza menarik napas panjang. Dulu setelah menghabiskan malam dengan Tirta, Verza selalu check out bersama. Tidak pernah sekalipun pria itu meninggalkan Tirta sendirian. Sekarang, Verza tidak lagi melakukan itu. “Gue harus pergi. Ada kerjaan,” bohong Verza. Sudut bibir Tirta tertarik ke atas. Dia berjinjit, melingkarkan kedua tangan ke leher Verza. “Ada kerjaan atau lo mau mikirin Rensha?” Tubuh Verza menegang lalu menatap ke manik mata Tirta. “Atas dasar apa lo nuduh gue kayak gitu?” Tirta memiringkan wajah. Hidungnya menyentuh pipi Verza mencium pipi tirus itu beberapa kali, sambil sesekali menggoda dengan embusan napas. “Semalem lo mabuk, Sayang. Lo nyari Rensha!” Kedua tangan Verza terkepal. Dia ingat kejadian semalam, saat dia suntuk karena memikirkan Rensha yang menolak bantuannya. Dia sangat marah kala mendengar penolakan itu. Tanpa diminta pikiran Verza tertuju saat sedang di kantin rumah sakit bersama Rensha. “Gue bakal bantuin lo, Ren. Nggak peduli lo izinin atau enggak,” ucap Verza membuat Rensha melepas pelukan. Rensha menghapus air mata yang turun lalu mengalihkan pandang. “Makasih, Ver. Dengan lo ada di samping gue itu udah ngebantu.” Verza menggeleng tegas. Dia tidak merasa seperti itu. Dia merasa tidak berguna karena tidak bisa membantu dengan tindakan nyata. “Tapi gue nggak bisa ngeliat lo nikah sama Gilbert.” Ucapan Verza membuat tatapan Rensha segera teralih. Jantung wanita itu berdegup kencang, hatinya menginginkan penjelasan lebih. “Maksud lo?” Kedua tangan Verza terangkat menangkup pipi Rensha. “Gilbert nggak baik buat lo.” “Terus siapa yang terbaik buat gue? Siapa yang mau lunasin hutang bokap gue?” “Gue!” jawab Verza tegas. Keduanya saling berpandangan seolah saling menyelami perasaan satu sama lain. Tidak lama Rensha menggeleng. “Hutang bokap gue banyak, Ver. Lima belas milyar.” Mendengar jumlah nominalnya, Verza terdiam. Tabungannya tidak sebanyak itu apalagi dia hanya bekerja semaunya. Dia sering terkena potongan gaji karena tidak bisa on time dengan proyek yang dibuatnya. “Verza!!” Panggilan Tirta menyadarkan Verza tentang kejadian semalam. Dia lalu mengacak rambutnya frustrasi. “Gue harus balik!” ucapnya sambil menjauhkan tubuh Tirta yang entah sejak kapan memeluknya erat. “Nggak bisa, Ver! Lo harus nemenin gue!” teriak Tirta sambil berlari ke pintu hotel. Verza melangkah memperhatikan Tirta. “Mau ngejar gue? Silahkan kalau lo mau tubuh lo dilihat banyak orang.” Tak lama Verza melanjutkan. “Oh gue lupa. Mungkin lo emang sengaja. Mau cari pria lain, kan? Terus ninggalin gue kayak dulu? Sekarang gue nggak peduli.” Setelah mengucapkan itu Verza benar-benar pergi. Kedua tangannya terkepal, dia masih marah ke Rensha dan sekarang kemarahan itu ditambah oleh Tirta. Tentang masa lalu yang membuat Verza merasakan sakit dan terhina. “Gue bakal milikin lo lagi, Ver!” Tirta menutup pintu lalu berjalan ke ranjang, mengambil pakaiannya dan bersiap untuk pulang. Dia bertekad akan merebut hati Verza lagi . ***   Mobil sport hitam itu membelah jalanan Jakarta. Dua orang yang berada di mobil sama-sama saling diam dengan rahang mengeras. Pria yang sedang mengemudi sesekali melirik wanita yang sejak tadi menunduk di sampingnya itu. “Nggak patah leher lo?” ucap Gilbert membuka suara. Rensha seketika mengangkat wajah. Satu alisnya tertarik ke atas, tidak mendengar ucapan Gilbert barusan. “Lo ngomong apa?” “Budek!” Dikatai seperti itu membuat wajah Rensha seketika memerah. Dia menatap ke depan memperhatikan sekitar sambil menebak ke mana Gilbert membawanya pergi. Saat mobil hitam itu berbelok ke sebuah apartemen, Rensha seketika menoleh kaget. “Ngapain kita ke sini?” “Ke apartemen gue!” jawab Gilbert sambil mengemudikan mobil ke arah basement. “Lo punya apartemen di sini? Apartemen gue juga di sini.” Kalimat Rensha membuat Gilbert tertarik. Dia menghentikan mobil lalu menoleh menatap Rensha dengan pandangan menyelidik. “Sejak kapan?” Rensha terdiam, dalam hati dia mencoba menghitung berapa lama dia tinggal di apartemen. “Tujuh tahun yang lalu.” Gilbert manggut-manggut. “Gue udah sepuluh tahun yang lalu. Sebelum gue kena grebek BNN terus pindah ke Paris.” Kalimat terakir Gilbert membuat Rensha mengernyit. Heran karena pria itu seolah tidak malu menceritakan catatan hitamnya kepada orang baru. “Nggak usah banyak mikir. Ayo keluar! Lo butuh duit cepet, kan?” Gilbert melepas sabuk pengaman lalu keluar mobil dan menunggu Rensha keluar. Mendengar kata uang, Rensha buru-buru turun. Dia memutari mobil dan berdiri di depan Gilbert. “Lo nggak ngerjain gue, kan?” tanyanya menyelidik. Semalam Rensha kaget saat mendapat telepon dari Om Wino yang mengatakan kalau urusan uang Gilbert yang mengatur. Awalnya dia ragu, hingga tiga puluh menit yang lalu Gilbert datang dan mengajak ke apartemen. “Lo nggak usah mikir yang aneh-aneh. Gue kasih lo duit cash. Bukan minta yang macem-macem,” ucap Gilbert saat melihat ada keraguan di mata Rensha. Rensha menarik napas, mensugesti diri sendiri agar tidak berpikiran yang macam-macam. Setelah itu dia berjalan mengikuti Gilbert yang lebih dulu melangkah. “Apartemen lo lantai berapa?” tanya Rensha basa-basi. Dia akan semakin tegang kalau tidak ada percakapan singkat. “Lantai sembilan. Lo?” tanya Gilbert ingin tahu. “Lantai tujuh.” Mendengar angka tujuh disebut Gilbert menghentikan langkah. Dia menatap Rensha dari ujung rambut hingga ujung kaki. Perhatiannya lalu tertuju ke mata Rensha yang tidak tertutup kaca mata. “Lantai tujuh nomor berapa?” tanyanya sambil melanjutkan langkah menuju lift. Di belakang pria itu, Rensha mengikuti dengan langkah kecil. Dia segera masuk saat pintu lift terbuka lalu berdiri di samping Gilbert. “Nomor tujuh ratus. Kenapa? Lo punya temen di sana?” Gilbert memutar tubuh, menatap Rensha sekali lagi. Dia merasa wanita di depannya adalah seseorang yang pernah dia temui. Gilbert mendekat lalu menunduk ke arah leher Rensha. Tindakan itu membuat Rensha mundur selangkah. Wanita itu menahan d**a Gilbert agar tidak terlalu dekat dengannya. “Lo apa-apaan, sih. Lo janji nggak bakal ngapa-ngapain gue.” Kalimat Rensha membuat Gilbert ingat dengan tindakannya. Dia mundur lalu menatap pintu lift yang terbuka. Tangannya terulur, menekan tombol ke lantai bawah. “Lo pernah pakai kaca mata?” Rensha mengernyit heran dengan pertanyaan aneh Gilbert itu. “Enggak, sih. Emang kenapa?” “Cuma tanya. Emang gak boleh?” Tring! Pintu lift terbuka, Rensha dan Gilbert keluar beriringan. Setelah tiga langkah, Rensha seolah sadar, ini bukan lantai sembilan tapi lobi apartemen. “Loh, kok kita turun?” “Gue lupa harus beli minuman.” Diam-diam Gilbert tersenyum. Wanita itu seolah tidak sadar jika tadi pintu lift sempat terbuka. Meski bingung dengan tingkah Gilbert, Rensha tetap menurut. Wanita itu mencoba sabar meski dia sangat ingin cepat kembali ke rumah sakit dengan uang yang dia butuhkan. “Ngomong-ngomong lo kenapa tanya gue pernah pakai kacamata atau enggak?” Gilbert menghentikan langkah. Dia menarik Rensha menjauh dari pintu masuk mini market. Dia menatap manik hitam di depannya karena tidak tahan dengan rasa penasarannya. Lalu dia menarik Rensha ke dalam pelukan dan melihat ada tahi lalat di leher. “Gil!!” jerit Rensha dalam pelukan Gilbert. Pria bertato itu melepas pelukannya dan menatap Rensha seolah tidak percaya. Gilbert mengacak rambutnya frustrasi. “Lo pernah kerampokan terus pingsan?” Rensha mundur selangkah sambil menatap Gilbert bingung. Tujuh tahun yang lalu saat baru memiliki apartemen, Rensha pernah kerampokan tidak jauh dari apartemen. “Kok lo tahu?” tanyanya bingung. Gilbert tersenyum lalu menarik Rensha ke dalam pelukan. “Akhirnya gue ketemu lagi sama lo. Orang yang sering hantuin gue lewat mimpi.” Kedua tangan Rensha mendorong d**a Gilbert. Dia menatap pria di depannya dengan pandangan menyelidik, merasa aneh dengan tingkah Gilbert itu. Awal bertemu pria itu sangat antipati, tapi barusan memeluknya bahkan terlihat bahagia. “Lo aneh. Gue baru ketemu lo beberapa hari yang lalu, Gil.” “Terserah lo ngomong apa,” jawab Gilbert sambil menatap Rensha dengan seulas senyum. Gilbert kembali menarik Rensha ke dalam pelukan. Sedangkan Rensha bergerak berusaha melepaskan itu tapi pelukan Gilbert begitu erat. “Woy!! Lepas!!” Lengan Gilbert ditarik dari arah kiri. Dia hendak menoleh, tapi pukulan keras langsung mengenai hidungnya lalu pukulan itu terjadi bertubi-tubi. Rensha menutup mulut kaget dengan kejadian yang berlangsung begitu cepat itu. Dia mendekati Gilbert yang telah babak belur setelah itu dia berteriak kesal. “Verza hentikan!!!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD